Bedol Kampung demi Bebas Banjir
Sejarah Jakarta tak lepas dari kisah banjir dan relokasi. Langkah berani diambil Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1966 dengan merelokasi lebih dari 1.000 keluarga. Satu kampung hilang, berganti menjadi Waduk Melati yang penting untuk mengurangi potensi banjir kawasan utama Ibu Kota.
Encih (64), warga Dukuh Pinggir Gang IV, Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, menjadi saksi pembangunan waduk itu. Keluarganya termasuk yang direlokasi untuk pembangunan Waduk Melati.
Kampung tempatnya tinggal dulu bernama Kotabumi Ujung, Gang IV, Kebon Sayur. Sekarang, kampung yang dulunya merupakan permukiman padat itu dihuni banyak pedagang kecil yang berjualan di sekitar Tanah Abang, yang memang sudah menjadi pasar sejak lama. Lokasinya tepat berada di Hotel Indonesia sebelum mal dan apartemen baru tumbuh di sana.
”Tahun 1971 kami direlokasi ke Cengkareng. Tapi cuma tahan setahun di sana karena tempatnya masih sepi, airnya asin. Tanah tempat relokasi kami jual, lalu pindah ke sini lagi, tapi bukan di tempat yang untuk waduk,” katanya saat ditemui di rumahnya, tepat di pinggir Waduk Melati, Selasa (13/3).
Relokasi itu berjalan tanpa penolakan sama sekali. Warga memang bersedia digusur sebab ganti rugi dinilai menguntungkan dan keinginan untuk hidup bebas dari banjir. Perkampungan tempatnya dulu tinggal itu memang langganan banjir sejak tahun 1960-an. Air setinggi lebih kurang 50 sentimeter biasa terjadi di perkampungan itu tatkala hujan.
Sebelum dibangun menjadi waduk, di sana ada sungai kecil yang disebut Sungai Kopro oleh warga setempat. Lebarnya hanya sekitar 1 meter. Lalu, ada lapangan sepak bola dan jembatan gantung yang menghubungkan kampung ke kampung.
Menurut Encih, saat itu, warga yang direlokasi memperoleh lahan seluas sekitar 500 meter persegi di kawasan Cengkareng. Mereka juga diberi ganti rugi didasarkan pada nilai bangunan dan tanaman yang tergusur.
”Kandang ayam saja dulu dihitung, pohon-pohon juga dihargai. Jadi, kami dulu untung, tidak ada yang menolak relokasi,” ujarnya.
Saat ini, sisa-sisa perkampungan itu masih terlihat di sekitar Waduk Melati. Di antara gedung-gedung tinggi apartemen dan pusat perbelanjaan di sana, masih ada secuil bantaran tempat warga menggembalakan kambing dan suasana perkampungan dengan pepohonannya. Sungguh pemandangan yang tak diduga masih ada di jantung Jakarta.
Fenomena gentrifikasi terlihat betul di kawasan yang dulunya perkampungan itu. Imigrasi penduduk kelas ekonomi menengah terus terjadi di kawasan kota yang awalnya berkeadaan buruk seiring dengan kawasan yang dikembangkan dan dipermodern.
Esni (81) menjadi saksi kampung yang kian sepi di sekitar Waduk Melati. Termasuk penggusuran kuburan di kampung itu sehingga sekarang warga yang meninggal dikubur di kampung halamannya yang jauh atau di Tempat Pemakaman Umum Karet.
Setiap tahun, Esni yang dulunya pedagang gorengan melihat tetangganya pindah dalam gelombang besar karena lahannya dibeli pengembang. ”Ini gang di sebelah itu katanya tahun ini sudah dikosongkan juga. Makin sepi ini kampungnya, Neng,” ujarnya.
Waduk Melati dibangun sebagai bagian dari Proyek Banjir Jakarta yang prosesnya dimulai sejak 1966. Pembangunan itu diawali dengan pembangunan rumah pompa yang dulu disebut Stasion Pompa Kopro oleh warga setempat.
Dalam artikel di harian Kompas berjudul ”Pengikisan Tanggul yang Mengakibatkan Terganggunya Keseimbangan” (Kompas, 11 November 1971), Pimpinan Kopro Banjir DKI Jaya Ir Supardi mengatakan, Waduk Melati diperlukan karena daya tampung Kali Cideng sangat terbatas.
Apabila Kali Gresik penuh, Cideng tak dapat menampung lagi. Karena itulah dibutuhkan Waduk Melati yang akan menambah daya tampung air untuk mengamankan kawasan Jakarta tengah dari banjir.
Untuk pembangunan waduk itu, sekitar 2.000 keluarga disiapkan untuk relokasi. Pemerintah di bawah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sudah membeli 50 hektar lahan di Kampung Pedongkelan, Desa Rawa Buaya, Cengkareng, sebagai lahan relokasi warga Melati. Pembelian lahan dilakukan pada 1970.
