Kampung Pelangi yang Dikangeni
Setahun lalu, Dusun Pabyongan di Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, tak berbeda dengan dusun lain di Tulungagung. Namun, berkat inisiatif warga mengecat rumahnya menjadi Kampung Pelangi, dusun yang terletak di kaki Gunung Wilis ini kini ramai dikunjungi wisatawan.
Ibarat gula yang selalu dicari semut, Kampung Pelangi juga selalu dikangeni wisatawan. Warga pun tak perlu mencari nafkah jauh dari rumah mereka karena tempat tinggalnya selalu ramai wisatawan dari luar daerah.
Seperti yang dialami Yeni Nur Hayati (41), salah seorang warga. Dia mulai membuka warung makan di teras rumahnya yang berukuran sekitar 20 meter persegi. Warung sederhana itu memiliki dua meja yang bisa menampung sekitar 10 pembeli. Makanan yang dijual sederhana, seperti mi instan dan makanan ringan.
Sebelumnya, dia membuka warung di pusat Kota Tulungagung. Setelah membuka warung di rumah, Yeni tidak perlu membayar biaya untuk menyewa tempat karena tempat yang dipakai adalah rumahnya sendiri. Saat berjualan, Yeni bisa mengawasi dua anaknya serta orangtua yang tinggal di rumah yang sama.
”Dulu saat berjualan di kota Tulungagung, hanya pulang dua kali seminggu. Sekarang tiap hari di rumah bisa bertemu keluarga. Hidup menjadi lebih tenang,” katanya.
Dulu saat berjualan di kota Tulungagung, hanya pulang dua kali seminggu. Sekarang tiap hari di rumah bisa bertemu keluarga. Hidup menjadi lebih tenang.
Yeni membuka warungnya setiap hari, berbeda dengan warga lain yang hanya buka tiap minggu saat ramapi pengunjung. Jika sedang ramai seperti akhir pekan atau hari libur, dia bisa mendapat keuntungan sekitar Rp 200.000 tiap hari.
Yeni salah satu dari sekitar 10 warga yang membuka warung di Kampung Pelangi. Mereka berjualan di teras rumah masing-masing. Makanan yang dijajakan adalah makanan tradisional, seperti pecel, soto, dan lodho. Mereka yang berjualan pada umumnya adalah ibu rumah tangga yang sebelum ada Kampung Pelangi tidak memiliki pekerjaan.
Kepala Desa Mulyosari Agil Wuisan, mengatakan, roda ekonomi warga mulai berputar seusai ada Kampung Pelangi. Warga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan kini bisa berdagang atau menjadi tukang parkir.
”Yang boleh berjualan hanya warga desa. Kami melarang warga desa lain untuk berdagang di Kampung Pelangi karena warga sendiri harus diutamakan,” ujarnya.
Setelah ramai dikunjungi sebagai kampung wisata, jerih payah warga seakan terbayarkan. Mereka bergotong royong tanpa bantuan pihak luar mengecat kampungnya dengan warna-warna pelangi. Mereka juga membuat destinasi pendukung, seperti gardu pandang yang menyajikan hamparan kaki Gunung Wilis.
Setiap malam, warga menghabiskan waktu untuk mengecat lingkungannya. Jalan sepanjang 300 meter dan rumah-rumah yang ada di sepanjang jalan terus dicat. Para pemuda desa mendapatkan arena untuk berkreasi karena bisa mengecat lingkungan dengan gambar kreasi tiga dimensi.
”Tidak ada lagi kegiatan tidak produktif yang dilakukan anak muda. Mereka kini berpandangan kreatif untuk mengembangkan kampungnya,” kata Agil.
Di Gresik, pendiri Damar Kurung Institute, Novan Effendi menuturkan, Kampung Grebek, termasuk padat penduduk, saat ini dihuni 88 keluarga. Dulunya kampung itu berupa tanah lapang dirimbuni alang-alang dan pepohonan.
Disebut Kampung Grebek karena awalnya di tempat itu dulunya sering terjadi penggerebekan oleh warga. Penggerebekan itu terkait lokasi itu menjadi tempat pertunjukkan tandak (sejenis ronggeng), yang disertai pesta arak (jenis minuman keras tradisional hasil fermentasi dari legen) dan judi.
Mengubah kampung kumuh dan jorok menjadi berwarna warni, tertata, dan bersih juga dilakukan Pemerintah Kota Surabaya di kawasan Kenjeran. Kawasan pantai yang dahulu sebelum 2014, kotor dan semrawut, kini semakin berwarna. Tak hanya jalan yang dilebarkan dari 3 meter kini menjadi 8 meter. Saluran pun dibersihkan lalu diperlebar dan lebih dalam.
