Pada empat atau lima dekade lalu, becak pernah jaya. Arsip tahun 1968 menunjukkan becak itu dipajaki dan petugas sampai memburu pengemudi becak dan merampas paksa becaknya agar pemilik membayar pajak. Jadi, becak bukan hanya dikejar-kejar karena melanggar aturan lalu lintas, lebih dari itu pemerintah ketika itu rupanya serius memajaki becak. Tak jelas berapa besaran pajaknya. Yang pasti, pada tahun 1970-an di DKI saja terdapat 160.000 becak.
Becak beroperasi di mana-mana. Warga yang waktu itu tinggal di Jakarta mungkin masih ingat bahkan merasakan zaman keemasan kereta angin itu. Becak bebas melintas bahkan di jalan protokol Sudirman-Thamrin, Senen, Menteng, juga Kebayoran Baru.
Seiring dengan perkembangan kota, Pemerintah DKI mulai kewalahan menata becak sehingga mulailah diberlakukan pembatasan-pembatasan. Pembuat becak dan bengkel di Ibu Kota dilarang memproduksi becak baru. Sistem rayonisasi, yaitu membagi operasi becak dalam lima wilayah, diterapkan. Becak di setiap wilayah diberi warna cat tertentu sehingga petugas mudah mengenalinya.
Di sisi lain, mulai muncul suara yang menginginkan penghapusan becak. Pro kontra terjadi, tetapi pejabat pemda jalan terus dengan rencananya. Sebuah alternatif mulai diperkenalkan, yakni angkutan helicak dan bajaj, pada era pertengahan tahun 1970-an. Pengemudinya dipersiapkan dengan cukup baik, mendapat pelatihan hingga sebulan, sebelum mereka beroperasi.
Pembatasan paling telak terjadi dengan ketentuan daerah bebas becak (DBB). Jalan-jalan protokol pantang dilewati angkutan beroda tiga ini. Juga jalan-jalan besar.
Setelah DKI, Surabaya ikut membuat peraturan itu. Ratusan ribu orang yang mengandalkan hidup dari mengayuh pedal kehilangan mata pencaharian. Di kota tak ada pekerjaan, di kampung tak tahu mau kerja apa. Ribuan penarik becak minta dipulangkan ke kampung halaman ketika kena operasi. Banyak pula yang akhirnya menerima tawaran dipindahkan ke lain pulau, memulai hidup baru bersama keluarga dengan ikut program transmigrasi. (RET)