Sekolah belum menjadi tempat yang aman bagi siswa. Banyak kasus kekerasan terhadap anak di sekolah karena guru belum bisa membedakan mendisiplinkan dari menghukum.
JAKARTA, KOMPAS -- Kasus guru memberi hukuman yang tidak wajar seperti kekerasan fisik, psikis, dan mempermalukan siswa masih jamak terjadi di sekolah. Dibutuhkan pendampingan mengenai hak-hak anak dan pengembangan kompetensi pedagogik guru.
Sepanjang awal 2018 ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima laporan 55 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah. Mayoritas merupakan kasus kekerasan fisik dan kebijakan diskriminatif (72 persen), 28 persen lainnya adalah kekerasan psikis (9 persen), kekerasan finansial berupa pungutan liar (4 persen), dan kekerasan seksual (2 persen).
Data KPAI tentang kasus perlindungan anak berdasarkan lokasi pengaduan dan pemantauan media se-Indonesia tahun 2011-1016, tercatat sebanyak 4.376 kasus kekerasan di sekolah sepanjang 2011-2016. Kasus tersebut antaranya, tawuran pelajar, bullying (perundungan), dan kebijakan yang merugikan seperti pungutan liar, penyegelan sekolah, dan larangan mengikuti ujian.
"Sekolah belum bisa menjadi tempat aman. Guru yang semestinya menjadi teladan malah melakukan kekerasan," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti saat merilis tren kekerasan di satuan pendidikan, di kantor KPAI Jakarta, Senin (19/3). Hadir pula Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan, Kreativitas, dan Budaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Elvi Hendrani.
Hukuman tidak wajar ke siswa oleh guru mulai dari pemukulan, penyetrapan, dipermalukan di depan teman-teman sekelas, hingga diharuskan menjilat toilet seperti yang dialami seorang siswa SD di Sumatera Utara.
Menurut Retno, ketika diselidiki, umumnya guru mengatakan siswa yang dihukum nakal serta tidak pernah mematuhi tata tertib sekolah. "Alasan memberi hukuman tidak wajar ialah karena dianggap memberi efek jera," tuturnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise dalam kunjungan ke kantor redaksi Harian Kompas, Jakarta, kemarin, mengatakan, kekerasan terhadap anak di sekolah paling menonjol dalam kasus kekerasan terhadap anak.
“Kekerasan fisik, psikis, dan seksual masih terjadi di sekolah, antara lain dilakukan oleh guru,” kata Yohana.
Elvi menjelaskan tentang prinsip sekolah ramah anak yang menjadikan satuan pendidikan sebagai tempat anak dijamin bisa tumbuh kembang, mengekspresikan ide dengan baik, serta mendapat pengetahuan.
"Anak adalah cerminan orangtua, guru, dan lingkungan sekitar. Apabila anak melakukan pelanggaran kedisiplinan, bahkan kekerasan, menandakan hal yang ia serap dari sekelilingnya," ujar Elvi.
Pengembangan pedagogik
Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Tety Sulastri mengungkapkan, kompetensi pedagogik guru jarang disentuh. Mayoritas pelatihan dan pembinaan menekankan pada kompetensi pengetahuan.
"Banyak guru yang belum bisa membedakan mendisiplinkan dari menghukum," ucapnya. Bahkan, lanjut Tety, guru cenderung enggan mengikuti konsep sekolah ramah anak karena menyangka harus mengizinkan siswa bebas berbuat apapun dan tidak bisa diperingatkan.
Mendisiplinkan, berarti memberi siswa pelajaran akibat melanggar aturan. Sifatnya bukan membuat mereka mengalami trauma fisik maupun mental, tetapi membuat siswa memahami alasan perbuatan yang mereka lakukan itu salah.
"Daripada disetrap karena tidak mengerjakan PR (pekerjaan rumah), lebih baik disuruh mengerjakan PR di pojok kelas disertai tugas tambahan," kata Tety.
Guru sejatinya harus memahami karakter setiap siswa. Tety mengatakan, siswa yang dinilai nakal biasanya memiliki permasalahan serius di rumah. Memberi mereka hukuman fisik ataupun yang mempermalukan justru membuat siswa semakin tidak bisa didisiplinkan.
"Kepala sekolah, pengawas, dan sesama guru harus menyebarluaskan pemahaman disiplin positif," katanya. (DD01)