JAKARTA, KOMPAS Komitmen pemerintah dalam menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional dipertanyakan. Likuiditas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang rendah saat ini tidak lepas dari opsi kebijakan yang diambil pemerintah sendiri.
Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Prof Hasbullah Thabrany, mengatakan, jika memang pemerintah berkomitmen menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai progam prioritas nasional, maka iuran peserta tentu dinaikkan agar sesuai perhitungan aktuaria. Namun, ini tidak dilakukan karena alasan menghindari kegaduhan.
Jika iuran tidak dinaikkan, maka opsi yang harusnya diambil adalah memenuhi berapapun kebutuhan BPJS Kesehatan sehingga lancar dalam membayar klaim tagihan dari rumah sakit.
"Saya perkirakan likuiditas BPJS Kesehatan sekitar 15 persen dari total kewajiban," ujar Hasbullah, Selasa (20/3), di Jakarta.
Dalam beberapa tahun terakhir tren pertumbuhan ekonomi terus meningkat. Subsidi untuk listrik juga bahan bakar minyak pun tetap tinggi, tahun ini di atas Rp 98 triliun. Dengan capaian ekonomi seperti itu pemerintah tetap tak mau menaikkan iuran.
"Padahal, dalam beberapa tahun terjadi inflasi, biaya kesehatan pun meningkat. Kalau menaikkan iuran dinilai memberatkan masyarakat, lalu pertumbuhan ekonomi yang ada larinya ke mana," kata Hasbullah.
Ketua Yayasan Kanker Indonesia Prof Aru Wisaksono Sudoyo, mengatakan, JKN mempermudah masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Hambatan finansial yang dahulu sangat menghantui kini hampir tidak ada lagi. Dengan tingkat penggunaan yang tinggi dan dominannya penyakit kronis berbiaya mahal, lama-lama kemampuan BPJS Kesehatan membayar pun kian terganggu.
Pembayaran dipercepat
Untuk membantu mengatasi masalah likuiditas BPJS Kesehatan, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah mempercepat pembayaran premi untuk penduduk miskin penerima bantuan iuran program jaminan kesehatan.
”Biasanya, pemerintah membayarkan premi untuk penerima bantuan iuran setiap akhir bulan. Namun tahun ini, pemerintah mempercepat pembayarannya,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dalam wawancara khusus dengan Kompas di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2018, jumlah penerima bantuan iuran jaminan kesehatan dari pemerintah sebanyak Rp 92,4 juta jiwa. Total iuran untuk jaminan kesehatan Rp 2,1 triliun per bulan.
Pada 5 Januari, kata Mardiasmo, Kementerian Keuangan telah membayarkan iuran ke BPJS Kesehatan untuk Januari. Selanjutnya, pemerintah membayar untuk tiga bulan sekaligus selama Februari saja, masing-masing per 5 Februari untuk Februari, 19 Februari untuk Maret, dan 26 Februari untuk April. Adapun pada 7 Maret, Kementerian Keuangan juga telah membayarkan iuran untuk Mei.
”Kalau nanti, pemerintah melihat masih ada persoalan keuangan di BPJS Kesehatan, bisa saja pemerintah mempercepat pembayaran iuran untuk bulan-bulan berikutnya,” katanya.
Menyuntikkan dana
Persoalan keuangan BPJS Kesehatan bermuara pada defisit keuangan, yakni pengeluaran jauh lebih besar ketimbang pendapatan. Ini terjadi setiap tahun sehingga pemerintah harus menutupnya.
Pada 2015, pemerintah menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 5 triliun ke BPJS Kesehatan. Pada 2016, pemerintah lagi-lagi menyuntikkan PMN, mencapai Rp 6,8 triliun. Tahun lalu, pemerintah memberikan bantuan senilai Rp 3,6 triliun.
Tahun ini, BPJS Kesehatan melaporkan defisit akan mencapai Rp 800 miliar hingga Rp 1 triliun per bulan. Dengan demikian, defisit sepanjang tahun akan mencapai Rp 9,6 triliun hingga Rp 12 triliun.
Persoalan keuangan ini berujung pada lambatnya pencairan klaim dari rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Efeknya antara lain adalah gangguan terhadap arus kas perusahaan farmasi dan perusahaan pemasok lainnya. Ujung-ujungnya, pelayanan kesehatan terhadap peserta jaminan sosial berisiko terganggu.
Bauran kebijakan
Selain mempercepat pembayaran premi untuk penduduk miskin penerima bantuan iuran program jaminan kesehatan, Mardiasmo menambahkan, pemerintah telah merumuskan bauran sembilan kebijakan. Sebanyak empat di antaranya memerlukan revisi Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Lainnya adalah pelaksanaan dari aturan yang sudah ada.
Jika semua bauran kebijakan dilakukan, Mardiasmo yakin, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan bisa diatasi. Namun ini menuntut disiplin dan sinergi antarpemangku kepentingan.
Untuk memperkuat likuiditas BPJS Kesehatan pemerintah mengeluarkan bauran kebijakan yang perlu diatur dalam regulasi baik berupa peraturan presiden atau peraturan menteri.
Menurut Asisten Sekretaris Utama Bidang Komunikasi Publik dan Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat, apabila regulasi strategi bauran sudah terbit dan terimplementasi, BPJS Kesehatan akan lebih leluasa bergerak, misalnya terkait dengan peran sebagai strategic purchasing.
Namun menurut Hasbullah, bauran kebijakan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah BPJS Kesehatan yang kekurangan dana. Upaya ini hanya memperingan masalah saat ini tapi sebenarnya masalah terus berjalan dan akan menumpuk di kemudian hari. Sebab, persoalan utama BPJS Kesehatan yang kekurangan dana belum terselesaikan.