“Biasanya Jam Sewa, Sekarang Jam Nongkrong…”
Senin (26/2) pukul 17.00, di Jalan Raya Melawai, Jakarta Selatan. Para pegawai kantor, dan penjaga toko, bergegas pulang. Mereka yang tidak membawa kendaraan pribadi, menunggu jemputan atau angkutan umum di depan sebuah gerai minimarket. Deretan sebelas bajaj seperti tak tampak oleh mereka. Mata mereka lebih memperhatikan ojek daring yang datang dan pergi.
Di sudut pertokoan Melawai, Gandung (36) duduk dalam diam di trotoar bersama sepuluh sopir bajaj lainnya. Barisan bajaj berwarna biru ada di tepian trotoar. Mereka sama-sama mengadu peruntungan hari itu, menunggu penumpang.
Dua jam berlalu sejak seorang penumpang menggunakan bajaj untuk pergi dari pertokoan itu. Setelah itu, sepi kembali menyergap para sopir bajaj.
“Biasanya jam segini waktunya ramai penumpang, jam sewa. Sekarang disebutnya ‘jam nongkrong’. Nganggur,” kata Gandung. “Jam nonton juga bisa. Nontonin orang lewat,” tambahnya sambil tersenyum getir.
Bajaj seakan sudah tidak menjadi pilihan transportasi umum bagi warga Jakarta. Penurunan pendapatan secara drastis pun dirasakan sopir bajaj selama 1-2 tahun terakhir.
Sejak berangkat dari rumah kontrakannya pukul 08.00 hingga sore itu, Gandung baru mengantarkan tiga penumpang. Ia menunjukkan beberapa lembar uang pecahan Rp 10.000 dan Rp 5.000 dari saku celana. Total baru Rp 50.000 didapatnya. “Ini bakal habis untuk bensin dan makan. Jelas tidak cukup untuk setoran Rp 80.000 setiap hari,” katanya.
Kian seret
Gandung menjadi sopir bajaj sejak 2007. Sebelum ojek dan taksi daring akrab di ibu kota, dengan mudah ia mengantongi pendapatan bersih setelah setoran Rp 100.000 setiap hari. Sekarang, maksimal hanya Rp 100.000 didapatkannya sehari, itupun masih dipotong setoran.
Kian seretnya pendapatan dari bajaj membuat istri Gandung harus ikut bekerja. Pendapatan sang istri sebagai tukang cuci dan setrika membantu memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk untuk menutup biaya sekolah tiga anak mereka.
“Kalau istri enggak kerja, bajaj saya tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari,” kata Gandung.
Yanto (45), sopir bajaj lainnya, mengatakan, kini ia tidak berharap bisa mendapat uang lebih dari Rp 150.000 setiap hari. Itupun setelah bekerja dari subuh hingga jelang tengah malam. “Dulu, sehari bisa bawa pulang Rp 300.000-400.000,” kata Yanto yang biasa mangkal di Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Lantaran lebih ramai penumpang di kawasan Senen, pemilik bajaj menetapkan setoran Rp 100.000 sehari. Namun, seramai-ramainya penumpang, dengan mudah kita melihat deretan bajaj di tepi jalan antara Pasar Senen dan Stasiun Pasar Senen ini. Menurut Yanto, ada 40 bajaj yang mencari peruntungan di situ.
Demi menghemat pengeluaran, Yanto memilih untuk tinggal di dalam bajajnya. Ia tidak menyewa kamar kos atau rumah petak. Kebetulan ia bisa membawa bajaj sewaan itu selama 24 jam.
Fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK) umum menjadi tempat rutinnya menyelesaikan kebutuhan harian. Baju kotornya dicuci di MCK lantas disampirkan di pagar-pagar pembatas di kawasan Senen, tempatnya nongkrong.
Tarif 5.000 sekali mandi atau cuci di MCK, jauh lebih murah ketimbang kamar kos yang mencapai Rp 500.000 sebulan.
“Mendingan uangnya dikirim ke keluarga di kampung,” katanya.
