Kekacauan pecah di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cirebon, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (21/3) sekitar pukul 10.00. Batu-batu beterbangan. Narapidana mengamuk.
Kepala Kepolisian Resor Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Adi Vivid Bachtiar mengetahui kabar tersebut dari sambungan telepon. Ia segera berlari meninggalkan Gedung DPRD Kota Cirebon yang saat itu menjadi tempat rapat paripurna Pemerintah Kota Cirebon. Tak sempat pamit, ia menuju lapas, sekitar 3,5 kilometer dari gedung DPRD setempat.
Adi lalu masuk ke lapas untuk menemui para narapidana. ”Bapak-bapak, mohon tenang. Saya Kapolres di sini,” ucap Adi mengajak para narapidana berhenti melempar batu.
Namun, alih-alih tenang, anak mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar ini malah terkena lemparan batu di bagian bawah perut. ”Saya lupa, ini lapas. Yang dihadapi narapidana. Mereka dimasukkan (penjara) oleh polisi. Jadi, memang mereka masih menyimpan sinis kepada seragam coklat (polisi),” ujar Adi.
Ia memahami hal tersebut sehingga meminta anggotanya untuk mundur. Adi bahkan bersyukur karena batu tidak mengenai kepalanya yang dapat menyebabkan luka parah. ”Yang terpenting adalah membuat suasana kondusif,” ucapnya.
Polisi tetap menyelidiki kasus ini sebab ada perusakan fasilitas negara.
Kerusuhan di Lapas Kelas I Cirebon berlangsung lebih dari sejam. Tidak ada korban luka, baik di pihak narapidana maupun petugas dan polisi. Namun, diperkirakan tiga atau empat kamera pemantau (CCTV) dari total 18 titik rusak akibat terkena batu.
”Polisi tetap menyelidiki kasus ini sebab ada perusakan fasilitas negara. Kami tengah mengumpulkan data,” ujar Adi.
Sebelumnya, kerusuhan bermula saat petugas lapas melakukan razia alat komunikasi dan narkoba di kamar narapidana. Namun, belum sempat menggeledah kamar narapidana, kericuhan pecah. Narapidana berkumpul dan melempar dengan batu. Diduga, keributan awalnya berasal dari Blok A bagian belakang yang merupakan tempat narapidana umum.
Kericuhan mereda setelah Kepala Lapas Kelas I Cirebon Heni Yuwono berdialog dengan perwakilan narapidana. Hingga Rabu sore, kondisi lapas telah kondusif. Namun, sejumlah polisi masih berjaga.
Dari pertemuan itu, lanjut Heni, terungkap bahwa penyebab kericuhan ialah penolakan narapidana terkait razia alat komunikasi. Selain itu, razia secara acak juga dinilai sejumlah narapidana sebagai bentuk ”tebang pilih” petugas lapas terhadap narapidana.
Namun, Heni menampik soal ”tebang pilih” itu. Menurut dia, razia itu merupakan agenda rutin. Minimal empat kali sebulan atau ada hal yang mendesak, seperti laporan terkait barang-barang terlarang di kamar narapidana.
”Memang, selama ini razia dilakukan secara acak. Tetapi, bukan berarti ada narapidana yang diistimewakan,” ujar Heni. Meski demikian, pihaknya berjanji membenahi sistem razia, seperti penjadwalan ulang.
Menurut dia, alat komunikasi, yakni pesawat telepon, selama ini sudah tersedia satu unit di sembilan blok. Jadi, narapidana dapat berkomunikasi dengan keluarga. Pihaknya juga merekam pembicaraan melalui pesawat telepon tersebut untuk mengantisipasi masuknya narkoba ke lapas. Pihaknya juga berencana menambah satu pesawat telepon lagi di setiap blok.
Dengan demikian, kericuhan yang diklaim pertama kali terjadi di Lapas Kelas I Cirebon itu diharapkan tidak terjadi lagi. Namun, lapas tersebut masih diselimuti masalah. Salah satunya, jumlah narapidana yang melebihi kapasitas. Idealnya, lapas itu dihuni 555 narapidana. Kenyataannya, saat ini ada 878 narapidana. Permasalahan serupa nyaris terjadi di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia.
Pengamat lembaga pemasyarakatan dari Universitas Indonesia, Thomas Sunaryo, dalam wawancara dengan Kompas pada 2007 mengingatkan bahwa kondisi itu akan terus berulang karena petugas tidak bisa berpikir kreatif untuk kegiatan tahanan. Kondisi ini menunjukkan mereka tidak dibina dan dimanusiakan sebagaimana mestinya ketika ada di penjara.
Jadi, bukan tidak mungkin kericuhan di lapas kembali terjadi. Siapa saja bisa menjadi korban, tidak terkecuali kepala polres.