Merestorasi Rumah Bersejarah di Rembang dan Lasem
Revitalisasi budaya batik pesisir di Lasem yang memicu perkembangan pariwisata di kawasan pantura Jawa Tengah di koridor Semarang-Lasem turut membangkitkan kesadaran melestarikan rumah tua dan bersejarah di sana. Sepanjang kunjungan 5-8 Maret 2018, pendiri Museum Benteng Heritage Tangerang, Udaya Halim, bersama pakar pelestarian cagar budaya dan anggota Singapore Heritage Society (SHS), Profesor Yeo Kang Shua, mendata dan memulai perbaikan sejumlah bangunan bersejarah di Rembang dan Lasem.
Salah satu bangunan pertama yang dibenahi adalah Rumah Kapitan Liem di Kota Rembang di sudut Jalan Airlangga dan Jalan KS Tubun. Rumah berusia dua abad lebih itu digunakan sebagai Wihara Karuna Cattra, tempat ibadah umat Buddha, dan masih dihuni keturunan keluarga besar Kapitan Liem.
Ketika didatangi tim pelestarian, di bagian depan rumah terdapat dua taman dengan replika lanskap perbukitan China yang separuhnya tertutup belukar, keramik-keramik penghias atap, dan gapura yang sudah rusak, sebagian ubin kuno yang pecah, kayu penyangga yang mulai rusak, dan di bagian atap bangunan utama di belakang dihuni ribuan kelelawar.
Tumpukan kotoran kelelawar hingga mencapai ketebalan 1 sentimeter memenuhi lantai tangga dan lantai loteng gedung belakang rumah Kapitan Liem. Bau menyengat dari kotoran kelelawar membuat orang tidak bisa bertahan berlama-lama di loteng bangunan utama rumah tersebut.
Bangunan dengan luas mencapai lebih dari 2.000 meter persegi itu berada di lokasi bangunan-bangunan tua di Kota Rembang. Hanya 200 meter dari sana terdapat Hotel Antika yang sebagian lokasinya memanfaatkan bangunan tua berlanggam China dengan pintu, atap memanjang, serta lantai batu besar serta ditopang kerangka kayu jati berukuran besar.
Di sudut lain Jalan Airlangga, sejajar dengan rumah Kapitan Liem, terdapat rumah Letnan Lie. Rumah Letnan Lie juga masih dihuni keturunan keluarga besar marga Lie. Tiang penyangga gapura rumah sudah lapuk di beberapa tempat, gedung utama sudah tidak dihuni dan tidak terawat meski struktur bangunan bata dan kayu terlihat masih kokoh.
Di bagian sayap bangunan tersisa bangunan tua di sebelah kanan bangunan yang menghadap ke arah utara—pantai utara Jawa—dan di sayap kiri sebagian bangunan asli yang terbuat dari kayu jati masih tersisa. Bangunan ini digunakan sebagai hunian, dapur dan di dekatnya terdapat sumur timba, serta jamban atap terbuka.
Selebihnya terdapat lebih dari belasan bangunan tua berukuran besar yang bergaya China di sepanjang Jalan Airlangga. Blok-blok bangunan sekelilingnya juga masih menyisakan bangunan-bangunan tua bergaya arsitektur China, Indische, dan langgam arsitektur Jawa. Meski demikian, terdapat juga tanah kosong dan bekas reruntuhan bangunan tua yang tidak terawat serta kerangka bangunan yang kayu-kayu penopangnya dicabut.
Beberapa restoran yang menghidangkan menu peranakan Tionghoa gaya lama serta kedai kopi juga terdapat di kawasan tersebut. Di sisi lain jalan, terdapat Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels yang diapit bangunan tua dan rumah toko modern berselang-seling ke jurusan Pantai Dampo Awang (sebutan masyarakat Jawa untuk Zheng He/Cheng Ho), Alun-alun, Terminal Bus, Pendopo Bupati, dan Museum RA Kartini di Rembang. Penjaja Sate Serepeh dan Lontong Tahu khas Rembang serta berbagai penganan tradisional hadir dalam kios kaki lima hingga warung permanen di seputar kawasan tersebut.
Sekitar 15 kilometer dari sana terdapat bangunan-bangunan tua bersejarah di Kota Lasem yang kini sedang mengalami kebangkitan industri Batik Pesisir serta kesadaran untuk melestarikan bangunan tua dan warisan sejarah. Lasem adalah kota bersejarah yang pada abad ke-14 dihuni Bhre Lasem, bangsawan Majapahit dan juga dihuni pemukim Tionghoa sebelum kedatangan kaum kolonial Eropa.
Subagio Tjoo, pelestari bangunan tua di Lasem dan Rembang, mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir, banyak kunjungan wisatawan ke Lasem untuk mendatangi sentra batik dan bahkan menginap di bangunan-bangunan tua di sana.
Komunitas Tionghoa dan Pesantren di Lasem sejak beberapa tahun terakhir juga rutin mengadakan berbagai kegiatan bersama. Peneliti muda NU, Munawir Azzis, dalam berbagai kesempatan mempromosikan keakraban hubungan sosial Tionghoa-santri-masyarakat Jawa Abangan di Kota Lasem yang terjalin di warung-warung kopi di Lasem. Menurut Azis, Lasem yang dijuluki ”China Kecil” adalah potret hubungan sosial yang sehat dalam sebuah masyarakat yang beragam seperti Indonesia.
Adapun penulis Daradjadi Gondodiprodjo dari Pura Mangkunegaran, Surakarta, menceritakan kohesi sosial yang erat di Lasem antara warga Jawa dan Tionghoa, terutama semasa Perang Geger Pacinan melawan VOC tahun 1740-1743. Dalam konflik itu, pasukan gabungan Jawa dan Tionghoa salah satunya dipimpin panglima Tionghoa dari Lasem, yakni Tan Sing Seh.
