Berita Bohong Perang Bubat yang Membuat Luka Relasi Sunda dan Jawa
Oleh
Bambang Sigap Sumantri
·5 menit baca
Bermula dari kontroversi Perang Bubat, relasi sosial budaya antara Sunda dan Jawa terluka. Sampai-sampai ada mitos orang Sunda laki-laki tidak boleh menikahi perempuan Jawa sejak saat itu. Luka budaya tersebut perlu disembuhkan dengan rekonsiliasi. Itulah inti Dialog Budaya dan Gelar Seni Yogya Semesta seri-105 yang mengangkat tema Rekonsiliasi Kultural Sunda-Jawa: Memutus Dendam Sejarah Bubat. Acara berlangsung Selasa (20/3) malam, mulai pukul 19.00 sampai 22.00 di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta.
Diskusi yang diselingi dengan sejumlah pertunjukan seni, antara lain, Tari Jaipong Sekar Ayu, menghadirkan narasumber Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Prof Dr PM Laksono, Ketua Dewan Kebudayaan DIY dan Dosen Arkeologi Klasik FIB UGM Dr Djoko Dwiyanto MSi dan Tokoh Masyarakat Sunda di Daerah Istimewa Yogyakarta Raden Wedono Dipawangsayuda SH yang akrab dipanggil Ki Demang. Moderator yang sekaligus pemantik diskusi, Hari Dendi, pengasuh Yogya Semesta.
Dialog budaya dan seni ini rutin dilakukan sebulan sekali. Salah satu keunikan acara ini dilakukan dengan lesehan, Hari dan beberapa narasumber memakai pakaian tradisional. Acara dalam bentuk talk show ini selalu menampilkan pertunjukan seni yang membuat diskusi menjadi lebih menarik dan terkesan ringan. Sebelum acara dimulai, para tamu disuguhi makanan angkringan.
Ki Demang menjelaskan, tragedi Perang Bubat bermula dari kedatangan utusan Majapahit ke Kerajaan Galuh (Sunda) untuk melamar Dyah Pitaloka yang akan dinikahkan dengan Raja Majapahit Sri Rajasa Nagara (Hayam Wuruk).
“Seperti dikisahkan dalam naskah kuno Kitab Pararaton: Bre prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda, artinya Sri Prabu Hayam Wuruk ingin memperistri puteri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda,” kata ki Demang.
Lamaran Raja Hayam Wuruk dijawab dengan berkunjungnya Raja Sunda, Prabu Maha Raja Lingga Buana ke Majapahit. Sebelum memasuki istana, rombongan raja Sunda beristirahat di masjid agung sekitar Alun-alun Bubat. Tiba-tiba Patih Gajah Mada mengatakan Raja Sunda telah takluk kepada Majapahit dengan bukti menyerahkan anaknya sebagai upeti untuk dijadikan selir Raja Hayam Wuruk. Perang besar yang tak seimbang terjadi di Bubat pada tahun 1379. Raja Sunda dan permaisuri gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri.
Perang Bubat diangkat sebagai desertasi oleh orang Belanda yang mengaku sejarawan bernama CC Berg pada tahun 1927-1928 berdasar pada Kidung Sunda dan Kidung Sundayana. Menurut Hari Dendi, desertasi Berg perlu ditelaah secara kritis. Kidung Sunda dan Sundayana yang sebelumnya diperkirakan ditulis di Abad-16, padahal Perang Bubat terjadi pada Abad-14, karena terpaut waktu 200 tahun, diduga banyak terjadi distorsi dan deviasi fakta.
“Selain itu, teryata ditemukan fakta baru yang mengejutkan, Kidung itu baru ditulis pada 1927-1928 oleh Berg. Dalam desertasi ia menyadur dari sumber sejarah sebelumnya yang disebut naskah asli, namun sampai halaman terakhir, ia tak pernah menyebut naskah aslinya. Sehingga dapat dipastikan, ia tidak pernah meng”copy-paste”, karena naskah aslinya dipastikan tidak pernah ada, tetapi direkayasa seakan naskah itu ada,” ungkap Hari.
Motif Berg merekayasa sumber sejarah itu diduga untuk memecah belah masyarakat Indonesia agar tidak mudah bersatu melawan Belanda. Oktober tahun 1928, lahir Sumpah Pemuda yang untuk pertama kalinya istilah Indonesia digunakan dalam hubungan dengan persatuan bangsa. “Dipastikan penjajah Belanda melalui berbagai cara ingin membendung upaya pemuda Indonesia agar terpecah-belah dan tidak bisa bersatu. Salah satunya melalui buku yang ditulis Berg,” ujar Hari.
