Peraturan Cuti Kampanye Presiden Belum Jelas
JAKARTA, KOMPAS — Pada uji publik, draf Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum belum membahas rinci tentang kewajiban cuti calon presiden dan wakil presiden petahana dalam Pemilu 2019. Padahal, aturan itu perlu diperjelas untuk menjamin hak berkampanye petahana dan larangan memanfaatkan jabatan sebagai presiden.
Pada Senin (19/3), KPU mengadakan Uji Publik Rancangan PKPU terkait Pemilu 2019 di Gedung KPU, Jakarta. Uji publik ini menghadirkan partai politik, lembaga swadaya masyarakat, Badan Pengawas Pemilu, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan KPU. Setelah mendapat masukan dari uji publik, rancangan akan direvisi dan dibawa untuk selanjutnya meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Salah satu yang dibahas adalah pengaturan kampanye. KPU memasukkan aturan terkait cuti capres petahana dalam Pasal 60, 61, dan 62. Dijelaskan, Presiden dan Wakil Presiden yang mencalonkan kembali mempunyai hak melaksanakan kampanye. Hak itu harus memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.
Meski demikian, rancangan itu hanya menjelaskan hak untuk berkampanye. Sementara itu, aturan yang mewajibkan capres dan cawapres untuk cuti belum ada.
”Tidak ada secara eksplisit mewajibkan petahana untuk cuti. UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mewajibkan petahana cuti dengan ketentuan tidak mengganggu jalannya roda pemerintahan,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, yang hadir pada uji publik tersebut.
Menurut Titi, PKPU perlu memasukkan kewajiban cuti ke dalam PKPU. Selain itu, sesuai Pasal 281 Ayat 3 UU No 7/2017, PKPU harus mengatur teknis pengajuan cuti.
”Harus ada penjelasan bagaimana cuti itu harus dilaksanakan, apa yang boleh dan tidak, bagaimana tata cara pengajuan cuti, penyampaian pada KPU,” kata Titi.
Pada Pemilu 2014, kewajiban cuti bagi petahana jelas diatur dalam PKPU No 16 Tahun 2014 tentang Kampanye Pemilu Presiden dan Wapres. Peraturan itu juga mewajibkan capres dan cawapres mengajukan cuti paling lambat tujuh hari sebelum berkampanye.
Pengaturan itu perlu dilakukan untuk memastikan hak peserta pemilu untuk berkampanye. Di sisi lain, hal itu untuk menghindari penyalahgunaan jabatan. ”Tujuan cuti ini untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan, fasilitas jabatan, anggaran, dan mobilisasi aparatur sipil negara, serta intimidasi bawahan karena struktur kepemimpinan,” kata Titi.
Tujuan cuti ini untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan, fasilitas jabatan, anggaran, dan mobilisasi aparatur sipil negara, serta intimidasi bawahan karena struktur kepemimpinan.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, peraturan cuti capres dan cawapres perlu lebih ketat dari calon kepala daerah petahana. Mengingat, kapabilitas jabatan presiden jauh lebih besar daripada kepala daerah. Untuk itu, dia berharap KPU mampu menjelaskan secara rinci mengenai aturan teknis cuti capres dan cawapres dalam berkampanye.
Adapun, dalam Pilkada 2018, calon kepala daerah petahana wajib mengambil cuti sejak dimulainya masa kampanye. Cuti itu wajib diambil sejak awal masa kampanye, Februari, sampai 23 Juni 2018, saat pemungutan suara.
Anggota KPU Hasyim Asy’ari menjelaskan, peraturan itu akan diperjelas lagi dengan masukan dari uji publik tersebut. KPU akan mempertimbangkan PKPU terdahulu sebagai pembanding.
”UU, kan, bisa jadi sudah berubah (Pemilu 2014 dan 2019). Kalau kemudian di UU baru sudah tidak ada, kan tidak mungkin diatur sendiri. Nanti KPU dianggap melampaui yang sudah diatur di UU,” kata Hasyim.
