JAKARTA, KOMPAS — Gangguan bipolar merupakan gangguan gangguan kejiwaan yang terkadang tidak bisa langsung disadari oleh penderita dan lingkungannya. Padahal, gangguan ini mampu memengaruhi produktivitas, bahkan berujung menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri.
Hervita Diatri dari Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Jakarta, Selasa (20/3), menyatakan, gangguan bipolar merupakan gangguan kejiwaan yang menunjukkan perubahaan suasana perasaan antara depresi ataupun gembira berlebihan. Ia berujar, jika tidak dideteksi lebih dini, hal ini bisa memengaruhi produktivitas dan kondisi fisik, seperti kurang tidur, menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri.
Namun, tidak semua perubahan kondisi mood atau atau suasana perasaan diindikasikan sebagai bipolar. ”Seseorang dapat dikatakan menderita bipolar saat perubahan mood tidak hanya berlangsung satu kali. Jadi, harus bertahan dalam waktu yang cukup,” ujarnya dalam Seminar Kesehatan Hari Bipolar Sedunia 2018 di Jakarta.
Hervita menjelaskan, perubahan suasana ini terdiri dari hipomanik, manik, dan depresi. Hipomanik merupakan kondisi saat mengalami perasaan meningkat atau gembira dan menetap selama empat hari. Manik adalah perasaan gembira berlebihan selama sekitar satu minggu. Adapun depresi adalah saat merasa sedih dan murung disertai minat yang hilang, dengan jangka waktu sekitar dua minggu.
Gangguan bipolar ini memengaruhi produktivitas penderita di setiap suasana perasaan. Hervita berujar, saat kondisi tinggi, penderita bipolar memiliki banyak ide. Mereka cenderung tidak bisa diam. Namun, pada saat rendah atau depresi, mereka mengalami kesedihan yang tidak terkontrol dan terkadang memutuskan untuk menyakiti diri sendiri sebagai ekspresi.
Hervita menjelaskan, ada dua tipe penderita gangguan bipolar yang terdeteksi jika diamati. Tipe pertama ditandai dengan kondisi perubahan yang ekstrem antara depresi dan manik. Hal ini mudah diamati karena perubahan yang besar sehingga mencolok.
Tipe kedua, ujar Hervita, adalah gangguan bipolar yang tidak mencapai fase manik, hanya sampai pada fase hipomanik, atau fase naik yang terlihat wajar, tetapi sebelumnya menghadapi depresi. Namun, keadaan naik dan turun dari tipe ini lebih sering terjadi sehingga terlihat normal. ”Tipe dua inilah yang perlu pengamatan lebih karena orang-orang melihatnya seperti gembira pada umumnya. Berbeda dengan tipe pertama,” katanya.
Hana Alfikih (25), seniman yang dikenal dengan Hana Madness, didiagnosis gangguan bipolar dari tahun 2010. Sebelumnya, ia merasakan keadaan emosional yang cenderung naik dan turun secara drastis. Ia mengatakan, memasuki masa SMA, ia tidak merasa nyaman di rumah, dan sering bertentangan dengan orangtuanya. Hal ini, ujarnya, diperparah dengan ketidaktahuan orangtuanya mengenai gangguan bipolar ini.
”Waktu itu saya menginap di tempat teman karena kabur dari rumah. Saat dia melihat kondisi saya yang tidak stabil, dia berkonsultasi ke orangtuanya dan akhirnya dibawa ke dokter. Saat saya diketahui mengalami gangguan bipolar, saya langsung cerita ke orangtua saya,” ujarnya.
Deteksi dini
Ketua PSDKJI cabang Jakarta Nova Riyanti Yusuf menambahkan, dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan untuk mendukung pengobatan dan moral penderita bipolar. Salah satu bentuknya adalah dengan memberikan deteksi dini dari lingkungan.
Peran sekolah, kata Nova, menjadi sangat penting karena merupakan tempat beraktivitas anak sehingga pendampingan guru menjadi sangat dibutuhkan. Ia berujar, masyarakat seharusnya tidak menganggap negatif gangguan kejiwaan. Oleh karena itu, PSDKJI meluncurkan boneka Hagi sebagai maskot untuk kampanye kesehatan jiwa dalam masyarakat.
”Sudah saatnya rantai stigma bahwa berobat ke psikiater adalah hal yang negatif, tetapi menjadi alternatif solusi bagi warga DKI Jakarta yang mengalami problem kejiwaan,” ujarnya.