Angkutan Daring Minim Pengawasan Keamanan, Pengguna Harus Waspada
BOGOR, KOMPAS -- Longgarnya pengawasan terhadap operasi angkutan daring memberikan celah untuk melakukan kriminalitas. Pengguna jasa angkutan daring harus tetap waspada, meskipun pengendara terdaftar dan sesuai dengan aplikasi.
Berkaca dari kasus Siska (29), yang dirampok dan dibunuh oleh pengemudi taksi daring, salah satu tersangka beserta kendaraan operasionalnya memang terdaftar di aplikasi taksi daring.
Kapolres Bogor Ajun Komisaris Besar AM Dicky Pastika Gading pada Rabu (21/3), menyatakan para tersangka melakukan perampokan ini secara acak dengan memanfaatkan layanan aplikasi taksi daring untuk mencari korban.
Namun, Dicky enggan memberikan informasi perusahaan angkutan daring mana yang digunakan tersangka untuk melakukan tindak kejahatan yang merenggut nyawa Siska ini.
Jasad Siska ditemukan di Cibinong, Minggu (19/3) setelah dirampok dan dibunuh oleh dua pelaku, FIH (32) dan FHN (28). Sebelumnya, Siska memesan taksi daring yang direspon oleh FIH, pengemudi taksi daring, pada jam 02.20. FIH beraksi bersama FHN yang ikut berada dalam mobil.
Setelah menjemput Siska, mereka merampok dengan mengancamnya dengan menodongkan pedang pendek. Pelaku membuat Siska tidak berdaya, dan meminta uang sebesar Rp 20 juta. Hal ini tidak bisa dipenuhi, dan akhirnya mereka membunuh Siska.
"Meskipun identitas tersangka beserta kendaraannya sesuai dengan yang terdaftar di aplikasi, mereka tetap melakukan kejahatan. Jadi, semuanya bisa saja menjadi korban, dan beraksi disaat ada kesempatan," tuturnya saat ditemui diitemui di Kantor Polres Bogor.
Dicky mempermasalahkan perekrutan pengemudi taksi daring yang kurang pengawasan, sehingga berpotensi dijadikan celah untuk tindak kriminal.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Bogor AKP Bimantoro Kurniawan menambahkan, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) tidak bisa menjadi jaminan bahwa pengemudi tidak akan melakukan tindak kejahatan. SKCK hanya sebatas melihat apakah seseorang pernah melakukan tindak pidana.
"SKCK saja tidak cukup. Tidak bisa hanya pendaftaran secara daring saja. Mereka juga harus melewati rangkaian tes, dan harus ada pertemuan agar perusahaan bisa melihat calon mitranya," ujarnya.
Pengawasan Sinergis
Dihubungi terpisah, Pakar transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan, transportasi daring yang tidak diawasi akan menjadi celah perbuatan kriminal. Padahal, setiap pemangku kebijakan memiliki kewajiban dalam mengawasi transportasi berbasis digital ini.
Djoko menjelaskan, tidak hanya Kementerian Perhubungan, kementerian lainnya juga memiliki andil. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengawasi kemanan aplikasi. Jika aplikasi yang ada tidak menjamin keamanan, maka perlu adanya penindakan.
Menurut Djoko, Kementerian Tenaga Kerja juga perlu mengawasi sistem kerja transportasi daring yang dianggap tidak manusiawi.
Ia menyatakan, sistem poin dan tanpa jam kerja yang tidak jelas membuat tingkat stress pengemudi menjadi semakin tinggi karena harus mengejar target.
"Tingkat stres yang tinggi menyebabkan seseorang cenderung melakukan tindakan kriminal. Apalagi perusahaan aplikasi ini mengabaikan rekrutmen yang lebih selektif. Ini tidak bisa dibiarkan. Negara harus hadir disini," ujarnya.
Waspada
Kasubid Humas Polres Bogor Ajun Komisaris Polisi Ita Puspita Lena menghimbau masyarakat untuk lebih waspada dalam menggunakan transportasi online.
"Tidak hanya untuk penumpang, pengemudi aplikasi daring juga. Terutama saat pemesanan berada di malam hari, dari dan menuju tempat yang sepi, mereka harus waspada," katanya.
Puspita memaparkan, calon penumpang daring sebaiknya mengamati kendaraan yang akan dinaiki. Mulai dari nomor polisi, keadaan sekitar, hingga pengemudinya.
"Kalau perlu, pengemudinya difoto dan kirimkan ke keluarga di rumah. Jika pengemudi akan melakukan kejahatan, pasti akan berpikir ulang, karena wajahnya terfoto. Jangan lupa juga untuk melihat bagian jok belakang, apakah ada orang atau tidak," tuturnya.
Bagi pengemudi angkutan daring, Puspita menghimbau, pemesanan yang dilakukan lewat tengah malam dan membawa banyak orang perlu dicurigai. Jika tujuan pemesanan adalah menuju tempat yang sepi, bukan pemukiman, tutur Puspita, pengemudi dianjurkan untuk menolak pesanan.
Komisi V DPR: Butuh Keterbukaan Penyedia Jasa
Menanggapi tindakan pengemudi transportasi daring yang membahayakan penumpang, Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis berpendapat, risiko ini berakar dari tertutupnya akses data penyedia jasa transportasi kepada pemerintah.
Untuk memberikan jaminan keselamatan penumpang, pemerintah membutuhkan keterbukaan dari penyedia jasa transportasi daring seperti Gojek, Grab, dan Uber. Salah satu contoh data yang dibutuhkan ialah, data-data yang menunjukkan keluhan penumpang dan identitas pengemudi.
“Oleh sebab itu, poin keselamatan penumpang transportasi daring juga dianggap penting dalam pembahasan revisi UU Nomor 20 tentang Lalu Lintas. Penyedia jasa transportasi perlu memberikan akses pada pemerintah untuk menjamin keselamatan penumpang. Kami akan atur dalam revisi UU ini. Rencananya, awal April ini akan dibahas hasil kajiannya,” tutur Fary, saat ditemui, Rabu (21/3). (DD12/DD09)