Museum hidup
Mengunjungi Rembang dan Lasem seperti menelusuri lorong waktu. Suasana tenang jauh dari hiruk-pikuk kota besar Jakarta, Semarang, dan Surabaya, serta keberadaan bangunan-bangunan tua berusia lebih dari satu abad seperti membawa pengunjung ke masa lalu.
Wilayah tersebut pada tahun 1500-an merupakan daerah rawa dan pesisir pantai. Pada abad sebelumnya, Semarang-Demak-Kudus-Juwana-Rembang masih berupa pantai selat sempit yang kini menjadi daratan rendah. Semenanjung Muria tempat Gunung Muria waktu itu adalah sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Jawa.
Itu sebabnya banyak ditemukan peninggalan prasejarah dan artefak dari laut di kawasan perbukitan Pati Ayam di dekat Kudus-Pati. Pada periode lebih tua, ditemukan bangkai kapal abad ke-8 yang kini dilindungi Balai Purbakala Provinsi Jawa Tengah di pesisir Jalan Daendels antara Rembang danLasem.
Semasa Kesultanan Demam Bintoro membangun kekuatan maritim setelah Majapahit dan menyerang Malaka (1512), keberadaan galangan kapal di Lasem dan Rembang-Juwana menjadi pusat persiapan perang. Para pembuat kapal China, seperti ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam novel sejarah Arus Balik, memainkan peran penting dalam serangan tersebut.
Daradjadi Gondodiprodjo dalam buku Geger Pacinan: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC 1740-1743 juga mencatat peran penting galangan kapal masyarakat Tionghoa di sana. Mereka pun beranak pinak dan berbaur dengan masyarakat Jawa dan tumbuh sebagai bagian komunitas pesisir utara Jawa bersama kelompok lain, seperti komunitas Melayu dan Arab.
Keberadaan rumah tua dan pelestariannya menjadi satu bagian dari upaya membangun ”Museum Hidup” dengan keberadaan masyarakat perajin batik, pelestari kuliner, dan berbagai penanda kota, seperti Museum RA Kartini dan berbagai bangunan bersejarah di Rembang-Lasem.
Profesor Yeo Kang Shua memuji upaya pelestarian yang sudah dilakukan Subagio Tjoo dan teman-teman di Lasem. Dia pun berbagi ilmu, seperti memperbaiki tembok bangunan tua yang tidak bisa sembarangan.
”Jenis semen yang digunakan harus mengacu pada bangunan asli, yakni menggunakan campuran kapur atau karang dengan air yang dimasak dan memakan waktu hingga tiga bulan. Semen model bangunan zaman dulu itu berunsur kimia kalsium oksida yang diperoleh dari batu karang atau kapur yang dimasak khusus sehingga matang menjadi adonan semen,” kata Profesor Yeo yang sudah berulang kali merestorasi bangunan berusia seabad lebih di Singapura.
Berbagai material khusus, seperti jenis cat keemasan (Kim Po), dan berbagai bahan kimia tambahan dipilih secara khusus agar tidak merusak bangunan asli. Khusus dalam menyiapkan perbaikan tembok, cairan encer campuran kapur atau karang dengan air yang dimasak digunakan untuk membasahi permukaan tembok sebelum dilakukan penambalan.
Dalam kunjungan awal Maret 2018, Subagio Tjoo, Udaya Halim, Profesor Yeo, beserta para pekerja sudah mulai membersihkan taman dan miniatur lanskap China di halaman depan rumah Kapitan Liem. Berbagai papan kayu berkaligrafi dan aksesori rumah tua tersebut turut diamankan untuk direstorasi.
Identitas peranakan Tionghoa dan wisata budaya peranakan Tionghoa lebih dikenal dan dipromosikan di Malaysia-Singapura, padahal di Indonesia jauh lebih kaya, beragam, dan lebih tua.
Untuk menjaga ubin kuno dari batu merah agar tidak pecah, Profesor Yeo Kang Shua mengingatkan agar tidak menggunakan semen modern untuk perekat dan penambal. ”Anda lihat ubin-ubin kuno ini rekat dan pecah karena ada penggunaan semen modern untuk menambal dan perbaikan,” katanya.
Udaya berharap restorasi dapat selesai karena pada November 2018 kawasan tersebut akan menjadi salah satu tempat penyelenggaraan Konferensi Peranakan Tionghoa Internasional yang akan dihadiri delegasi enam negara. Konferensi itu akan digelar di Yogyakarta, Semarang, dan Rembang-Lasem.
Menurut Udaya, kekayaan budaya peranakan Tionghoa dan Jawa yang mengalami berbagai bentuk akulturasi adalah keindahan budaya khas Indonesia. Terlebih keberadaan masyarakat peranakan Tionghoa di Nusantara jauh lebih tua muncul dibandingkan di negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
”Identitas peranakan Tionghoa dan wisata budaya peranakan Tionghoa lebih dikenal dan dipromosikan di Malaysia-Singapura, padahal di Indonesia jauh lebih kaya, beragam, dan lebih tua. Identitas peranakan, yakni kebaya dan kain batik, pun hingga kini masih mengacu pada kebaya dan batik pesisir dari Pulau Jawa,” kata Udaya Halim.
Profesor Yeo Kang Shua berharap para pegiat pelestarian bangunan tua di Rembang dan Lasem dapat segera bekerja sama dengan pemerintah setempat, provinsi, dan nasional untuk mendata dan menyelamatkan bangunan tua yang masih ada di kawasan tersebut. Dia mengakui, keunikan akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa seperti yang ditemuinya di kawasan Rembang-Lasem memang tiada duanya bak mutiara terpendam.