Krisis Air Itu Sedang Terjadi!
Kering. Bendungan tanpa air. Mandi dibatasi. Menunggu Tuhan bermurah hati mencurahkan hujan dan air bisa mengalir normal kembali. Bagi sekitar 4 juta penduduk Cape Town, Afrika Selatan, kiamat itu datang lebih dulu. Sebuah peristiwa pertama yang terjadi di sebuah kota besar dan juga mengancam seluruh dunia, termasuk Jakarta; krisis air!
Sebelum tiga tahun lalu, tidak pernah terbayangkan jika air akan habis di Cape Town. Kota tujuan wisata itu terus tumbuh. Laju urbanisasi masif. Pembangunan juga tidak kalah pesatnya. Turis datang dari penjuru dunia, dengan jumlah sekitar 10 juta orang setiap tahun. Kota berbentuk mangkuk raksasa yang terletak di titik selatan Benua Afrika itu terus bersolek, mendandani diri, dan terus mengambil air dalam jumlah besar.
Hingga kemarau panjang itu datang. Tiga tahun kemarau itu berlangsung. Hujan jarang turun. Bendungan pun mengering. Enam bendungan utama yang menjadi tumpuan warga mengalami penurunan level yang ekstrem.
Selasa (13/3), di halaman depan sebuah rumah sederhana di kota Khayelitsha di Cape Town, Afrika Selatan, Samantha Tibisono mencuci pakaiannya dengan air dari keran komunal. Dia tinggal di Site C, lingkungan di mana hampir dua pertiga penduduk tinggal di gubuk tanpa air yang mengalir. Kota menyediakan keran dan toilet komunal untuk sanitasi, tetapi akhir-akhir ini keran telah kering.
Di dalam rumah mereka, putri Tibisono, Asavela (17), menunjuk ke ember berisi air di rak dan di bawah meja. ”Kadang-kadang dua hari tanpa air,” kata Asavela.
Akibat kemarau panjang yang terjadi selama tiga tahun, pejabat Cape Town telah memperingatkan selama berbulan-bulan akan datangnya Day Zero. Sebuah hari saat keran-keran air dimatikan, dan orang harus berbaris untuk jatah air sehari-hari karena bendungan yang memasok kota akan terlalu rendah untuk memompa air ke rumah-rumah Namun, saat ini, banyak orang di sekitar kota sudah menghadapi kekurangan air. Ada yang bilang setiap hari adalah Day Zero.
Day Zero adalah nama yang diberikan terkait bencana krisis air di Cape Town itu. Pada Januari lalu, pemerintah telah mengumumkan bahwa kota ini akan kehabisan air pada April mendatang.
Distribusi air kepada warga di Cape Town telah dibatasi menjadi 50 liter per hari, atau setara dengan konsumsi air ketika mandi selama 10 menit. Jumlah ini telah turun dari sebelumnya yang sejumlah 87 liter per hari. Total jumlah pemakaian air di Cape Town setiap hari tinggal 520 juta liter. Bandingkan dengan kebutuhan air di Jakarta yang mencapai 1,2 miliar liter per hari.
Pemerintah setempat telah merencanakan, jika krisis terus terjadi, warga hanya akan mendapatkan air 25 liter per hari.
Pengunjung di Cape Town telah diimbau agar mandi tidak lebih dari 90 detik. Bar dan restoran telah mematikan keran air di toilet untuk cuci tangan, dan merekomendasikan untuk menggunakan cairan pembersih. Sejumlah hotel mengganti air di kolam renang dengan air asin, atau mengosongkannya sekalian.
Meski begitu, pada pekan pertama Maret ini, Pemerintah Cape Town menganulir pengumuman waktu jatuhnya hari tanpa air di Cape Town. Menurut Ian Neilson, Wakil Wali Kota Cape Town, proyeksi Day Zero akan jatuh pada akhir Agustus. Namun, karena waktu tersebut jatuh setelah curah hujan normal, perhitungan tersebut harus diubah.
”Dengan demikian, dengan penghematan air yang terus kita lakukan, Day Zero bisa dihindari tahun ini. Jika curah hujan tahun ini kembali seperti tahun lalu, atau lebih sedikit, Day Zero kemungkinan besar bisa terjadi pada awal tahun depan,” ujar Neilson, Rabu (7/3).
Ancaman nyata
Namun, tidak ada yang bisa memastikan hujan akan turun di Cape town. Day Zero dipastikan terjadi jika total tampungan air di enam bendungan hanya 13,5 persen. Pada 7 Maret lalu, jumlah tampungan air di bendungan 23,6 persen, atau turun 0,4 persen dari seminggu sebelumnya. Selasa (20/3), jumlah tampungan air menjadi 22,7 persen.
Lalu, bagaimana hal ini terjadi?
”Saya tidak yakin kita bisa menghindari Day Zero. Kami menggunakan terlalu banyak air dan tidak bisa menahannya. Ini tragis,” kata Kevin Winter, kepala peneliti sebuah kelompok air perkotaan di University of Cape Town, seperti dikutip dari laman National Geographic.
Afrika Selatan adalah daratan yang gersang. Akan tetapi, di Cape Town, dengan topografi yang berbentuk cekungan, adanya Gunung Table, dan udara dari laut di depannya, menciptakan hujan lokal yang memenuhi sungai dan mengisi air di bawah tanah. Ini adalah sebuah oase yang dikelilingi gurun. Keindahan kota ini telah mendorong populasi yang tinggi dan dengan peningkatan jumlah orang tajir. Ada kolam renang, taman air, dan kilang anggur dengan taman yang rimbun. Meski begitu, juga terdapat ratusan ribu orang yang masih tinggal di permukiman miskin. Tingkat pengangguran mencapai 25 persen. Setali dengan itu semua, ancaman akan kelangkaan air telah diperingatkan akademisi ataupun aktivis berkali-kali.
