Kerja Keras yang Membuahkan Hasil
Esron Simbolon (50) menatap makam ayahnya di kebun sawit yang tak jauh dari rumahnya. Ia mengenang masa-masa berat orangtuanya yang pantang menyerah bertani sawit sekitar tahun 1984. Keadaan saat itu sangat sulit sehingga mereka makan seadanya.
Namun, orangtuanya tidak menyerah. Mereka bekerja keras di kebun agar anak mereka bisa sekolah dan hidup lebih baik dibandingkan mereka. Semangat itu yang membuat orangtuanya berangkat pagi ke kebun dan baru pulang malam hari.
”Rumah seperti hanya untuk tidur saja. Ayah dan ibu saya bekerja keras sekali setiap hari, tak kenal lelah merawat sawit. Kadang kala, mereka malah memasak di kebun karena tidak sempat pulang ke rumah,” tutur Esron, didampingi ibunya, Pintauli Manurung (72), ketika ditemui di kebun sawit miliknya di Desa Pengkolan, Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sekitar tiga tahun kemudian hasil mulai dipetik dan perubahan hidup mereka dimulai.
Esron yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun mengakui, dirinya hanya bersekolah hingga lulus SMA. Namun, semua adiknya menyelesaikan pendidikan tinggi hingga mendapatkan gelar sarjana. Saat itu, orangtua mereka belum mampu membiayai kuliah.
Setelah adik-adiknya selesai kuliah, barulah Esron berkuliah dan berhasil menyelesaikannya beberapa tahun lalu. Meski telah selesai menyekolahkan anak-anak, pasangan orangtua itu tetap bekerja di kebun. Mereka tak mau enak-enak di rumah saja.
”Suatu ketika, ayah mengatakan, jika kelak meninggal, ia ingin dimakamkan di kebun sawit. Ketika beliau tiada, permintaan itu kami penuhi. Ia memang sangat mencintai kebun ini,” katanya.
Kerja kerasnya memang berbuah. Luas lahan yang semula 2,5 hektar menjadi 5 hektar dalam waktu dua tahun dan terus bertambah. Sekarang, keluarga ini memiliki lahan hingga 120 hektar. Penambahan lahan dilakukan dua tahun yang lalu.
Mereka mengenal tanaman kelapa sawit dari tetangga. Saat itu, tetangga menanam dan orangtuanya meniru. Sebelum menanam sawit, mereka menanam jagung dan tanaman lainnya. Perubahan tanaman membawa perubahan pula pada kehidupan mereka. Kesejahteraan keluarga juga berubah ketika buah ketekunan itu mulai dipetik.
”Wah, dulu makan ikan asin saja sulit. Namun, semua berubah ketika kami mulai panen. Kami tidak bisa membayangkan kalau keadaan kami bisa berubah. Saat itu, bisa makan saja syukur. Kami tidak membayangkan kalau anak-anak bisa kuliah saat itu. Setelah mulai panen, bapak berani berutang ke bank untuk menyekolahkan anak-anaknya. Uang pengembalian utang bank itu kami bayar dari panen sawit,” kata Pintauli.
Supar (60), petani sawit Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Jawa, di Kabupaten Simalungun, juga bangga karena empat anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Dari empat anaknya, tiga orang sudah lulus kuliah, sementara satu anak bungsunya baru masuk sebuah perguruan tinggi di Bandung, Jawa Barat.
Supar menuturkan, selama 15 tahun, dirinya menjadi petani padi hingga kemudian bisa menabung dan membeli 2 hektar lahan pada tahun 1995.
”Saat itu saya hanya terpikir, anak-anak saya tidak boleh miskin seperti saya. Mereka harus bersekolah dan sejahtera. Jangan seperti saya! Alhamdulillah, cita-cita saya tercapai dan sekarang saya ingin menunaikan ibadah haji. Semua karena sawit,” kata Supar yang orangtuanya berasal dari Pulau Jawa dan menjadi pegawai pengairan di Simalungun.
Menyelesaikan pendidikan
Tugimin (57), petani Desa Baja Dolok, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, mengaku hanya bersekolah di sekolah dasar, tetapi tidak tamat. Ia pernah ikut orangtua bertani padi pada waktu muda. Kemudian ia membeli lahan seluas 2 hektar dan ditanami jagung. Pada tahun 1993, ia beralih jenis tanaman ke kelapa sawit.
”Waktu itu, saya mengenal sawit dari asisten pembibitan Pusat Penelitian Kelapa Sawit, namanya Pak Elvia Lubis. Dia memperkenalkan sawit kepada saya. Saya percaya pada omongannya. Pak Lubis pernah menerangkan soal sawit sampai jam satu pagi,” cerita Tugimin.
Sebenarnya, Tugimin mengaku bingung dengan tanaman baru itu. Namun, ia ikuti saran-saran Lubis, termasuk saat menjelang panen tahun 1996. Rupanya Lubis kembali meyakinkan nanti akan ada yang datang dan membeli. Ucapannya itu benar karena Lubis juga membantu mencarikan pasar.
Kerja keras Tugimin membuahkan hasil. Setelah sukses menanam sawit pada masa awal, ia juga membeli lahan baru. Dari lahan itu ia menabung dan mulai bisa menyekolahkan anak-anaknya. Satu per satu mengenyam pendidikan tinggi. Dari tanaman sawit, selain bisa menyekolahkan anak-anaknya, Tugimin mengaku bisa mengubah kehidupan keluarga dan anak-anaknya.
”Saat itu saya mengatakan kepada diri saya, kalau bisa anak saya lebih maju daripada orangtuanya. Anak jangan sampai susah, harus lebih baik daripada orangtuanya. Semua ini menjadi nyata,” kata Tugimin.
Pantauli, Supar, dan Tugimin adalah sedikit dari mereka yang jatuh bangun di kebun sawit. Kini mereka telah memetik hasilnya. Masa tuanya dipenuhi dengan senyum dan tawa. Mereka bangga pada kebun dan hasil dari kebun. Mereka telah hidup dari kebun itu dan tak ingin melepaskannya.
”Jangan kau jual kebun ini, ya. Semua ini dari ayah dan ibumu. Aku khawatir kamu menjualnya,” kata Pantauli kepada Esron sebelum kami datang.
Esron menceritakan obrolannya dengan sang ibu itu kepada kami. Pantauli mengira, kami yang datang adalah orang bank yang akan menaksir nilai kebun itu setelah anaknya menjual kebun. Orang itu dikira membeli kebun dengan meminjam duit dari sebuah bank.
Esron terkekeh-kekeh mendengarkan omongan ibunya itu dan berkali-kali menjelaskan bahwa yang akan datang bukan pembeli kebun. (ANDREAS MARYOTO)