Namun, karena ada sengketa kepemilikan di lahan yang menjadi lokasi relokasi, pada 1976, baru 1.000 keluarga yang dipindahkan. Akibatnya, dari 8 hektar lahan yang disiapkan untuk dibangun menjadi waduk pun, saat itu baru sekitar 4 hektar yang dibebaskan. Akhirnya, waduk yang direncanakan seluas 8 hektar itu sekarang hanya terwujud seluas 4,9 hektar.
Minim perawatan
Setelah pembangunan yang berlangsung susah payah pada 1966 hingga 1980-an itu, waduk minim perawatan. Pendangkalan pun terjadi, sampah menumpuk, mengakibatkan kawasan itu menjadi kumuh dan berbau tak sedap. Pompa-pompa air di sana kerap dilaporkan rusak.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seperti baru diingatkan betapa penting memelihara waduk yang sudah susah payah dibangun saat banjir besar merendam Jakarta pada Januari 2013. Saat itu, Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Negara dan Balai Kota DKI Jakarta ikut kebanjiran.
Puncaknya, tanggul di Jalan Latuharhari jebol hingga banjir makin parah. Dua orang tewas saat terjadi banjir di basement UOB Plaza yang masih berada di Kelurahan Kebon Melati, tak jauh dari Waduk Melati. ”Waktu itu, air dari waduk juga meluap ke timur, ke arah Jalan MH Thamrin,” kata Risman yang tinggal di pinggiran waduk sejak masa pembangunannya.
Kejadian ini rupanya membangunkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat itu dipimpin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bahwa betapa pentingnya menjaga fungsi waduk dan sungai di DKI Jakarta sebagai tampungan air.
Program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) pun diluncurkan. Pencanangannya dilakukan di Waduk Melati oleh Joko Widodo pada 11 Desember 2013. Proyek ini mengawali pengerukan 12 waduk dan sungai-sungai di DKI Jakarta. Untuk JEDI tahap I berbiaya Rp 284 miliar itu, pengerukan dilakukan di Waduk Melati, Kali Ciliwung dan Cideng Hulu, serta Kali Gunung Sahari.
Sejak JEDI I, pemeliharaan dan pengurasan berkala Waduk Melati intensif dilakukan. Risman menuturkan, perubahan total Waduk Melati sangat dirasakan warga sejak era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama karena gencarnya pemeliharaan waduk.
Tumpukan sampah di sana hilang, bau tak sedap pun turut lenyap. Ditambah dengan adanya instalasi pengolahan air limbah di sana. Banjir pun tidak terjadi lagi. ”Dulu, kan, die rajin mengeruk dan bersihkan sampah,” katanya.
Saat ini, kebersihan Waduk Melati bertumpu kepada petugas Unit Pelaksana Khusus Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Sebanyak enam personel dikerahkan setiap hari untuk mengangkut sampah dari waduk itu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji menyebutkan, saat ini sampah yang diangkut dari Waduk Melati sebanyak 6-8 meter kubik per hari. Dalam kondisi hujan, kubikasi sampah bisa mencapai dua kali lipatnya.
Sampah masih saja didominasi sampah rumah tangga dari warga yang tetap belum sadar bahwa betapa merusak perilaku membuang sampah di saluran-saluran air.
Pengurasan pun dilakukan secara rutin untuk mencegah pendangkalan. Lurah Kebon Melati Dedy Budianto mengatakan, pengurasan Waduk Melati sekarang rutin dilakukan setiap setahun sekali. Kerja bakti untuk membersihkan sekitar waduk juga terus diimbau kepada warga.
Bersihnya Waduk Melati ini menjadi kebanggaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Melalui akun-akun media sosial para pejabat, terlihat waduk itu sekarang juga digunakan untuk foto sebelum menikah karena kondisinya yang terlihat bersih dan cantik dengan latar lanskap gedung-gedung bertingkat di sekelilingnya.
Angan-angan
Dedy mengatakan, menurut rencana jangka panjang, Waduk Melati diproyeksi menjadi waduk wisata air. ”Pengembang di sana sudah membangun taman-taman, nantinya juga diharap bertambah taman di sana,” katanya.
Wali Kota Jakarta Pusat Mangara Pardede pun menebar ikan di waduk tersebut. Sekarang, warga sering memanfaatkan waduk guna memancing ikan untuk rekreasi murah meriah.
Meskipun demikian, kondisi waduk belum bisa disebut sebagai tujuan wisata air. Pengembangan dan fasilitas ke arah itu masih sangat minim karena belum ada akses memadai atau ruang publik yang memadai di sekitar waduk. Warga perkampungan merasa perubahan yang terus terjadi di perkampungan mereka belum membuat mereka sejahtera.
Warga perkampungan sekitar Waduk Kebon Melati sangat berharap angan-angan sebagai waduk wisata itu terwujud. Setidaknya, berbagai perubahan dan pengembangan di sana juga bisa memberikan peluang usaha lebih besar bagi warga di kampung yang tersisa.