JAKARTA, KOMPAS- Mekanisme penyelesaian sengketa elektoral selama ini belum selaras sehingga upaya penyelesaian sengketa pilkada dan pemilu kerap menimbulkan persoalan. Problem hukum dalam pilkada dan pemilu terus berkembang dan acap kali tidak dibarengi dengan mekanisme penyelesaian yang jelas.
Salah satu contoh ketidakselarasan dalam mekanisme penyelesaian sengketa elektoral antara lain terkait lembaga mana yang berwenang mengadili.
”Kalau dalam pikada, sengketa pilkada diselesaikan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), sedangkan kalau pemilu diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kenapa bisa ada dua lembaga pengadil yang berbeda untuk dua mekanisme elektoral yang sebenarnya serupa,” kata ahli hukum tata negara, Refly Harun, Selasa (20/3).
Refly Harun berbicara dalam seminar ”Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana dan Pelanggaran Administrasi Pemilihan untuk Mengawal Demokrasi yang Sehat,” yang diselenggarakan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), di Jakarta. Selain Refly Harun, hadir sebagai pembicara anggota Komisi Pemilihan Umum Pramono Tanthowi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung (MA) Supandi, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Apabila lembaga yang berwenang menangani sengketa berbeda, pilkada dan pemilu sama-sama menggunakan infrastruktur elektoral yang sama. Penyelenggaranya adalah KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Refly Harun juga mempersoalkan posisi Bawaslu yang memiliki kewenangan sebagai pengawas dan pengadil. Posisi itu dinilai ambigu. Sebagai pengawas, lembaga ini rentan menghadapi konflik kepentingan bilamana juga bertindak sebagai pengadil dalam sengketa administrasi.
Problem berkembang
Sementara itu, Pramono Tanthowi mengatakan, problem hukum elektoral yang terus berkembang menuntut kecepatan penanganan hukum dan keberadaan regulasi. Ia mencontohkan pengaturan mengenai politik uang. Pada UU No 1/2015 yang kemudian diubah dengan UU No 8/2015 tentang Pilkada, pelanggaran administrasi terkait politik uang yang dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif belum diatur. Namun, dalam UU Pilkada yang baru, hal itu sudah diatur.
”Peserta pilkada yang terbukti melakukan politik uang bisa didiskualifikasi yang merupakan hukuman administratif, tetapi juga dipidana,” katanya.
Selain itu, pada UU Pilkada sebelumnya juga belum diatur soal jenis-jenis sengketa pilkada. Sekarang sudah ada pembedaan sengketa antarpeserta pilkada serta sengketa antara peserta dan KPU.
Terkait dengan sejumlah regulasi dan perkembangan tindak pidana dan sengketa elektoral, Hakim Agung Supandi memberikan catatan. Menurut dia, penyelenggara pemilihan kerap tidak memahami regulasi tersebut.
”Untuk sengketa ke PTUN dan PT TUN, misalnya, KPU bukanlah penggugat karena keputusan merekalah yang digugat oleh peserta. Oleh karena itu, aneh kalau ada upaya KPU menggugat ke PTUN karena posisi mereka adalah tergugat,” katanya.
Politik uang
Politik uang pun diperkirakan masih akan marak terjadi dalam pilkada dan pemilu. Menurut Burhanuddin, banyak faktor yang memicu hal itu. Sistem pemilu proporsional terbuka yang kini diberlakukan mendukung munculnya orang- orang dengan kekuatan modal dan popularitas untuk memenangi pemilihan melalui politik uang. Reformasi di tubuh parpol menjadi salah satu kunci untuk menghentikan praktik ini.
Sementara itu, Saut mengatakan, KPK menyadari ada problem tingginya biaya politik yang memicu korupsi politik. KPK mengusulkan agar pemerintah menanggung separuh kebutuhan biaya politik parpol guna mengurangi risiko korupsi politik. Namun, hal itu terkendala pada keterbatasan anggaran.