Janji Indonesia pada dunia untuk berkontribusi dalam penurunan emisi membutuhkan keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah. Tanpa hal ini, penurunan emisi sebesar 29-41 persen mustahil tercapai.
JAKARTA, KOMPAS -- Kontribusi nasional yang ditetapkan Indonesia hingga kini belum terkomunikasikan ke daerah. Ini membuat daerah kebingungan dalam menjalankannya implementasinya di lapangan.
Dalam dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC), Indonesia merinci penurunan emisi 29 persen (dengan upaya sendiri) hingga 41 persen (dengan upaya asing) pada 2030 dalam sektor kehutanan, energi, pertanian, limbah/sampah, dan industri. Sumber pengurangan terbesar pada kehutanan sebesar 17,2 persen dan energi 11 persen.
"Dari 17 persen itu kami kontribusi berapa, itu belum jelas," kata Jemmy Pigome mewakili Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Papua Barat, Selasa (20/3), di Jakarta.
Ia menjadi peserta pertemuan pengampu kepentingan nasional “Partisipasi dan Pelibatan Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan NDC di Sektor Kehutanan" yang digelar Yayasan Madani Berkelanjutan". Pertemuan ini menjadi dialog terbuka yang mewakili lintas kementerian, pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan donor.
Selain Papua Barat, Bappeda Jambi pun belum mengetahui secara jelas terkait NDC. "Kami sudah punya rencana aksi daerah (penurunan emisi) gas rumah kaca, tapi target penurunan NDC, kami belum familiar bagaimana pelaksanaan di daerah, " kata M Alfiansyah, dari Bappeda Jambi.
Emma Rachmawaty, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, NDC menggunakan pendekatan sektor bukan wilayah administrasi. Tujuannya, agar bisa dijumlah untuk dokumen pelaporan.
"Biarkan sektor itu bertanggung jawab sehingga angkanya akan masuk melalui sektor tersebut, kami tidak akan meminta ke Jambi langsung," kata dia.
Dicontohkan, pada sektor energi dipecah menjadi subsektor energi terbarukan, ketenagalistrikan, tambang, dan minyak/gas. Sedangkan pada sektor kehutanan, isu upaya penurunan emisi ada di seputar deforestasi, degradasi, lahan gambut, dan rehabilitasi.
"Di kehutanan agak seru karena kita punya target rehabilitasi hutan dan lahan seluas 12 juta hektar di 2030 atau luas lahan yang terehabilitasi per tahun 800.000 ha dengan survival rate 90 persen," kata dia.
Namun kenyataannya, APBN hanya mencukupi untuk 200.00-3000.000 ha. Di sinilah contoh peluang partisipasi daerah maupun masyarakat sipil untuk terlibat di tingkat tapak dalam merehabilitasi lahan.
Segera diterjemahkan
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, berharap turunan dari NDC segera diterjemahkan oleh pemerintah. "Kalau (penurunan emisi) 17 persen itu dari land use, gimana turunannya? Berapa yang diharapkan kontribusi dari masing-masing provinsi memiliki hutan dan tingkat deforestasi tinggi? Ternyata kan belum ada. Ini kan miris," kata dia.
Teguh mengatakan, pemetaan subyek dan obyek pelaku di lapangan seperti ini penting dalam menerapkan skala prioritas. Misalnya, Jambi yang menyatakan 90 persen emisinya dari sektor kehutanan bisa berkontribusi signifikan dalam mengerem pelepasan emisi dari sektor hutan.
Teguh pun mengatakan keterlibatan nonstate party atau lembaga non pemerintah yang kian ditekankan dunia bisa dimasifkan apabila pemerintah terbuka data dan informasi. Selain itu, ia berharap pemerintah memiliki peraturan pelaksanaan NDC.
Hal ini, kata dia dibutuhkan untuk "mengunci" agar NDC tetap dilaksanakan meski rezim pemerintahan/pejabat berganti.
Namun ia pun mengingatkan agar ownership atau rasa memiliki atas NDC dari masyarakat, pemerintah daerah, maupun masyarakat sipil terus ditingkatkan. "Kami khawatir ketika peraturan keluar, orang menarik diri karena merasa gak ada ownership, kan sayang," kata dia.