Dalam sebulan, ia biasa mengirim Rp 500.000 ke istri dan keempat anak mereka yang tinggal di Lampung. Kiriman uang itu sekaligus menggantikan kehadirannya. Sebab, Yanto makin mengurangi jadwal mudik dari sekali sebulan menjadi tiga bulan sekali. Di akhir Februari lalu, ia bahkan sudah empat bulan tidak menengok keluarganya.
Mangkal meski melanggar
Berkeliling di jalanan dan masuk ke dalam pemukiman warga kini tidak efektif lagi untuk mendapatkan penumpang. Alih-alih dapat sewa, pengeluaran untuk bahan bakar justru bertambah.
Para sopir bajaj juga memilih melanggar aturan, demi penghematan. Mangkal di tepi Jalan Raya Melawai, misalnya, mereka lakoni meskipun di situ terpasang rambu larangan parkir.
“Mendingan kabur sebentar pas petugas Dishub (Dinas Perhubungan) ngusir-ngusir kami. Setelah itu, kami ke sini lagi. Buat apa muter ke kampung-kampung, buang-buang bensin,” kata Gandung.
Bajaj kini sudah berbahan bakar gas, setelah pada 2013 Jakarta menetapkan kebijakan penggantian bajaj oranye ke bajaj biru. Gas dinilai lebih murah dan lebih ramah lingkungan. Akhir Februari, gas dijual Rp 4.500 per lsp (liter setara premium), sedangkan Premium Rp 6.550 per liter.
Selain bisa diisi gas, bajaj biru juga bisa jalan dengan bensin. Gandung pun menggunakan bensin lantaran stasiun pengisian gas lokasinya jauh. “Pengisian gas ada di Mampang dan Ragunan. Terlalu jauh untuk ke sana. Malah boros bahan bakar,” ucapnya.
Selain itu, bajajnya sering mogok jika menggunakan bahan bakar gas di saat hujan.
Malam semakin larut, waktu semakin tipis. Gandung pesimistis dapat membayar setoran hari ini. Ia bahkan belum membayar setoran delapan hari terakhir kepada pemilik bajaj, Sarnat (35).
Pemilik pasrah
Sarnat hanya bisa pasrah dengan terhambatnya setoran dari para sopirnya. Ia memahami bahwa sopir memilih untuk mengirim uang ke keluarga. Bahkan, sudah setahun terakhir ini Sarnat tidak mengambil untung dari setoran.
“Dulu setoran per hari Rp 100.000. Setahun ini saya turunkan menjadi Rp 80.000,” kata Sarnat yang bermukim di Cipete, Jakarta Selatan.
Besaran setoran itu adalah yang paling rendah karena ia harus membayar cicilan kredit enam bajajnya. Setiap bajaj seharga Rp 115 juta ini harus dicicil Rp 2,3 juta per bulan selama 3 tahun. “Setelah lebaran tahun ini, empat bajaj akan lunas. Dua sisanya akan lunas pada tahun depan,” kata Sarnat.
Pengeluaran untuk cicilan itu masih harus ditambah dengan biaya perawatan bajaj yang ditanggung pemilik. Saban bulan, Sarnat mengeluarkan sekitar Rp 200.000 per bajaj untuk ganti oli, ganti ban, atau kebutuhan onderdil lainnya.
Ironisnya, pendapatan dari bajaj tidak mampu menutup cicilan pembelian bajaj. Toko sembakonyalah yang mencukupi cicilan bajaj.
Sebenarnya, bila setoran dibayar rutin Rp 80.000 dalam 30 hari, Sarnat bisa mengantongi Rp 2,4 juta dari setiap bajaj. Itupun masih kurang untuk menutup biaya onderdil. Namun, masa kejayaan bajaj yang mulai sirna membuat pembayaran setoran tidak 30 hari. Kadang hanya separuhnya.