Jalan raya bisa lebih lebar karena penutup saluran dijadikan jalan umum. Warga pun tak lagi menjemur ikan sampai badan jalan sehingga kawasan itu sering macet. Penataan kawasan pantai itu tak hanya rumah pendududk dari satu gang ke gang lain, tetapi juga menaggul sepajang bibir pantai. Pengunjung pun semakin berdecak kagum jika ke Kenjeran karena selain ada di taman, yakni Taman Suroboyo dan Taman Bulak, juga ada Taman Air Mancur Menari.
Di kawasan ini juga disediakan tempat menjemur ikan di tengah permukiman sehingga tak ada lagi warga yang menjemur depan rumahnya. Gang pun semua sudah menggunakan paving blok sehingga kawasan kian nyaman.
”Begitu kawasan ini sudah tertata dan bagus seperti sekarang, rezeki pun datang,” kata Hanifah (34), ibu rumah tangga yang setiap hari bertugas membersihkan ikan hasil tangkapan suaminya yang melaut sejak subuh.
Semakin ramainya pengunjung ke kawasan Kenjeran, mendorong warga kreatif untuk mengembangkan berbagai usaha, terutama menyediakan makan, minuman, serta suvenir khas Surabaya. Sekarang semakin banyak yang buka gerobak untuk berjualan karena kian banyak yang datang ke sini karena pembeli juga bertambah ramai.
Tak hanya berjualan menggunakan gerobak atau rombong, pemilik perahu pun tak kalah kreatif untuk mendulang uang masuk. Selepas melalut tengah hari, mereka menawarkan pengunjung keliling Kenjeran hingga Jembatan Surabaya dengan biaya Rp 200.000. Perahu biasa mengangkut maksimal 10 orang sekali keliling, jadi relatif murah sehingga banyak yang minat.
Saya mulai menyediakan hasil melaut dalam kemasan sehingga mudah ditawarkan ke pengunjung Pantai Kenjeran yang semakin ramai.
Seperti Arifin (45), warga Bulak mulai memutar otak untuk bisa mendapat berkah dari kian asrinya kawasan Kenjeran. ”Saya mulai menyediakan hasil melaut dalam kemasan sehingga mudah ditawarkan ke pengunjung Pantai Kenjeran yang semakin ramai,” katanya.
Hampir semua warga yang mayoritas nelayan berlomba menciptakan produk olahan dari hasil melaut sehingga tak lagi dijual mentah ke restoran. Hasil tangkapan itu diolah menjadi ikan asin, kripik, dan krupuk serta camilan yang dijual dalam jumlah besar atau sudah dikemas.
Sepanjang jalan Kenjeran hingga Bulak, tumbuh pedagang aneka camilan dengan bahan utama biota laut, termasuk ikan yang diasap. Khusus ikan asap bisa disebi iwak pe’i, pedagang mulai berjualan selepas tengah hari hingga petang.
Perombakan kawasan Kenjeran nyaris tanpa gejolak. Baik saat penataan, pembangunan taman, jembatan Suroboyo, maupun Sentra Ikan Bulak. Warga secara sukarela ikut menata tempat tinggalnya termasuk terus berkreasi mewarnai setiap ruang kosong di sekitarnya.
Warga pun saling menjadi ”polisi” di antara mereka, terutama terkait kebersihan dan keindahan serta ketenteraman lingkungannya. Semisal saling tegur jika masih ada yang buang sampah sembarangan karena di hampir semua tempat di Surabaya, tempat sampah mudah ditemukan.
”Penataan kawasan pantai sama sekali tidak menggusur penduduk karena prinsipnya pembangunan untuk mendongkrak kesejahteraan mereka,” begitu selalu diutarakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Dengan mengedepankan memperbaiki kehidupan warga, setiap program penataan di kawasan mana pun di Surabaya, selalu mulus. Bagaimana tidak, sebelum melebarkan jalan dan membangun jembatan, Pemkot Surabaya lebih dulu mempersiapkan Sentra Ikan Bulak.
Di Sentra Ikan Bulak persis depan Taman Suroboyo, gedung berlantai dua itu tak hanya sebagai tempat berjualan hasil laut, tetapi lengkap dengan sarana mengeringkan ataupun mengolah hasil tangkapan nelayan. Di lantai dua dijadikan tempat makin sambil menikmati pesona Kenjeran yang kini telah hijau dan berwarna.
Warna-warni kampung di Tulungagung, Gresik, dan Surabaya kini ibarat magnet yang menyilaukan warga lainnya. Mereka menjadi antusias datang untuk menikmati kampung yang tertata rapi. Kedatangan mereka pun selalu membawa berkah bagi warga kampung.
Jadi, kapan kampungmu akan menjadi kampung warna-warni berikutnya? Begitu kampung berwajah ceria, kreativitas warga pun sulit dibendung karena rasa rindu pengunjung tak bisa lagi dibendung.