Bajaj Butuh Keberpihakan Pemerintah
Sebagai angkutan yang resmi, bajaj membutuhkan keberpihakan pemerintah agar bisa bertahan menjadi angkutan lingkungan. Bila tidak, bajaj berpotensi tersingkir lantaran kalah bersaing.
JAKARTA, KOMPAS Keberadaan bajaj sebagai angkutan lingkungan sejatinya merupakan bagian dari sistem angkutan umum di Jakarta. Keberadaan bajaj yang kini tersingkir dari angkutan daring, membuat keberpihakan pemerintah amat dibutuhkan.
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen SW Tangkudung, Senin (19/3), mengatakan, sebagai angkutan lingkungan, bajaj berfungsi mengantarkan orang dari titik pertama perjalanan (first mile) menuju ke halte atau stasiun.
"Sekarang peran bajaj banyak diambil alih oleh ojek daring. Alasan utama penumpang karena tarif ojek yang lebih murah. Ojek dan bajaj ini sama-sama mengantarkan penumpang dari satu titik ke titik lain yang dikehendaki penumpang. Hanya beda moda angkutannya saja," kata Ellen.
Di sisi lain, Ellen menggarisbawahi bahwa ojek bukan angkutan yang berkeselamatan. Lantaran bukan angkutan berkeselamatan, sepeda motor tidak masuk sebagai angkutan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Adapun bajaj merupakan angkutan umum resmi yang menggunakan pelat nomor polisi berwarna kuning. Bajaj juga harus mengikuti uji kir dan menempelkan hasil kir di badan bajaj.
Ellen mengatakan, pengakuan pemerintah atas keberadaan bajaj antara lain terlihat dari ketaatan pemilik bajaj untuk mengganti bajaj oranye menjadi bajaj biru sejak tahun 2013. Pemerintah beranggapan, bajaj biru lebih ramah lingkungan lantaran berbahan bakar gas. Bajaj biru juga memiliki kabin yang lebih lapang dan suara yang tidak seberisik bajaj oranye.
Namun, penggantian bajaj oranye ke bajaj biru tidak membuat tarif bajaj menurun. Tarif bajaj masih didasari kesepakatan penumpang dan sopir.
Saat angkutan daring masuk, perbedaan menyolok soal tarif pun mulai terlihat, bahkan mencapai lebih 50 persen.
Riani (52), ibu rumah tangga, memilih angkutan daring. “Tarif (bajaj) mahal. Itu yang paling memberatkan. Sebetulnya kan (bajaj) lebih praktis, langsung di pinggir jalan, tidak pakai aplikasi,” katanya.
Dengan ojek daring, kata Riani, perjalanan dari Melawai ke Fatmawati dikenai tarif Rp 7.000, sedangkan bajaj Rp 15.000.
Velya (19), mahasiswa, juga memilih ojek daring lantaran tarifnya lebih murah ketimbang bajaj. “Kadang-kadang saya tetap memakai bajaj jika hujan atau sedang buru-buru sambil membawa barang besar,” katanya, akhir Februari.
Yanto (45), sopir bajaj di kawasan Pasar Senen, mengakui, tarif bajaj kalah bersaing dengan angkutan daring. Sebab, sopir bajaj dibebani setoran ke pemilik bajaj senilai Rp 100.000 per hari. Selain itu, tidak ada pemodal besar yang masuk ke bajaj.
“Taksi daring dari Pasar Senen ke Tanah Abang cuma Rp 19.000. Kami mana berani segitu. Kami tidak bisa lebih rendah dari Rp 30.000 supaya tidak rugi,” katanya.
Sistem OK OTrip
Sebagai bentuk keberpihakan pemerintah atas bajaj, Ellen setuju bila bajaj masuk dalam sistem One Karcis One Trip (OK OTrip) yang digagas Pemprov DKI beberapa bulan terakhir.
"Pemprov DKI perlu memikirkan langkah untuk membantu bajaj. Mungkin masuk ke sistem OK OTrip. Tapi harus ada model bisnis untuk bajaj seperti apa," kata Ellen.
Dihubungi terpisah, Massdes Arroufy, Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan DKi Jakarta, Minggu, menjelaskan, bajaj masih tercatat sebagai angkutan lingkungan yang berperan mengantarkan penumpang dari titik rumah (permukiman) ke halte bus transjakarta terdekat yang terkoneksi dengan sistem angkutan terintegrasi.
Dalam pengembangan angkutan terintegrasi, Dishub masih fokus mengurangi jumlah trayek angkot dan jumlah angkot. Sejak OK OTrip dimulai awal tahun ini, angkot yang masuk dan melayani dalam sistem baru 76 angkot di 5 wilayah layanan. Padahal target tahun ini, layanan angkot yang masuk dalam sistem yang terintegrasi sudah merata dan dilayani oleh 2.600 unit angkot. Tahun 2020, jumlah angkot yang beroperasi di Jakarta ditargetkan berkurang dari 12.000 unit menjadi 8.000 unit.
“Prioritas belum sampai ke angkutan dalam lingkungan, sekarang di angkutan dalam trayek dulu,” ujar Massdes.
Sambil menuntaskan integrasi angkot dalam sistem angkutan umum yang terintegrasi, Dishub belum berbuat apapun terhadap bajaj. Semua masih diserahkan ke sistem pasar.
“Namun sebetulnya bajaj itu masih digemari. Saat penumpang turun di Stasiun Tanah Abang, misalnya, saat hujan turun, bajaj yang habis duluan. Ojek daring menjadi pilihan kesekian,” ujar Massdes.
Petakan ulang
Bajaj, lanjut Massdes, secara normatif tidak bisa masuk ke jalan arteri karena karakter jalan. Nantinya akan dipetakan zona-zona layanan bajaj saat pemukiman sudah bisa dilayani dengan angkutan dalam trayek. “Nantinya juga akan kita review lagi,” ujar Massdes.
Wakil Kepada Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko, mengatakan, saat ini ada 11.041 unit bajaj yang beroperasi di jalanan Jakarta.
Adapun Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat, jumlah bajaj mencapai 14.043 unit pada 2016. Jumlah bajaj ini tidak berubah dibandingkan tahun 2015.
Dalam sistem angkutan umum, keberadaan angkutan lingkungan seharusnya memudahkan pengguna angkutan umum. Seluruh moda dalam sistem transportasi harus didukung demi meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menargetkan 46 persen pengguna kendaraan pribadi menggunakan angkutan umum di akhir 2019.
”Saat ini, baru 24 persen perpindahan (pengendara) dari angkutan pribadi ke angkutan umum yang terjadi,” ujar Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono beberapa waktu lalu.
BPTJ juga mencatat, di seluruh Jabodetabek terdapat 47 juta perjalanan per hari. (HLN/DD17/ART)