Membaca Peluang Pasangan Calon di Tengah Fenomena Golput pada Pilkada Riau
Pertanyaan yang sering kali muncul dalam berbagai perbincangan komunitas masyarakat Riau pada saat ini adalah siapa yang bakal memenangi pertarungan menjadi Gubernur Riau periode 2018-2023. Pertanyaan yang terasa relevan menjelang pesta demokrasi memilih kepala daerah Riau pada pertengahan Juni mendatang.
Bukan perkara mudah menjawab pertanyaan itu. Namun, setelah lebih sebulan memasuki masa kampanye, peta suara pemilih mulai tergambar dan semakin jelas.
Dari berbagai hitung-hitungan politik, sebagian warga masyarakat sudah berancang-ancang menentukan pilihan. Semua pasangan calon memiliki peluang dan masih dapat meningkatkan elektabilitas selama dua bulan ke depan agar dipilih dan menang dalam pertarungan.
Untuk menjawab pertanyaan itu, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah asal-usul dukungan partai politik kepada empat pasangan calon. Pertama, pasangan nomor urut 1; Syamsuar dan Edy Natar Nasution, didukung PAN dan PKS (14 kursi DPRD Riau atau 21,5 persen). Nomor 2; pasangan Lukman Edy-Hardianto didukung PKB dan Gerindra (13 kursi atau 20 persen). Nomor 3; Firdaus dan Rusli Effendi didukung Demokrat dan PPP (13 kursi, 20 persen). Dan, pasangan nomor 4; gubernur petahana Arsyadjuliandi Rachman dan Suyatno ( Golkar, PDI-P, dan Hanura, 25 kursi, 38,5 persen).
Apabila ditinjau dari gambaran dukungan partai politik, nomor urut 4, pasangan Andi (panggilan akrab Arsyadjuliandi) dan Suyatno, merupakan yang terkuat dibandingkan tiga calon lainnya. Andi didukung Partai Golkar yang dikenal sebagai partainya ”Orang Riau” ditambah PDI-P yang merupakan partai pemenang kedua pemilu di Riau. Di atas kertas, Andi-Suyatno yang mengusung slogan ”Ayo” sudah memenangi pemilihan sebelum pilkada digelar.
Hanya saja, hitung-hitungan politik di atas kertas, tentunya sangat bias, atau belum tentu sesuai realitas lapangan. Ada faktor lain yang dapat menggerus suara Andi. Misalnya, suara Golkar akan mengalir ke kader partai pohon beringin lain, yaitu Syamsuar yang mendapat perahu dari PAN dan PKS.
Syamsuar merupakan tokoh Golkar senior Riau dan cukup terkenal. Bahkan banyak orang dalam Golkar yang menganggap Bupati Siak tersebut lebih mumpuni dalam hal kepemimpinan daripada Andi. Syamsuar dianggap lebih berprestasi semasa menjadi bupati di Siak.
”Andi memang Ketua DPD Partai Golkar Riau, tetapi Syamsuar berasal dari partai sama. Syamsuar memiliki prestasi lebih baik dibandingkan dengan kepala daerah lain yang maju di pilkada ini. Itu nilai tambahnya. Dengan demikian, Andi harus mampu mengupayakan partai agar solid mendukungnya. Namun tidak gampang, karena Partai Golkar cenderung pragmatis. Suara Golkar pasti akan terpecah,” kata pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau, DR Hasanudin yang dihubungi, Senin (19/3).
Di samping dukungan partai favorit, Andi masih punya keunggulan lain, yaitu berasal dari etnis Minangkabau yang merupakan salah satu suku terbesar di Riau. Basis pemilih Minangkabau di Riau berada di Kabupaten Kampar (terbesar), Kota Pekanbaru, Pelalawan, dan Kuantan Singingi yang lebih dikenal dengan sebutan wilayah Riau Daratan.
Namun, keunggulan etnis Andi tidak mutlak karena pesaing kuat, yaitu Firdaus, kontestan nomor 3. Firdaus juga beretnis Minangkabau dan putra asli Kampar. Firdaus jelas memiliki kedekatan dengan warga Kampar dibandingkan Andi.
