Indonesia Salah Terapkan Strategi Pemberantasan Narkoba
Oleh
DD01
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan narkoba dengan penangkapan bandar, pengedar, dan pencandu dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah karena tidak diiringi dengan kemampuan merehabilitasi para pencandu. Akibatnya, jumlah pencandu selama 20 tahun terakhir terus meningkat.
Ketua Umum Badan Kerja Sama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama (Bersama) Mayor Jenderal Pol (Purn) I Gusti Made Putera Astaman dalam kunjungan ke kantor redaksi harian Kompas, Jakarta, Senin (19/3), mengatakan, pemberantasan narkoba dengan pendekatan kriminalisasi pencandu belum efektif. Jumlah pencandu narkoba sejak 20 tahun yang lalu tidak berkurang, tetapi justru terus meningkat.
Pemberantasan narkoba dengan pendekatan kriminalisasi pencandu belum efektif. Jumlah pencandu narkotika sejak 20 tahun yang lalu tidak berkurang, tetapi justru terus meningkat.
Berdasarkan data Bersama, pada 1998 jumlah pencandu narkoba 130.000 orang, kemudian naik menjadi 2,8 juta orang pada 2004. Jumlah itu kembali naik pada 2008, 3,2 juta orang; 2012, 3,8 juta orang; 2013, 4 juta orang; 2014, 4,1 juta orang. Memasuki 2015, jumlah pencandu 5,1 juta orang; 2016, 5,8 juta orang; dan 2017, 6,3 juta orang.
”Upaya pemberantasan dengan penangkapan bandar, pengedar, dan pencandu hanya mengurangi 20 persen penggunaan narkoba, 80 persen lainnya tetap lolos,” ujar Putera yang juga mantan Deputi Kapolri Bidang Operasi pada era 1990-an.
Upaya penyelesaian masalah narkoba harus diperkuat dari sisi pencegahan dan rehabilitasi bagi para pencandu. Sebanyak enam juta pencandu yang tidak direhabilitasi akan menjadi pasar penjualan yang potensial. Bahkan, menurut Putera, Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam penjualan narkoba di dunia.
Ia menambahkan, Bersama memproyeksikan, jumlah pencandu dalam beberapa tahun ke depan masih akan naik. Diproyeksikan, jumlah pencandu mencapai tujuh juta orang pada 2018, dan menjadi sekitar delapan juta orang pada 2020.
Penambahan jumlah pencandu terkait dengan penambahan jumlah pengedar. Pencandu cenderung bertransformasi menjadi pengedar yang membidik banyak orang untuk menjadi pengguna baru.
Hal itu dirasakan Ramadhani Ibrahim Zulkarnain (19), mantan pencandu dan pengedar narkotika yang saat ini direhabilitasi di Panti Sosial Putra Permadi (PSPP) Galih Pakuan, Ciseeng, Kabupaten Bogor.
Ibrahim mengatakan, ia menjadi pencandu sejak usia 12 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan membeli narkoba, ia pun menjadi pengedar ketika memasuki usia 13 tahun.
Sasaran utama Ibrahim adalah pelajar sekolah dasar. Menurut dia, menjual narkoba di kalangan pelajar tidak terlalu sulit. Mereka pun berpotensi menjadi pelanggan dalam waktu lama. Oleh karena itu, ia menjual narkoba dengan harga murah. ”Saya berani menjual paket sabu seharga Rp 50.000 untuk anak SD,” ucapnya.
Kemampuan rehabilitasi rendah
Secara terpisah, mantan Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Inspektur Jenderal (Purn) Benny Josua Mamoto mengatakan hal serupa. Menurut dia, penangkapan bandar, pencegahan, dan rehabilitasi perlu dilakukan secara berkelanjutan. Sayangnya, saat ini kemampuan negara untuk merehabilitasi pencandu masih rendah.
Berdasarkan pengalaman Benny, negara hanya mampu merehabilitasi 50.000 pencandu setiap tahun. Dengan demikian, butuh waktu lebih dari 100 tahun untuk merehabilitasi sekitar enam juta pencandu saat ini.
Akan tetapi, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN Komisaris Besar Sulistiandriatmoko mengatakan, kemampuan negara lebih rendah dari itu. Padahal, tanggung jawab rehabilitasi pencandu ditanggung tidak hanya oleh BNN, tetapi juga oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan.
BNN memiliki enam lokasi rehabilitasi, yaitu di Lido, Jawa Barat; Baddoka, Sulawesi Selatan; Samarinda, Kalimantan Timur; Batam, Kepulauan Riau; Kalianda, Lampung; dan Deli Serdang, Sumatera Utara. Kementerian Kesehatan memiliki tempat rehabilitasi di rumah sakit-rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Sementara itu, Kementerian Sosial memiliki tiga panti sosial serta 157 institusi penerima wajib lapor (IPWL) di seluruh Indonesia.
”Gabungan ketiga lembaga itu baru bisa merehabilitasi 18.000 pencandu setiap tahun,” kata Sulistiandriatmoko.
Ketiga lembaga juga belum melaksanakan program rehabilitasi secara terintegrasi. ”Kami masih kerja sendiri-sendiri, padahal kalau bekerja secara terintegrasi akan lebih efektif,” ujar Sulistiandriatmoko.
Inisiatif
Untuk menambah kemampuan rehabilitasi negara, beberapa pihak berinisiatif melakukan upaya pencegahan penggunaan narkoba. Putera dengan Bersama membuat program laskar untuk pemuda. Laskar-laskar terdiri dari tokoh pemuda yang diberikan pelatihan mengenai pengetahuan tentang narkoba. Selain itu, laskar berkomitmen untuk tidak menggunakan narkoba seumur hidupnya.
Putera melanjutkan, konsep laskar adalah satu tokoh memiliki 100 mitra laskar. Mereka bertugas untuk saling membina dan menambah mitra sepanjang hayat. ”Jadi untuk mencegah penggunaan narkoba tidak cukup dengan penyuluhan, perlu ditambah dengan pembinaan,” ucapnya.
Di samping itu, Benny juga menginisiasi pendirian rumah edukasi narkoba di Sulawesi Utara. Rumah edukasi itu dilengkapi dengan narasi dan artefak terkait dengan sejarah, jenis, dampak, dan jaringan penyebaran narkoba Indonesia.
Menurut Benny, memperkenalkan masyarakat terhadap narkoba secara komprehensif dapat membangun pemahaman yang menyeluruh pula. Dengan demikian, mereka mampu mengenal, memahami, dan menolak narkoba berdasarkan kesadarannya sendiri.