Sekarang sudah tidak masanya mengeluh komunikasi buntu. Tidak usah bertatap muka pun, ngobrol apa saja bisa dengan bantuan teknologi. Simpang siur berita palsu alias hoaks bisa ditepis asal kita tak canggung berkomunikasi. Tanya langsung saja kepada pihak-pihak yang disebut. Meredam masalah juga potensi masalah dapat dilakukan dengan menjalin komunikasi yang baik.
Soal komunikasi ini tidak sebatas pergaulan antarindividu. Ini juga berlaku dalam mengelola kota, pun negara. Mau tahu yang dibutuhkan warga Ibu Kota? Ya, tanya langsung saja kepada penghuni kota dan mereka yang beraktivitas di sana. Merangkul warga ini merupakan bagian dari tahapan riset yang diperlukan untuk menata kota. Perlu riset agar tidak salah langkah.
Menyangkut penataan kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya, bagaimana kalau warga, pedagang, pengusaha angkutan kota, aparat pemerintah, dan pihak lain yang berkepentingan di sana diajak bicara.
Dengan pemimpin dan pejabat berpengalaman, berilmu tinggi, plus ada Dewan Riset Daerah dan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), tidaklah susah membuat kajian komprehensif penataan Tanah Abang dengan melibatkan warga secara aktif.
Kawasan inti Tanah Abang sangat luas. Di sisi utara dibatasi Jalan Jatibaru Raya, di timur ada Jalan KH Mas Mansyur. Di sisi barat dibatasi kanal banjir barat dan di sisi selatan Jalan Kebon Jati. Ada pasar di gedung tinggi, berderet ruko, kompleks-kompleks pasar kecil, pedagang kaki lima, usaha angkutan dan jasa pengiriman barang, penginapan, dan banyak lagi.
Juga ada stasiun kereta api yang menghubungkan orang dari segala penjuru Jakarta dan sekitarnya ke pusat perdagangan terbesar di Indonesia itu. Namun, kesemrawutan lekat dengan kawasan ini sejak lama.
Jadi, senang ketika penataan Tanah Abang dimulai lagi. PKL diberi tempat layak, jalanan bebas dari kendaraan bermotor, ada moda transportasi bus-bus baru. Namun, sopir angkutan kota terus menggugat karena pendapatannya rontok akibat tak bisa beroperasi di Jatibaru. Protes terus-menerus para sopir angkot ini membuat sebal PKL. Warga setempat ataupun mereka yang rutin beraktivitas di Tanah Abang turut terdampak pada kekisruhan ini.
Tanah Abang hanya satu dari banyak kasus pengelolaan kota yang seharusnya kini makin inklusif. Kota inklusif menjadi salah satu target Agenda Kota Berkelanjutan (SDG) 2030 yang disahkan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2015 dan ditandatangani 193 negara anggotanya, termasuk Indonesia.
Intinya, membuat kota dan permukiman manusia yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Selain menjalin kerja sama dan kemitraan dengan kota-kota lain di dunia, di era SDG ini mengharuskan kemitraan publik swasta dan sipil. Ini karena kota ada dengan prinsip no one will be left behind, pelaksanaan pembangunan yang dapat memberi manfaat untuk semua.
Bagaimana memulai kemitraan yang baik itu? Ya dengan komunikasi yang dibangun baik, dua arah dengan semua pihak.