JAKARTA, KOMPAS - Penambahan satu wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah atau DPD sebagai implikasi dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditargetkan bisa direalisasikan awal April mendatang. Hal itu akan dilakukan setelah tata tertib DPD yang mengatur tata cara pemilihan tuntas direvisi.
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menambah satu jumlah wakil ketua DPD dari dua menjadi tiga orang. Namun, untuk melaksanakan penambahan tersebut, tata tertib DPD harus direvisi, terutama menyangkut tata cara pemilihan pimpinan DPD untuk pengisi kursi wakil ketua DPD baru.
”Kami menargetkan revisi tata tertib selesai dan disahkan 3 April 2018. Setelah itu, langsung dilakukan pemilihan,” kata Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Tertib DPD Ajiep Padindang saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (18/3).
Menurut Ajiep, selama pembahasan di pansus, menguat opsi agar satu kursi wakil ketua DPD dipilih anggota DPD. Namun, sebelumnya, anggota DPD dari tiga wilayah (Indonesia barat, tengah, dan timur) mengajukan calon setiap wilayah. ”Tiga wilayah berarti tiga calon. Kemudian semua anggota DPD memilih dari ketiga calon. Calon dengan suara terbanyak yang akan mengisi posisi baru wakil ketua DPD,” katanya.
Revisi tata tertib sekaligus akan dilakukan untuk merevisi tata cara pemilihan pimpinan DPD untuk DPD periode berikut. Ini karena jumlah pimpinan DPD, satu ketua dan tiga wakil ketua, seperti diatur di UU MD3, berlaku untuk DPD berikutnya.
Terkait dengan hal ini, opsi yang berkembang di pansus, dua unsur pimpinan berasal dari anggota DPD di wilayah Indonesia barat dan dua lainnya Indonesia timur. Kemudian, ketua DPD akan dipilih dari empat unsur pimpinan yang terpilih. Dengan mekanisme itu, pengelompokan provinsi di DPD terbagi ke dua wilayah barat dan timur. Adapun wilayah tengah masuk ke dua wilayah itu.
Evaluasi perda
Hal lain yang dimasukkan revisi tata tertib DPD berkaitan dengan tugas baru DPD ialah pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah
(raperda) dan perda. Tugas baru ini diamanahkan UU MD3. ”Bentuk pemantauan dan evaluasi masih dirumuskan. Namun, dengan tugas baru, DPD sebatas mengawasi, memfasilitasi, atau merekomendasikan raperda atau perda. Tugas DPD tak sampai membatalkan perda. Pembatalan bukan wewenang DPD,” kata Ajiep.
Saat ditanya apakah ketika pemda hendak mengeluarkan perda harus mengonsultasikan ke DPD, Ajiep mengatakan, hal itu masih dibahas pansus.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengingatkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 telah menegaskan pembatalan peraturan perundang-undangan, termasuk perda, jadi tugas pengadilan. ”Tepat jika DPD tak berwenang batalkan perda,” ujarnya.
DPD, menurut dia, hanya bisa mengawasi, mengkaji raperda atau perda, dan melahirkan rekomendasi. Jika dari rekomendasi itu perda dinilai masalah, DPD bisa mengeluarkan rekomendasi agar direvisi. Opsi lain, DPD mengeluarkan rekomendasi ke Mahkamah Agung jika perda digugat. Dengan demikian, MA punya kajian dan rekomendasi DPD sebelum memutuskan.
Namun, jika aturan bermasalah itu masih berupa raperda, DPD bisa juga menyerahkan rekomendasinya ke Kementerian Dalam Negeri. Rekomendasi itu bisa jadi bahan Kemendagri saat mengevaluasi raperda tersebut.
Dengan tugas baru DPD itu, Robert mendorong sistem pendukung DPD diperkuat. Pasalnya, mengawasi dan mengevaluasi perda atau raperda bukan perkara mudah.