Masyarakat Sipil Minta Penundaan Pengesahan RUU Hukum Pidana
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Organisasi perempuan dan sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat agar menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana jadi undang-undang. Hal itu karena sejumlah pasal dalam rancangan undang undang tersebut merugikan perempuan, anak, dan kelompok rentan lainNYA.
Seruan itu disampaikan Masyarakat Sipil Peduli Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-HP), dalam petisi yang ditandatangani sejak Jumat (16/3), seusai seminar dan lokakarya “Mewujudkan Pembaharuan Hukum Pidana Melalui RUU-HP Berkeadilan, Demokratis, dan Responsif, pada Perkembangan Tindak Pidana”.
Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartikasari menegaskan, sejumlah pasal di RUU-HP dan tindak pidana baru di masyarakat merugikan perempuan dan anak. Jika pasal-pasal itu ada di RUU-HP, penetapan RUU itu sebagai Hukum Positif (KUHP baru) memicu petaka bagi perempuan, anak, dan kelompok lain.
Selain menunda pengesahan RUU-HP, DPR dan Presiden diminta melaksanakan konsultasi publik. Hingga Minggu (18/3), lebih dari 50 pemimpin organisasi perempuan dan organisasi masyarakat sipil menandatangani petisi itu. “Kami menyampaikan petisi ini karena perumusan RUU-HP belum memertimbangkan pengalaman perempuan, anak, disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan,” kata Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik KPI Indry Oktaviani, kemarin petang.
Dari pembahasan RUU-HP selama ini, Masyarakat Sipil Peduli RUU-HP menilai tiap orang bisa jadi pelaku ataupun korban tindak pidana. Beberapa pasal bisa mengkriminalisasi perempuan, anak, disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan.
Masyarakat Sipil Peduli RUU-HP menilai, pembahasan RUU-HP didominasi ahli hukum pidana, tak melibatkan disiplin ilmu lain, dan mengabaikan kondisi di lapangan. "RUU-HP menyangkut nasib dan rasa keadilan semua warga negara Indonesia yang berjumlah 260 juta penduduk dan tersebar di berbagai wilayah," ujarnya.
Indry mencontohkan, pembahasan RUU-HP belum melibatkan kelompok rentan dan minoritas. Padahal ada pasal-pasal dalam RUU-HP berpotensi kriminalisasi kelompok rentan, seperti orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS. (ODHA). Misalnya, pasangan suami istri yang ODHA ketika bepergian keluar kota selalu membawa alat kontrasepsi (kondom), namun dalam RUU-HP dilarang membawa alat kontrasepsi kecuali petugas medis.
Tidak hanya, itu RUU-HP juga tidak mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas, terutama perempuan dan anak disabilitas yang rentan mengalami kekerasan seksual. "Karena itulah kami meminta Presiden atau pemerintah menarik diri dalam proses pembahasan selanjutnya dari RUU-HP tersebut," ujar Indry.
Kami meminta Presiden atau pemerintah menarik diri dalam proses pembahasan selanjutnya dari RUU-HP
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga tim penyusun RUU-HP Harkristuti Harkrisnowo, tim penyusun melihat kembali sanksi-sanksi pidana yang diatur dalam RUU-HP tersebut, beberapa ada yang ditinggikan.
Sulistyowati Iriyanto, Guru Besar Antropologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengungkapkan hukum harus dirumuskan dengan memertimbangkan pengalaman dan realitas perempuan.
Pasal-pasal yang merugikan perempuan
Ketika membawa materi dalam semiloka, Sulistyowati menyoroti Pasal 460 ayat (1) huruf 2 dalam RUU-HP yang memperluas soal zina. Pada pasal tersebut disebutkan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, akan dipidana karena zina dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
“Siapakah yang potensial akan menjadi korban dari pasal ini? Yakni perempuan (dan laki-laki) anggota warga masyarakat adat yang perkawinannya dilakukan / disahkan menurut hukum adat setempat dan tidak dicatatkan, anak-anak yang mengalami perkawinan anak (termasuk kawin paksa), secara sisi (di bawah tangan) dan tidak dicatatakan, serta siapapun dari kita, warga negara Indonesia,” kata Sulistyowati.
Selain Pasal 460, pasal lain yang berpotensi kriminalisasi perempuan adalah Pasal 463 yang menyebutkan
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban menurut hukum adat setempat atau hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Jika pasal ini disahkan jadi UU, dikhawatirkan akan ada masyarakat yang terkena. Padahal, dalam kehidupan masyarakat ada kondisi tertentu yang menyebabkan orang hidup bersama, seperti adat di daerah tertentu yang membolehkan hidup bersama sebelum perkawinan. Ada juga karena, kondisi larangan perkawinan beda agama menyebabkan pasangan sukar untuk menikah secara resmi, sehingga ada kemungkinan mereka hidup bersama.