PONTIANAK, KOMPAS — Sebanyak 406 tenaga kerja Indonesia dideportasi dari Malaysia selama Januari hingga pertengahan Maret 2018. Mereka dideportasi karena bermasalah, mulai dari tidak ada visa kerja hingga masuk tanpa paspor.
Kepala Seksi Penyiapan Penempatan Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Pontianak As Syafii, Senin (19/3), mengatakan, pada Januari-Februari 2018 ada 281 TKI yang dideportasi dari Malaysia. Sementara itu, pada Maret sudah tiga kali deportasi melalui pos lintas batas negara (PLBN) Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang totalnya 125 TKI.
”Mereka dideportasi karena permasalahan klasik sebetulnya, yakni masuk ke Malaysia tanpa paspor, tidak memiliki visa kerja, dan ada juga visa kerja mereka tidak berlaku lagi. Mereka ditangkap oleh Polisi Diraja Malaysia dan Imigrasi Malaysia kemudian menjalani masa tahanan satu hingga sembilan bulan,” kata Syafii.
Para TKI yang bekerja ke Malaysia itu ada yang pekerja di sektor formal, ada pula di sektor informal. Mereka ada yang masuk melalui jalur resmi ke Malaysia, tetapi ada pula dari jalur tikus karena dibawa oleh oknum calo TKI sehingga bisa masuk ke Malaysia tanpa paspor. Sekitar 40 persen TKI yang dideportasi pada Maret dari Kalbar. Sementara itu, selebihnya berasal dari Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Jawa.
TKI yang masuk ke Malaysia tanpa dokumen kerja (nonprosedural) paling rawan diperlakukan tidak baik oleh majikannya. Sebab, pemerintah tidak bisa memantau keberadaan mereka. Majikannya baik atau tidak, kami tidak tahu.
Syafii menuturkan lebih lanjut, TKI yang dideportasi itu dibina terlebih dahulu di Layanan Terpadu Satu Pintu di Entikong. Mereka dibekali dengan materi kewirausahaan sehingga jika sudah kembali ke daerah asal bisa berwirausaha. Namun, jika bekerja kembali ke Malaysia, hendaknya dengan prosedur yang benar.
Menurut Syafii, kejadian TKI dideportasi terus terjadi karena lapangan pekerjaan di daerah asal mereka belum memadai. Para TKI itu tidak mampu bersaing dengan lapangan pekerjaan yang dibuka saat ini. Sementara saat mereka bekerja ke Malaysia dengan bekerja di sektor informal saja gaji mereka berkisar Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan. Jika di Indonesia kemungkinan hanya Rp 2 juta per bulan.
Di samping itu, masih munculnya praktik calo TKI juga membuat para calon TKI tergiur bekerja ke Malaysia meskipun melalui jalur tikus. Bahkan, pada Januari, Kepolisian Sektor Entikong mencegah keberangkatan 17 calon TKI yang hendak ke Malaysia karena tidak ada dokumen yang lengkap. Mereka adalah korban calo TKI.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman, menilai, masih adanya TKI bermasalah yang dideportasi menunjukkan pengelolaan ketenagakerjaan di Indonesia belum optimal, termasuk bebasnya mereka keluar-masuk ke negara lain tanpa identitas resmi. Di samping itu, perekonomian dalam negeri belum mampu menyiapkan pekerjaan untuk tenaga kerja yang berpendidikan rendah.
Lapangan kerja di daerah hendaknya yang tidak memerlukan keterampilan tingkat tinggi. Dengan demikian, bisa mengakomodasi masyarakat yang ekonominya rendah. Selain itu, lapangan kerja itu yang menyerap banyak tenaga kerja. Salah satunya membuka pabrik di daerah. Di daerah masih terbuka lebar untuk pembangunan pabrik karena industrialisasi belum banyak dilakukan, khususnya di Kalbar.
Keamanan di perbatasan dengan Malaysia, khususnya jalan tikus, memang masih perlu diupayakan lebih optimal lagi agar tidak menjadi celah bagi oknum tertentu memasukkan TKI secara ilegal.
Menurut catatan Kompas, panjang jalur perbatasan di Kalbar sekitar 857 kilometer, memiliki 52 jalan setapak yang terhubung dengan 32 desa di Malaysia. Jalur setapak itulah yang kerap dimanfaatkan calo untuk membawa TKI ke Malaysia.