Stop Pendekatan Proyek untuk Pemberdayaan Masyarakat
Oleh
Tri Agung Kristanto
·2 menit baca
SINGAPURA, KOMPAS -- Aktivis pemberdayaan masyarakat Tri Mumpuni Iskandar meminta agar pendekatan proyek tidak lagi digunakan dalam pemberdayaan masyarakat. Jika pendekatan proyek yang dipakai, dipastikan ada upaya mengambil keuntungan dari upaya pemberdayaan masyarakat itu.
Berbicara kepada wartawan di Singapura, Rabu (21/3), seusai menerima ASEAN Social Impact Award 2018, Tri mengakui, masih banyak pelaku pemberdayaan masyarakat, termasuk aparatur pemerintah, yang mengedepankan pendekatan proyek. Mereka membatasi jangka waktu program pemberdayaan dan berusaha mengambil keuntungan dari program itu.
Padahal, menurut Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) itu, program pemberdayaan masyarakat, termasuk yang dilakukannya dengan membangun listrik mikrohidro di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah untuk menumbuhkan potensi dalam masyarakat itu.
Bekerja dalam senyap
Tri menambahkan, pemberdayaan masyarakat adalah kerja yang senyap. Tak memerlukan dan mencari publikasi, seperti pepatah Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe (sepi dari niatan pribadi, tetapi banyak bekerja). Jika hal itu dilakukan, dukungan dan apresiasi dari berbagai kalangan akan datang sendiri.
Tri meraih penghargaan ASEAN Social Impact Award 2018 untuk karyanya dalam bidang pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya dengan pengembangan listrik mikrohidro di Sumba Timur, NTT.
Penyerahan penghargaan yang diprakarsai Asia Philantropy Circle (APC) bersama National University of Singapore (NUS) dan Ashoka Foundation itu dihadiri, antara lain, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Puan Maharani, Richard Tan Kok Tong dari Kementerian Sosial dan Pembangunan Keluarga Singapura, pejabat pemberdayaan masyarakat dari anggota ASEAN, dan filantropis dari sejumlah negara di Asia.
Filantropis asal Indonesia yang hadir antara lain Victor R Hartono dari Djarum Foundation dan Belinda Tanoto dari Yayasan Bhakti Tanoto. Chairman APC Stanley Tan menjelaskan, pemberian penghargaan ini sudah dilaksanakan tiga tahun terakhir. Penghargaan yang terinspirasi oleh filantropis asal Singapura, Dr Ee Peng Liang, itu bertujuan mendorong lahirnya aktivis pemberdaya masyarakat di negara anggota ASEAN yang memberikan dampak sosial luar biasa bagi masyarakat. Untuk tahun 2018, panitia menerima 160 usulan peraih penghargaan.
Bidang yang ditawarkan pun beragam, antara lain terkait ekonomi masyarakat, lingkungan hidup, pertanian, pembangunan masyarakat, dan hak asasi manusia. Dewan juri yang terdiri atas 30 ahli dari berbagai bidang akhirnya memilih 12 finalis. Ke-12 finalis itu kemudian dipilih lagi menjadi enam calon yang berhak menerima penghargaan.
Guru Besar Jurusan Pekerja Sosial NUS S Vasoo menambahkan, peraih ASEAN Social Impact Award menunjukkan kreativitas, daya tahan, dan semangat kemanusiaan luar biasa untuk mengembangkan masyarakat.