Orangtua Korban Salah Tembak Dilarang Melihat Rekam Medis
Oleh
DD12
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Keluarga korban penembakan dalam kerusuhan depan Kantor DPRD Luwuk Baggai, Sulawesi Tenggara yang terjadi Agustus 2017 lalu, hari Senin (19/3) melapor ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia. Didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Kontras, dan Advokat Pro Rakyat, mereka meminta Kepolisian mengusut tuntas kasus yang diduga melibatkan oknum aparat ini.
Melpina Badalu (45), ibu dari Aldi Prasetya (17) menyatakan, selama ini tidak mendapatkan kepastian hukum dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara. Padahal, ia sudah melaporkan kasus ini ke Polres Banggai, hingga Polda Sulawesi Tenggara bulan November lalu. Terakhir, Melpina melaporkan kasus ini ke Pengamanan Internal (Paminal) Polri Februari lalu.
Tidak hanya itu, Melpina mengaku, hingga saat ini tidak diizinkan melihat rekam medis dari operasi pengangkatan proyektil yang dilakukan beberapa bulan lalu di Rumah Sakit Umum Daerah Undata, Palu, Sulawesi Tengah.
“Padahal rekam medis itu diperlukan kalau saya ingin mengobati anak saya ke tempat yang lebih baik. Saya malah dibilang tidak bertanggung jawab untuk melihat rekam medis. Padahal, saya kan keluarganya, ibu kandung Aldi,” ujarnya saat ditemui di Kantor Pelayanan Bareskrim, Jakarta Pusat.
Aktivis Advokat Pro Rakyat Riesqi Rahmadiansyah menyatakan pihak keluarga seharusnya mendapatkan rekam medis hasil operasi. Saat ditemui bersama Melpina, Riesqi menyatakan, pihak Rumah Sakit seharusnya memberikan informasi penting seperti rekam medis kepada keluarga. “hak pasien dan keluarganya adalah rekam medis. Makanya, kami melihat ada yang aneh disini,” tuturnya.
Oleh karena itu, didampingi LBH, Kontras, dan Advokat Pro Rakyat, Melpina berharap laporan ke Bareskrim bisa menghasilkan titik terang untuk mencari siapa pelaku penganiayaan. Laporan ini diterima dengan laporan polisi Nomor LP/373/III/2018/Bareskrim, dengan perkara penganiayaan berat.
Riesqi berharap kepolisian mengusut tuntas kasus ini agar tidak terjadi hal yang serupa. Ia khawatir, jika dibiarkan, kekerasan yang dilakukan aparat seperti ini berkembang menjadi extra judicial killing atau pembunuhan di luar proses peradilan. “Saya harap polisi mau menuntaskan kekerasan seperti ini. Masyarakat ingin aparat keamanan yang professional,” ujarnya.
Melpina menceritakan, kejadian ini berlangsung Senin, (28/8/2017) lalu. Saat itu, Aldi menyaksikan unjuk rasa di depan DPRD Luwuk Banggai. Unjuk rasa berakhir ricuh, dan terjadi bentrokan antara aparat pengamanan dan warga yang berunjuk rasa.
”Anak saya tidak sengaja lewat dan melihat keramaian disana (DPRD). Saat kerusuhan terjadi, tiba-tiba Aldi tertembak di bagian pelipis kiri dan mengeluarkan banyak darah. Ia lalu dibawa ke RS untuk perawatan. Saat itu dia tidak sadarkan diri,” ujarnya.
Ditemui terpisah, Kepala Divisi Humas Kepolisian Repubik Indonesia Irjen Setyo Wasisto menyatakan akan mengecek terlebih dahulu untuk penyelidikan lebih lanjut.
Takut polisi
Melpina menuturkan, waktu penyembuhan fisik memang tergolong cepat. Pengobatan pelipis bekas tembakan di pelipis Aldi hanya membutuhkan waktu 14 hari. Namun, tutur Melpina, setelah kejadian itu Aldi menjadi berbeda dari sebelumnya.
Untuk memulihkan kondisi psikologis Aldi, Melpina membawanya berobat ke RS Pusat Polri Kramat Djati. Namun, di awal tahun 2018 Melpina mulai meninggalkan fasilitas kepolisian ini karena Aldi mulai merasakan ketakutan saat melihat Polisi. Saat ini, Melpina membawa Aldi berobat ke RS Hasan Sadikin Bandung.
“Anak saya sudah mengalami tekanan mental yang luar biasa. Emosi Aldi menjadi tidak stabil. Kadang ia tertawa sendiri, marah tiba-tiba, tidak seperti biasa. Aldi bercerita seringkali bermimpi dikejar-kejar polisi. Hal ini yang membuat saya memutuskan untuk meninggalkan RS Polri,” ujarnya sambil terisak. (DD12)