Sebagai Wali Kota Pekanbaru, Firdaus juga memiliki peluang besar memenangi suara di ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru, terutama dari etnis Minangkabau. Yang pasti, Andi dan Firdaus yang sama-sama berasal dari etnis Minangkabau akan berebut suara di Riau daratan. Dari data pemilih sementara KPU Riau, suara dari Riau daratan mencapai 1,359 juta pemilih atau 37 persen dari total suara di Provinsi Riau sebesar 3,676 juta.
Untuk wilayah Riau pesisir yang dominan etnis Melayu, nama Syamsuar lebih mencuat. Syamsuar dianggap sebagai representasi orang Melayu dalam Pilkada Riau 2018. Dalam dua kali Pilkada Riau secara langsung sejak 2008, tokoh etnis Melayu dari pesisir, yaitu Rusli Zainal dan Annas Maamun, memenangi pemilihan dan menjadi gubernur.
Hanya saja, Syamsuar diprediksi tidak mampu menguasai wilayah pesisir Rokan Hilir. Karena ada Suyatno, Bupati Rokan Hilir saat ini, yang menjadi calon wakil gubernur bersama Andi. Suyatno tentu akan berbuat banyak untuk merebut suara rakyatnya sendiri untuk memenangi pemilihan.
Syamsuar juga kurang menjangkau wilayah pesisir di Indragiri Hilir. Di wilayah yang berdekatan dengan Kepulauan Riau itu, ada sosok Melayu lain, Lukman Edy yang merupakan pemuda asli Indragiri Hilir. Lukman Edy diperkirakan bakal unggul di tanah kelahirannya.
Namun, masih ada faktor yang membuat Syamsuar dapat diterima oleh warga Indragiri Hilir. Disebut-sebut, mantan Gubernur Riau Rusli Zainal yang juga tokoh Indragiri Hilir yang lebih terkenal, lebih condong mendukung Syamsuar daripada Lukman Edi. Lagi pula, Edy Natar, calon wakil gubernur Syamsuar, merupakan keluarga dekat dari Septina Primawati Rusli, Ketua DPRD Riau yang juga istri pertama Rusli Zainal.
Calon Gubernur Riau Syamsuar menyapa salah seorang pedagang di Pasar Pekanbaru, saat melakukan kampanye.
”Isu Riau pesisir dan Riau daratan masih kuat. Riau pesisir dianggap mewakili etnis Melayu, sementara Riau daratan merepsentasikan etnis Minangkabau. Melayu dan Minangkabau punya kisah masa lalu yang kurang harmonis, sewaktu masih bersatu dalam Provinsi Sumatera Tengah di awal kemerdekaan RI. Di permukaan isu ini tidak mencuat, tetapi di level bawah masih terasa. Isu ini akan menggelinding dan terus dipakai untuk meyakinkan pemilih,” kata antropolog DR Rawa El Amady.
Suara yang dipastikan tersebar lebih luas adalah pemilih Islam. Tiga dari empat kontestan Pilkada Riau, didukung oleh partai berhaluan Islam. Lukman Edy sebagai kader PKB akan didukung oleh pemilih beragama Islam, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama. Suara NU di Riau tidak kecil.
Namun, suara Islam lainnya pasti akan masuk ke kubu Syamsuar. Berkat kedekatannya dengan kubu Islam-lah yang membuat Syamsuar mendapat perahu PAN dan PKS, setelah ditinggal Partai Golkar. PAN adalah partai menengah di Riau yang memiliki banyak simpatisan. Adapun PKS meski berada di level menengah ke bawah, dikenal memiliki kader solid.
Firdaus jelas akan didukung suara PPP yang berasal dari kubu calon wakil gubernur Rusli Efendi. Rusli merupakan kader senior partai Islam berlambang Kabah itu.
Satu-satunya kontestan tanpa dukungan partai Islam adalah Andi-Suyatno. Namun, setahun terakhir, Andi semakin mendekatkan diri dengan kubu-kubu Islam di Riau.
Menurut Hasanudin, masih ada wilayah abu-abu yang akan diperebutkan mati-matian oleh tiap calon, yaitu basis suara buruh/pekerja perkebunan di Riau. Diperkirakan, sekitar 25 persen pemilih Riau berada di sentra-sentra perkebunan, baik perkebunan kelapa sawit maupun hutan tanaman industri.
Mobilisasi suara buruh perkebunan jauh lebih mudah dilakukan daripada buruh perkotaan. Bahkan disebut-sebut, apabila salah satu calon mampu menggalang suara utuh buruh perkebunan, akan lebih gampang menjadi pemenang.