Djoko juga meragukan keilmiahan karya Berg karena mengambil karya sastra sebagai dasar rujukan untuk menyelesaikan desertasinya. “Perang Bubat bisa jadi merupakan mitos, mitos yang terus dikembangkan sampai menjadi titik kepercayaan bagi masyarakat tertentu, terutama mempercayai bahwa Bubat itu mengakibatkan ada persengketaan, yang perkembangannya itu menjadi bermacam-macam,” katanya
Peristiwa semacam itu, lanjut Djoko, merupakan perkawinan politik dan hal ini biasa terjadi di zaman kerajaan maupun sekarang. “Perkawinan politik puteri Sunda dilamar putera Majapahit, sesuatu yang biasa tetapi dikembangkan, kalau zaman sekarang istilahnya di blow up dengan mengambil sasaran Gajah Mada yang tidak mau menyerahkan Dyah Pitaloka begitu saja dan harus diserahkan dengan bukti bahwa itu adalah simbol penaklukan Majapahit terhadap Sunda,” tambah Djoko.
“Karena itu saya justru mempertanyakan apa masih perlu ada rekonsiliasi karena nyatanya tidak pernah terjadi apapun. Jadi simbolisasi penamaan jalan atau dulu ada kepercayaan masyarakat Sunda itu yang puteri tidak boleh menikah dengan orang Jawa, itu lebih pada mitos karena dikembang-kembangkan sedemikian rupa lalu bangkitlah rasa-rasa antipati yang diistilahkan Pak Hari Dendi, dendam sejarah. Apakah hal itu perlu disudahi ? Sebenarnya bukti historinya sudah cukup kuat misalnya Sumpah Pemuda, orang sudah tidak mempersoalkan lagi soal suku bangsa karena waktu Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumeteranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pagoejoeban Pasoendan, Jong Ambon, Pemoeda Kaoem Betawi, semua bergabung menjadi satu bangsa,” papar Djoko.
Djoko dan Laksono sepakat bahwa Perang Bubat hanyalah mitos. Demikian juga Hari setelah menguraikan kepalsuan desertasi Berg dan konteks politik tahun 1927-1928, juga sampai pada kesimpulan, Perang Bubat tidak pernah terjadi.
“Hingga kini, tak ada satu pun dari sekitar 50 prasasti yang berasal masa Kerajaan Majapahit dan 30 prasasti dari masa Kerajaan Sunda yang menyebutkan, apalagi menguraikan soal perang tersebut. Sumber yang ada hanya naskah tertulis atau manuskrip,” ungkap Hari. Bagaimana dengan sumber teks Pararaton ? Hari lantas mengutip pendapat filolog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Agung Kriswantoro, yang menyebutkan data sejarah di dalam Pararaton sangat mungkin menyimpang dari sumber data primer. Hal ini disebabkan waktu penulisan teks dilakukan jauh setelah peristiwa sebenarnya terjadi
Namun fakta menunjukkan mitos yang dikembangkan Belanda itu telah membuat relasi budaya Sunda dan Jawa menjadi tidak harmonis. Luka budaya karena mitos Perang Bubat tersebut secara serius hendak dipupus dengan penamaan jalan utama di Yogyakarta pada awal Oktober 2017.
Pada bulan itu, di Yogyakarta dilakukan peletakan nama Jalan Siliwangi, Pajajaran dan Majapahit menjadi satu kesatuan dalam satu jalur yang dulu bernama Ring Road (Jalan Lingkar). Kemudian pada awal Maret yang lalu, dilakukan penamaan Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Pasundan di Kota Surabaya yang diawali dengan dialog budaya antaretnik Sunda-Jawa. Menurut Hari, penamaan jalan tersebut merupakan upaya memutus dendam sejarah menuju rekonsiliasi budaya yang dulu diwariskan dari generasi ke generasi kedua etnik.
Kesimpulan yang lain, hoax atau berita bohong yang diulang-ulang, diturunkan dari generasi ke generasi, bisa efektif mempengaruhi masyarakat, bahkan sampai harus mengadakan rekonsiliasi. Berita bohong sejak dulu sudah ada untuk kepentingan politik, fenomena berita bohong zaman now sebenarnya tidak mengherankan dan seharusnya kita bisa belajar dari sejarah.