Intinya, ucap Hasyim, capres petahana mempunyai hak untuk berkampanye. Sebab, setiap capres berhak berkampanye meskipun status saat itu masih presiden. Hal itu, menurut dia, merujuk pada UU 7/2017 Pasal 267, 281, 299, 300, dan 301.
KPU menjamin capres dapat berkampanye. Namun, capres ataupun cawapres petahana harus mempertimbangkan urusan yang berkaitan dengan kepentingan negara. ”Kalau mau ambil cuti harus mempertimbangkan urusan kenegaraan,” kata Hasyim.
Melarang tokoh
Aturan kampanye lainnya juga menuai perdebatan dalam uji publik. Perdebatan terjadi dalam Pasal 32 Ayat 4 Rancangan PKPU itu, peserta pemilu hanya dibolehkan memasang nama, nomor urut, visi, misi, program partai politik peserta pemilu, foto calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan/atau anggota DPRD kabupaten/kota untuk kampanye pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Artinya, caleg dilarang menggunakan figur capres ataupun cawapres dan figur pahlawan dalam alat peraga kampanye. Peraturan itu dinilai kurang tepat oleh anggota Badan Pemenangan Pemilu PDI-P, Agustiani Tio.
”Pencantuman tokoh itu tidak jadi masalah seharusnya. Masyarakat saja tidak ada yang protes, justru tataran penyelenggara pemilu yang melarang. Partai itu, kan, berkampanye dengan ideologi, biar jelas ideologi caleg dan partainya sama,” kata Tio.
Menurut Tio, caleg yang menjadi peserta merupakan petugas partai. Caleg itu membawa visi dan misi partai, bukan pribadi. Untuk itu, menyertakan tokoh dalam parpol itu seharusnya tidak masalah.
”Apalagi, pilpres dan pileg kali ini bersamaan. Capres dan caleg, kan, perpanjangan tangan dari partai. Tidak bisa capres membawa misi pribadi. Masa tidak boleh capres digabung dengan caleg dalam alat peraga kampanye?” tutur Tio.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Hidayat melihat dari sisi yang berbeda. Menurut dia, KPU ingin caleg membawa semangat kegiatan kampanye dengan visi, misi, dan program yang dimilikinya.
”Pemilih harus tahu betul apa yang diperjuangkan seseorang caleg di dapil itu. Karena itu, PKPU ingin menonjolkan hubungan peserta dengan masyarakat di dapil. Bukan dengan gambar figur tetapi program yang ada,” kata Arief.
Selain itu, KPU ingin setiap caleg memiliki kepentingan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Menurut Arief, KPU tidak menginginkan alat peraga tidak menyampaikan pesan kampanye atau hanya menampilkan gambar figur untuk menarik perhatian.
Arief menyatakan, keputusan untuk melarang penggunaan gambar tokoh berdasarkan pengalaman. ”Dulu di Jawa Timur, PKB pernah mengalami itu. Gambar tokoh mereka disobek karena dinilai tidak berhak ada di sebuah kelompok. Nanti ujung-ujungnya malah jadi perang sobek-sobekan,” sebutnya.
Arief berharap semua pihak menghargai semangat KPU yang menginginkan adanya kedekatan antara caleg dan pemilih. Dia menilai peraturan ini merupakan jalan keluar terbaik. ”Kalau kita mau cari lubangnya, pasti tidak ada regulasi yang sempurna,” ucapnya.
Masa kampanye baru akan dimulai pada 23 September 2018 atau tiga hari setelah penetapan daftar calon tetap. Sementara itu, iklan di media massa diperbolehkan saat 21 hari sebelum masa tenang. Hal itu telah disosialisasikan sesuai gugus tugas antara KPU, Bawaslu, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers.
Selain peraturan kampanye, Rancangan PKPU untuk Pemilu 2019 yang dibahas antara lain peraturan dana kampanye, pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan masalah logistik.