China ”Kenyang” dengan Ulah Trump
Bayangkan saat Malaysia, misalnya, merendahkan Indonesia. Sakit, jengkel, dan menggeramkan. Dengan demikian, dapat dibayangkan perasaan China atas ulah Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang dimulai dari sarkasme sejak kampanye hingga pencanangan perang dagang.
Hal paling menyesakkan adalah penyerangan pada kedaulatan China. Pada Jumat (16/3), Trump meneken Undang-Undang Perjalanan yang mendorong pejabat AS-Taiwan saling mengunjungi secara resmi. Ini sinyal pengingkaran pada kebijakan ”satu China”.
Ini mengakumulasi sarkasme dan segala perangai Trump sejak 2016. Frasa seperti ”pemerkosa” manufaktur AS, manipulator mata uang, traitor atau pengkhianat, pencuri teknologi, dan macam-macam. Mungkin China sudah mual pula.
Trump begitu tidak etisnya sehingga cocok dengan kesimpulan dari Citizens for Responsibility and Ethics in Washington (CREW), sebuah lembaga nirlaba (Newsweek, 16 Januari 2018). Trump disimpulkan sebagai ”Presiden paling tidak etis dalam sejarah modern dan kemungkinan dalam sejarah AS”.
”Praktik ketidaksopanannya telah berisiko hukum dan memunculkan skandal yang mencoreng kepresidenan. … Ketidaksopanannya tiada bandingan,” demikian antara lain dalam laporan 36 halaman yang disusun Noah Bookbinder, Direktur Eksekutif CREW dan seorang mantan jaksa penuntut korupsi di Departemen Kehakiman AS.
Laporan itu dia susun bersama sejumlah orang, seperti Norm Eisen, staf tentang etika di pemerintahan Presiden Barack Obama, serta Richard Painter yang juga pernah bekerja untuk Presiden George W Bush.
Balasan sarat sinyal
China dengan diplomasi ”jaga mulut” hanya membalas halus. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang hanya mengatakan, ”Ditegaskan bahwa Beijing menentang undang-undang itu dan meminta AS taat pada kebijakan satu China.” Reaksi China tertata, terukur, bahkan terus bersikap akomodatif.
Walau kenyang dengan sarkasme, setelah Trump menjadi presiden, malah Presiden China Xi Jinping tetap bersedia bertemu dengan Trump di AS pada 2017 lalu. Hingga awal 2018, Presiden Xi tetap membujuk Trump untuk siap berkolaborasi. ”Sebab, kolaborasi adalah pilihan terbaik dan tidak ada alasan untuk tidak melakukan itu,” kata Jonathan Stromseth dan Ryan Hass dari Center for East Asia Policy Studies John L Thornton China Center, seperti dituliskan di Nikkei Asian Review, 13 November 2017.
Pada 3 Maret Presiden Xi mengirim Liu He, Ketua Kantor untuk Urusan Ekonomi Keuangan Terdepan China berkunjung ke Washington untuk bertemu dengan Ketua Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Menteri Keuangan Steven Mnuchin. Liu berkunjung untuk mendorong negosiasi. Trump tidak sopan dengan pengumuman pemberi sinyal pengenaan tarif impor baja dan aluminium. Trump mengira, China akan takut dan rugi besar.
China memang tidak gegabah. ”China sungguh tidak menginginkan perang dagang. Mereka ingin status quo,” kata seorang pejabat senior AS kepada Reuters, 28 Februari.
Siap jika terpaksa
Yifan Zhang, profesor di Departemen Ekonomi The Chinese University of Hong Kong, menuturkan, China tidak kaget lagi dengan situasi itu. China juga memilih untuk tidak emosional. ”Sebab, reaksi emosional sama saja dengan merugikan diri sendiri dalam globalisasi yang memang saling mendukung dan menguntungkan,” ujar Yifan kepada Sputnik, situs berita Rusia, 16 Maret.
Meski demikian, Departemen Perdagangan China sudah menyusun serangan balasan jika terpaksa (The South China Morning Post, 17 Maret). ”China siap dengan perang dagang, dan AS akan menjadi pihak yang dirugikan,” kata Robert Ross, profesor ilmu politik dari Boston College, kepada CNBC, 15 Maret.
”China sudah bersikap jelas, ’Anda ingin perang dagang? Kami siap’. China siap karena memang negara itu memiliki pasar besar dan pertumbuhan ekonomi tinggi,” lanjut Ross seraya mengatakan, adalah Apple, Buick, dan perusahaan AS lain yang akan merugi. ”Trump hanya melihat masalah dari satu sisi, tidak melihat manfaat besar yang diraih AS dari perkembangan China,” kata Ross.
China tampaknya tidak akan melawan kasar atau keras kecuali jika Trump terus menohok tanpa pikir panjang. China memerlukan kolaborasi ekonomi untuk kemulusan perkembangan ekonominya.
Namun, terlepas dari itu, China juga mengantisipasi pemudaran ekonomi AS dalam jangka panjang. ”Negara Tirai Bambu” sudah melihat relasi dengan AS tidak bisa membuat negara itu tergantung selamanya secara pasar.
Untuk itu, salah satunya yang dilakukan Presiden Xi Jinping adalah dengan membantu pengembangan ekonomi dunia lewat perkembangan infrastruktur. Hal itu dijalankan lewat program pengembangan Jalur Sutra modern, dan Indonesia termasuk yang akan dibantu dari segi pendanaan investasi.
China sangat taktis. Para pebisnis AS hingga sekaliber Bill Gates pun dikatakan bertemu dengan Trump, Jumat. Tujuan Gates adalah menekankan bahwa kolaborasi dengan China jauh lebih menguntungkan ketimbang berseteru.
Mungkin AS sebagai bangsa perlu sadar segera bahwa Trump bukan gambaran ideal dari negara yang besar, terhomat, dan penjunjung demokrasi. (AFP/AP/REUTERS)