SALATIGA, KOMPAS — Debit mata air Senjoyo, yang menjadi sumber mata air utama di Kota Salatiga dan sebagian Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, tercatat mengalami kenaikan signifikan sejak 2017. Dalam kurun waktu 13 tahun sebelumnya, debit mata air ini sempat turun hingga 25 persen, bahkan 40 persen pada musim kemarau. Kenaikan debit mata air ini seiring upaya warga di daerah tangkapan membuat sumur resapan.
Menurut data Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Salatiga, kenaikan debit Mata Air Senjoyo di Desa Tegalwaton, Tengaran, Kabupaten Semarang, itu tercatat terjadi sepanjang 2017 menjadi 1.100 liter per detik. Padahal, pada pengukuran 2008, debit Mata Air Senjoyo tinggal 838 liter per detik atau turun dari pengukuran tahun 1995 sebanyak 1.115 liter per detik.
Direktur PDAM Kota Salatiga Samino mengatakan, kenaikan membuat kecukupan bahan air baku untuk Kota Salatiga. Saat ini, Senjoyo masih menjadi pemasok air baku terbesar untuk Salatiga dengan produksi sebesar 140 liter per detik. Selain Senjoyo, lima mata air sumber air baku untuk Salatiga dan 16 sumur dalam. Namun, produksi dari sumber-sumber lain itu tak sampai seperlima dari Senjoyo.
”Sejak naiknya debit Mata Air Senjoyo ini, kami tak lagi mengalami komplen soal ketersediaan sumber air baku,” katanya dalam pertemuan yang diselenggarakan Program USAID Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS) di Salatiga, Jawa Tengah, Senin (19/3).
Mata Air Senjoyo digunakan sebagai sumber air minum untuk Salatiga sejak zaman kolonial Belanda pada 1925. Selama beberapa waktu terakhir, kondisinya semakin dikhawatirkan karena penurunan debit air dan bertambahnya populasi yang menyebabkan kebutuhan air semakin tinggi. Sumber air itu vital karena saat ini Salatiga tak memiliki sumber air lain yang setara dengan produksi Senjoyo.
Spesialis Air Mentah IUWASH PLUS Asep Mulyana mengatakan, dari penelitian yang dilakukan, penuruan debit Mata Air Senjoyo terjadi akibat banyaknya pembukaan hutan dan alih fungsi lahan di sekitar daerah tangkapan Senjoyo. Maraknya pabrik yang dibangun di kawasan tangkapan air pun semakin memperarah kondisi itu. Pabrik-pabrik itu juga membuat sumur dalam yang mengambil persediaan air bawah tanah.
Dari kajian 2011-2014, kerentanan ketersediaan air di Salatiga sangat tinggi. Bahkan, penurunan muka air di beberapa lokasi di sekitar pabrik di Salatiga ada yang sudah mencapai 4 meter per tahun.
”Dengan kondisi ini, kalau tidak ada antisipasi yang dilakukan, Salatiga akan mulai krisis air pada 2025,” katanya.
Kenaikan debit mata air terjadi seiring pembuatan sumur-sumur resapan di enam desa di daerah tangkapan yang digalang Program USAID Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS) bersama serikat petani lokal Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) sejak 2014. Enam desa itu adalah Noborejo, Gogik, Candirejo, Butuh, Jetak, dan Patemon. Saat ini jumlahnya mencapai 1.060 sumur resapan.
Desa Patemon di Kabupaten Semarang menjadi desa yang paling berhasil melaksanakan program sumur resapan kendati desa di bagian tangkapan itu tak pernah menikmati Mata Air Senjoyo yang terletak di dataran lebih rendah.
Desa itu bahkan sudah membuat peraturan desa yang mewajibkan warganya dan perusahaan di desa itu membuat sumur resapan.
Kepala Badan Permusyawaratan Desa Patemon Kabul Budiono mengatakan, Peraturan Desa Patemon Nomor 3 Tahun 2015 dasar pemikirannya adalah semua perusahaan yang mengambil air harus mengembalikannya dengan membangun sumur resapan.
”Untuk setiap sumur artesis yang mereka miliki, mereka harus buat sumur resapan berkapasitas 20 meter kubik yang dibangun setiap tahun,” katanya.