Kota Malang yang Justru Nelangsa di Hari Kebahagiaan Sedunia
Oleh
Dahlia Irawati
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Tanggal 20 Maret semestinya diperingati dengan sukacita karena merupakan Hari Kebahagiaan Sedunia. Namun, mungkin tidak dengan Kota Malang, Jawa Timur. Kota Malang malah merayakan Hari Kebahagiaan Sedunia dengan lara alias nelangsa.
Bagaimana tidak nelangsa jika para pemimpin mereka, baik eksekutif maupun legislatif, terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi. Sebagian dari mereka sudah resmi terdakwa dan lainnya masih tersangka dan terperiksa.
Mereka terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi dalam pengadaan kembali proyek pembangunan jembatan Kedungkandang tahun 2016 serta pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-Perubahan Kota Malang tahun 2015.
Yang lebih membuat lara adalah kejadian itu menjadi kado pahit bagi Kota Malang yang akan merayakan ulang tahun ke-104 pada 1 April.
Senin (19/3) kemarin, beredar surat panggilan dari KPK yang menyebut ada enam tersangka baru dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-Perubahan Kota Malang tahun 2015.
Dalam surat panggilan pemeriksaan tersebut juga disebutkan bahwa Wali Kota Malang periode 2013-2018 Mochamad Anton (saat ini nonaktif karena maju Pilkada 2018 ini) telah memberikan janji atau hadiah kepada para tersangka tersebut.
Enam anggota DPRD Kota Malang disebut sebagai tersangka baru kasus tersebut, yaitu Suprapto (Ketua Fraksi PDI-P), Sahrawi (Ketua Fraksi PKB), Mohan Katelu (Ketua Fraksi PAN), Salamet (Ketua Fraksi Gerindra), Zainuddin (Wakil Ketua DPRD Kota Malang dari Fraksi PKB), serta Wiwik Hendri Astuti (Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Demokrat).
Hari ini beredar surat panggilan kedua bagi anggota Dewan lainnya. Dalam surat tersebut disebutkan, enam anggota Dewan lain menjadi tersangka. Mereka adalah Sulik Lestyowati (Ketua Komisi A), Abdul Hakim (Ketua Komisi B sekaligus Ketua DPRD Kota Malang), Bambang Sumarto (Ketua Komisi C), Imam Fauzi (Ketua Komisi D), Saiful Rusdi (Fraksi PAN), dan Tri Yudiani (Fraksi PDI-P).
Abdul Hakim yang disebut tersangka dalam surat tersebut menjabat Ketua DPRD Kota Malang setelah menggantikan M Arief Wicaksono yang juga terjerat kasus ini sebelumnya. Arief mundur setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus ini.
”Saya belum menerima surat yang menyatakan saya tersangka. Tapi saya mendengar kabarnya melalui surat yang diterima Imam Fauzi. Saya masih berharap kabar itu tidak benar karena saya tidak ikut tahu mengenai kasus ini,” kata Abdul Hakim, Selasa (20/3).
Selain itu, KPK pada hari ini juga menggeledah beberapa rumah pimpinan legislatif dan eksekutif Kota Malang. Rumah digeledah saat itu adalah rumah pribadi Wali Kota Malang (nonaktif) Mochamad Anton, rumah Rahayu Sugiarti (Wakil Ketua DPRD Kota Malang), dan rumah Yaqud Ananda Gudban (Ketua Fraksi Hanura-PKS).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, hari ini tim KPK memang melakukan agenda tertutup dalam kasus tersebut. Pemeriksaan saksi-saksi terkait kasus di atas diperkirakan masih akan berlangsung di Kota Malang hingga Jumat (23/3).
Sebelumnya, pada Agustus 2017, Mohammad Arief Wicaksono yang saat itu Ketua DPRD Kota Malang serta Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawas Bangunan (DPUPPB) Jarot Edy Sulistyono (JES) bersama seorang pengusaha Hendrawan Maruszaman (HM) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus dugaan suap dan gratifikasi pembahasan APBD-P Kota Malang tahun 2015.
Arief diduga menerima uang Rp 700 juta dari pengusaha. Uang itu kemudian diduga dibagi-bagi dengan anggota Dewan lainnya. Terkait kasus itu, Arief memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPRD. Posisinya digantikan Abdul Hakim.
Bukan sekali ini saja, kasus korupsi berjamaah terjadi di Kota Malang. Kasus korupsi melibatkan banyak anggota Dewan di Kota Malang pernah terjadi tahun 1999-2004 serta 2004-2009. Saat itu belasan anggota DPRD Kota Malang divonis bersalah karena salah melakukan penganggaran tunjangan untuk anggota DPRD.