Meski tidak nyaring terdengar, sesekali muncul isu yang mengabarkan bahwa pengusaha kebun membuat kontrak politik dengan calon unggulan masing-masing. Hal itu disebabkan banyaknya persoalan di perkebunan Riau, terutama menyangkut sengketa lahan. Harapannya, deal politik pengusaha kebun dengan calon gubernur akan memudahkan urusan di kemudian hari.
Dari empat kontestan Pilkada Riau, hanya Lukman Edy yang terang-terangan memasang target menjaring pemilih dari generasi mileneal. Jargon kampanye Lukman, mantan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Jusuf Kallaini adalah ”Gubernur Zaman Now”. Warna-warna alat peraga kampanye Lukman dibuat sangat ngejreng untuk mengesankan masa kekinian.
Namun soal menggaet suara pemuda, Andi juga memiliki kaitan erat dengan organisasi kepemudaan. Keluarga Andi, sebut saja kakaknya, Arsyadianto Rachman, merupakan Ketua Pemuda Pancasila Riau. Keponakan Andi adalah ketua organisasi pemuda yang bernaung dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia Riau. Suara organisasi pemuda agaknya akan mengalir kepada Andi.
Sebagai mantan pengurus Kamar Dagang dan Industri, Andi juga memiliki kedekatan dengan pengusaha dalam lingkaran kekuasaannya, termasuk anggota keluarga besarnya yang sudah terkenal malang melintang sebagai pengusaha. Di antara semua kontestan, Andi diyakini memiliki ”vitamin” paling banyak dibandingkan calon lainnya.
Soal vitamin ini, dipercaya sebagai salah satu faktor yang akan memengaruhi suara, di luar politik etnis dan sikap primordial warga pemilih. Bahkan, menurut Yusril Ardanis, salah seorang tokoh masyarakat di Panam, sebuah wilayah perbatasan Pekanbaru dan Kampar, politik uang justru lebih dominan daripada faktor primordial.
”Masyarakat kita sekarang sudah pragmatis. Calon yang memberi ’vitamin’ lebih diperhatikan. Warga di lingkungan perumahan saya, contohnya, sudah membincangkan calon yang bakal paling banyak memberi vitamin. Serangan fajar di hari-H, menjelang pencoblosan, itu bukan isu,” kata Yusril.
Keunggulan tiap calon sudah jelas tergambar. Tiap kontestan mengaku siap memimpin Riau di masa mendatang.
Menurut Rawa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dia memprediksi calon gubernur Riau yang masuk dalam dua besar adalah Arysdjuliandi dan Syamsuar. Adapun Firdaus dan Lukman Edy harus berjuang ekstrakeras karena ketertinggalannya dari dua calon unggulan itu.
Namun, di balik kompleksitas Pilkada Riau, menurut Hasanudin, ada kelemahan yang terlihat jelas. Suasana Pilkada Riau tidak semarak. Para kontestan yang sedang berkeliling daerah untuk berkampanye tidak terlihat menjual program unggulan.
”Pembicaraan tentang basis massa, politik primordial, dan etnis sudah sering dibicarakan warga. Namun, saya tidak melihat media-media di Riau memuat tulisan yang membandingkan gagasan serta program tiap kontestan. Para calon seakan terjebak dalam rutinitas kampanye seremonial,” kata Hasanudin.
Ketidaksemarakan kampanye, kata Hasanudin, akan berdampak kepada antusiasme pemilih di hari pencoblosan. Apabila tidak ada terobosan yang dilakukan KPU untuk mengajak partisipasi warga, persentase pemilih tidak akan lebih baik dibandingkan Pilkada 2013.
”Sebulan sebelum jadwal Pilkada Kota Pekanbaru 2017, kami membuat survei. Hasilnya, 50 persen lebih warga, tidak tahu atau tidak mau tahu soal pilkada. Pada Pilkada Riau 2013, sebanyak 49 persen warga Riau tidak memilih atau golput (golongan putih). Kalau kondisi kampanye Pilkada Riau masih seperti sekarang, saya khawatir golput akan semakin besar atau paling tidak masih sama seperti lima tahun lalu,” kata Hasanudin.
Itulah sedikit gambaran peta perpolikan Riau dan permasalahannya saat ini.