Dulu Sarnat mengira, masa depan bajaj akan cerah. Sebab, ketika ia masih memiliki bajaj oranye, usaha itu cukup menguntungkan. Di awal bajaj biru beroperasi pun masih dapat sambutan hangat dari pengguna angkutan umum lantaran getarannya yang tidak terlampau kencang, suara halus, dan kabin penumpang yang lebih lapang.
“Dulu, kami kira dengan bajaj yang lebih nyaman, penumpang akan semakin ramai,” kata Sarnat. “Ternyata malah seperti ini,” gerutunya.
Untuk mendapatkan bajaj biru, ia harus menyerahkan bajaj oranyenya beserta uang muka Rp 30 juta untuk setiap bajaj biru.
Terlalu mahal
Sayangnya, pertimbangan penumpang di Jakarta ini tidak melulu soal kenyamanan angkutan umum. Tarif menjadi komponen yang menentukan angkutan apa yang dipilih. Dalam hal ini, bajaj harus kalah dari angkutan daring yang menawarkan tarif hingga kurang dari separuh tarif bajaj. Padahal, dari sisi regulasi, bajaj legal dibandingkan angkutan daring terutama ojek.
“Kadang-kadang saya tetap memakai bajaj jika hujan atau sedang buru-buru sambil membawa barang besar,” kata Velya (19), mahasiswa. Saat itu, ia sedang menunggu ojek daring seusai berjalan-jalan di pertokoan Melawai. “Kadang-kadang, menunggu taksi atau ojek daring itu terlalu lama,” katanya lagi.
Riani (52) ibu rumah tangga memilih angkutan daring. "Tarif (bajaj) mahal. Itu yang paling memberatkan. Sebetulnya kan (bajaj) lebih praktis, langsung di pinggir jalan tidak pakai aplikasi,” katanya.
Dengan ojek daring, kata Riani, perjalanan dari Melawai ke Fatmawati hanya dikenai tarif Rp 7.000, sedangan bajaj Rp 15.000.
Yanto mengakui, tarif bajaj kalah bersaing dengan angkutan daring. Sebab, ada setoran ke majikan. Pun tidak ada pemodal besar yang masuk ke bajaj.
“Taksi daring dari Pasar Senen ke Tanah Abang cuma Rp 19.000. Kami mana berani segitu. Kami tidak bisa lebih rendah dari Rp 30.000 supaya tidak rugi,” kata Yanto.
“Padahal, bajaj memiliki ijin usaha dan sertifikat kelaikan jalan yang tidak dimiliki taksi online. Saya hanya merasa tidak mendapat keadilan,” tambahnya.
Siapkan iklan
Lantas bagaimanakah pemerintah memandang bajaj?
Sigit Wijatmoko, Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, mengatakan, bajaj akan tetap difungsikan sebagai angkutan lingkungan.
Sigit mengatakan, Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengkaji solusi untuk meningkatkan pendapatan dari pengemudi atau pemilik bajaj yakni dengan menempatkan iklan di badan bajaj. “Dari situ kan dapat menjadi semacam subsidi untuk pemilik atau pengemudi bajaj,” kata Sigit.
Akan tetapi, belum jelas program pemasangan iklan ini akan diluncurkan kapan. “Ini sedang dikerjakan, mudah-mudahan secepatnya bisa (diluncurkan). Kami lagi mendesain rancang bangunnya agar dapat dipastikan bahwa penempatan iklan tersebut tidak mengganggu konsentrasi pengemudi,” kata Sigit.
Sementara, baru itu saja yang didisiapkan Pemprov DKI Jakarta atas angkutan lingkungan atau bajaj yang menurut Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlahnya mencapai 14.043 unit pada 2016. Jumlah angkutan itu tidak berubah dibandingkan tahun 2015.
Menilik kondisi yang dialami sopir dan pemilik bajaj, sekaligus minat pengguna angkutan umum, bukan tidak mungkin pada satu waktu kita tidak lagi melihat bajaj terdata sebagai angkutan lingkungan. Penyebabnya bukan seperti becak yang dilarang penguasa. Bajaj yang muncul sejak tahun 1975 di ibu kota ini sirna tergusur zaman. (DD17/ART)