KUNINGAN, KOMPAS — Kepolisian Daerah Jawa Barat memastikan menjalankan proses hukum kepada pembuat dan penyebar berita bohong atau hoaks. Sebanyak 13 orang telah ditahan terkait berita bohong. Hoaks dapat memicu konflik dalam masyarakat, apalagi menjelang pemilihan kepala daerah seperti saat ini.
Hal itu ditegaskan Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto saat deklarasi antihoaks di Kabupaten Kuningan, Sabtu (17/3). Deklarasi ini merupakan rangkaian kunjungan kerja Kapolda Jabar untuk mengantisipasi hoaks. Sehari sebelumnya digelar deklarasi yang sama di Kabupaten Majalengka dan Kota Cirebon. "Polda Jabar sangat serius menghadapi hoaks. Ada 13 pelaku penyebar hoaks yang kami tahan. Motifnya membuat resah masyarakat," ujarnya.
Hoaks yang disebarkan antara lain mengenai penganiayaan ulama, ujaran kebencian, serta yang mengandung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Berdasarkan patroli siber, pihaknya menjaring 21 berita yang teridentifikasi terkait hal tersebut. "Dari jumlah itu, hanya dua berita yang kejadiannya benar. Sebanyak 19 lainnya adalah hoaks," ujarnya.
Salah satu contoh hoaks ialah terkait kematian Bahro (60), warga Blok Rebo RT 003 RW 002 Desa Sindang, Cikijing, Majalengka, yang dipelintir sebagai berita pembunuhan muazin oleh orang yang mengalami gangguan mental. Pembuat hoaks, yaitu seorang dosen di salah satu kampus di Yogyakarta, tengah menjalani proses hukum.
Adapun berita benar, yakni penganiayaan terhadap KH Umar Basri, pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah, Bandung. Lainnya, kekerasan yang menewaskan Ustaz Prawoto, Komando Brigade Persatuan Islam Bandung, oleh pelaku yang dinyatakan mengalami gangguan jiwa.
Budi meminta masyarakat tidak mudah menyebarkan berita yang kebenarannya belum terbukti. Apalagi jika berita itu menyinggung isu SARA atau menjatuhkan kelompok tertentu.
Enam tahun penjara
Warga yang terbukti menyebarkan hoaks dan menyebabkan konflik dalam pilkada dan konflik akibat isu SARA terancam pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan perubahannya dalam UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Setelah kami lakukan proses hukum terhadap 13 pelaku, sampai saat ini belum ada berita hoaks lagi," ujar Budi.
"Saya sudah perintahkan kepada polres sampai polsek untuk mengunjungi masjid dan pesantren. Selain bersilaturahim, polisi juga meninggalkan nomor telepon. Jadi, kalau ada apa-apa, masyarakat silakan segera hubungi polisi," kata Budi.
Selain proses hukum, polisi juga memperluas Gerakan Deklarasi Antihoaks di daerah. Pada Jumat, selain di Majalengka, deklarasi juga dilakukan di Cirebon. Sebelumnya, Selasa lalu, Polda Jabar bersama elemen masyarakat lain juga menggelar deklarasi serupa. Isinya, antara lain, berisi penolakan terhadap hoaks dan dukungan kepada polisi untuk menindak tegas pelaku pembuat dan penyebar hoaks.
Hoaks, kata Budi, dapat mengganggu pesta demokrasi, pilkada. Di wilayah Polda Jabar, pilkada tahun ini berlangsung di 16 kabupaten/kota dan pemilihan gubernur di tingkat provinsi. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar, mencapai 46 juta jiwa, potensi penyebaran hoaks terbilang besar.
Bupati Majalengka Sutrisno mengapresiasi Gerakan Deklarasi Antihoaks. "Hoaks bisa mengganggu keamanan daerah dan akhirnya pembangunan ikut terhambat. Investasi sulit masuk. Padahal, kami tengah membangun bersamaan rencana pengoperasian Bandara Internasional Jabar di Majalengka tahun ini," ujarnya. (IKI)