Hutan Kemitraan di Gunung Leuser
Zulkarnen (32), warga Desa Alur Baning, Kecamatan Babur Rahmah, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, 12 tahun lalu nekat membuka lahan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Waktu itu, lahan yang dibukanya seluas 1 hektar, ditanami jagung, kakao, dan palawija.
Kata Zulkarnen, dirinya merambah taman nasional dengan menebang pohon-pohon karena tak punya lahan berkebun. Lahan milik orangtuanya yang cuma 1 hektar tak cukup jika harus dibagi untuknya, serta kakak dan adiknya yang sembilan orang.
”Saya tak punya keahlian selain berkebun. Kalau tidak masuk ke kawasan, saya tak punya lahan untuk mencari nafkah buat keluarga,” ujarnya.
Minggu (11/3) lalu, Zulkarnen mengangkut bibit pete, jengkol, dan kemiri, dengan sepeda motor tuanya. Seiring partisipasinya dalam program rehabilitasi TNGL, bibit-bibit berusia tiga bulan itu dimasukkan ke dalam keranjang sebelum ditanamnya di lahan garapan seluas 1 hektar. ”Lokasinya lumayan jauh, Bang, tiga kilometer dari sini,” kata ayah tiga anak itu.
Mariot (60), petani lain asal Lawe Sigala, Aceh Tenggara, bahkan lebih lama menggarap lahan di TNGL, yakni sejak 1980-an. Awalnya dia menanam kemiri, tetapi sekitar tahun 2000-an, saat banyak yang menanam sawit, dia tergoda menanam sawit.
Setelah ada kesepakatan merehabilitasi hutan TNGL, Mariot menanam kemiri. ”Saya menyesal menebang kemiri dan menggantinya dengan sawit. Padahal, kemiri juga menjanjikan,” kata Mariot.
Mariot sudah menanam kemiri di lahan 2 hektar yang dikelolanya di dalam TNGL itu. Sebagian pohon kemiri bahkan sudah berumur 1 tahun.
Ia berharap manajemen TNGL tidak mengusir petani jika tanaman hutan sudah berbuah. Sebab, kata Mariot, lahan itu satu-satunya tempat penghidupannya. ”Saya sudah tua, mungkin ke depan hanya kemiri ini tempat saya bergantung hidup,” kata Mariot.
Cagar biosfer
TNGL yang seluas 1.094.692 hektar berada di wilayah dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Taman nasional ini menyandang dua status berskala global, yaitu sebagai cagar biosfer pada 1981 dan sebagai warisan dunia pada 2004, keduanya oleh UNESCO.
Pemulihan hutan TNGL di Aceh Tenggara dimulai dari Desa Alur Baning. Pada tahap awal, target area yang direhabilitasi tahun ini 1.800 hektar. Dalam lima tahun ditargetkan, area 30.000 hektar yang rusak itu bisa dipulihkan menjadi hutan.
Rehabilitasi melibatkan petani, Balai Besar TNGL, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemkab Aceh Tenggara, serta Forum Konservasi Leuser. Pada lahan yang dipulihkan itu petani diberi hak mengelola hutan tanpa merusak fungsinya. Ini dianggap solusi paling bijak dalam upaya menjaga hutan dan meningkatkan kesejahteraan warga sekitar.
Perambahan hutan kerap terjadi pada kurun 2006 hingga 2012. Warga sekitar hutan membuka lahan secara sporadis di dalam taman nasional. Selain menanam palawija, tak sedikit yang menanam kelapa sawit.
Perambah hutan bukan hanya warga Alur Baning, melainkan juga warga dari kecamatan tetangga, bahkan beberapa orang dari Sumatera Utara. Luas yang dirambah bervariasi, ada yang 1 hektar, dan sebagian lain lebih dari 10 hektar per orang.
Ketua Persatuan Petani Kaki Leuser Muslim menuturkan, saat itu pengawasan TNGL sangat longgar sehingga warga sangat mudah membuka lahan di dalam kawasan. ”Seperti ada pembiaran,” kata Muslim.
Jauh sebelum warga masuk ke TNGL, kata Muslim, ada dua kilang kayu (tempat mengolah kayu) yang beroperasi di dalam TNGL. Setelah kilang kayu itu tutup, baru warga masuk membuka lahan untuk berkebun. ”Mengapa kilang kayu bisa beroperasi dalam taman nasional, sementara warga tidak boleh?” ujar Muslim.
Pada 2014, manajemen TNGL bersama polisi menertibkan lahan di dalam kawasan. Tanaman warga ditebang, dan warga diminta tak lagi menggarap lahan.
Upaya penertiban memicu perlawanan dari petani. Mereka menuntut pemerintah agar memberikan izin mengelola lahan. Petani juga menggelar beberapa kali demonstrasi di kantor pemkab dan perwakilan TNGL di Kutacane. Buntutnya, lima petani ditahan polisi karena merusak fasilitas kantor perwakilan TNGL. Namun, kelima petani itu dibebaskan setelah mendapat jaminan dari Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf, saat itu.
Melalui proses panjang, solusi terbaik ditemukan, yakni merehabilitasi hutan yang rusak dengan pola kolaboratif melibatkan petani, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Kata Muslim, ini solusi terbaik untuk petani.
Supervisor Forum Konservasi Leuser untuk rehabilitasi Alur Baning Hasyimi mengatakan, penanaman pohon kehutanan dilakukan bertahap. Saat ini yang sudah ditanam 55 hektar, dengan jumlah tanaman 5.500 batang. ”Targetnya selama lima tahun luas lahan 30.000 hektar yang rusak berhasil kami pulihkan,” ujar Hasyimi.
Petani diajak membentuk kelompok agar pendataan lebih mudah. Saat ini terdapat 7 kelompok tani dengan 113 anggota.
Kepala Balai TNGL Misran menambahkan, pengelolaan lahan tidak mengubah status kawasan, dan warga hanya berhak mengelola.