Selama 20 tahun terakhir, kota ini mengakui menghadapi beberapa ancaman terhadap kondisi air bersih yang meningkat. Ini membuat pemerintah menerapkan langkah-langkah dalam mengurangi penggunaan air dari enam waduk utamanya, yang menampung hingga 230 miliar galon air. Bahkan, pengguna air yang paling boros diumumkan untuk membuat rasa malu.
Dengan berbagai terobosan itu, Winter melanjutkan, konsumsi air per kapita menurun. Terobosan itu termasuk berbagai kebijakan, seperti upaya mengurangi kebocoran, ada paksaan pengguna besar air untuk membayar lebih banyak, dan meningkatkan efisiensi air. Cape Town bahkan memenangi beberapa penghargaan pengelolaan air level internasional.
Namun, para pejabat juga membuat kesalahan yang semakin umum, yaitu menganggap pola hujan di masa depan akan menyerupai masa lalu, atau setidaknya tidak berubah terlalu cepat. ”Ini seperti mengendarai mobil bermotor dan melihat di kaca spion,” kata Winter. ”Mereka memecahkan masalah lama, tetapi mereka tidak mengenali risiko di depan. Sekarang inilah akibatnya.”
Ilmuwan dan spesialis konservasi air Peter Gleick mengungkapkan, masalah yang dihadapi Cape Town adalah masalah yang bisa dihadapi kota mana pun. Sebab, itu adalah kombinasi pertumbuhan penduduk dan batasan mutlak pasokan air.
”Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan ini menakutkan,” ucap Winter.
”Mereka berada pada kondisi yang saya sebut kendala peak water dan realitas baru perubahan iklim. Asumsi bahwa iklim tidak berubah dalam jangka pendek tidak lagi benar. Kita tahu bahwa manusia menyebabkan perubahan iklim, dan beberapa dampak terburuknya akan termanifestasikan dalam perubahan siklus hidrologi, termasuk ketersediaan air,” kata Gleick.
Peak water adalah kondisi batasan seberapa banyak air yang dapat diambil dan digunakan. Gleick mencontohkan, ketika air di seluruh aliran sungai diambil, air itu akan tidak ada lagi. Selain itu, pemompaan sumber air yang tidak terbarukan, seperti air tanah, juga masif dilakukan. ”Saat kita memompa air tanah lebih cepat daripada cara alam mengisi ulang, itu seperti saja merupakan waktu puncak. Anda telah menggunakan cadangan air.”
Menurut Gleick, saat ini, sepertiga dari semua air tanah yang dipompa ke seluruh dunia berasal dari sumber air tanah yang tidak dapat diperbarui. Semakin banyak wilayah di dunia—termasuk tempat-tempat seperti Cape Town—mencapai apa yang dia sebut peak water.
”Saya lebih khawatir tentang tempat-tempat, seperti Jakarta, atau Teheran, atau tempat di negara berkembang, di mana mereka tidak memiliki alternatif. Dan tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk menggunakan air limbah yang diolah atau untuk menghilangkan garam air, serta tidak memiliki kemampuan manajemen untuk menerapkan program konservasi yang cerdas dan efektif,” kata peraih Mc Arthur Fellowship ini.
Tanpa air meski banyak air
Jakarta, kota dengan 10 juta penduduk dengan kompleksitas masalah, memang berjarak 9.476 kilometer dari Cape Town. Namun, masalah terkait penyediaan air bersih terus memuncak.
Merujuk kasus di Jakarta, dengan 13 sungai yang dimiliki, semuanya tidak bisa dijadikan sebagai sumber bahan baku air bersih. Hal ini karena air di sungai-sungai ini mengalami kadar pencemaran yang tidak sedikit, baik itu limbah rumah tanggamaupun limbah usaha serta pabrik. Suplai utama air bersih Jakarta, yang sampai saat ini masih dikelola oleh dua perusahaan swasta, didatangkan dari luar, yaitu Bendungan Jati Luhur, Jawab Barat, dan Tangerang, Banten.
Sejalan dengan itu, kondisi air tanah juga tidak jauh beda. Sebagian titik air tanah permukaan terkena instrusi air laut, sementara air tanah dalam juga beberapa mengandung mangan (Mn) dan besi (Fe). Namun, karena tidak ada alternatif, air tanah terus disedot sehingga menjadi salah satu faktor yang mempercepat laju penurunan muka tanah.
Rahmat Fajar Lubis dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) yang banyak melakukan penelitian tentang kondisi sumber daya air di Indonesia mengungkapkan, kasus yang terjadi di Cape Town memperlihatkan bahwa ketersediaan air baku merupakan hal yang harus diperhatikan dengan baik. Meski melakukan pengelolaan yang baik, ketersediaan yang kurang akan sangat berbahaya.
”Namun, perlu diingat bahwa Day Zero bisa juga terjadi apabila sumber air baku ada tetapi tidak dapat digunakan, seperti tercemar limbah dan intrusi air laut,” ucapnya, Selasa (20/3).
Apa yang dijelaskan Peter Gleick, tambah Fajar, ingin memberikan illustrasi bahwa paham air sebagai sumber daya terbarukan harus disikapi dengan hati-hati sebab dalam kondisi air melimpah pun situasi Day Zero bisa terjadi.
Hari air
Kamis, tepat pada 22 Maret ini, akan diperingati sebagai Hari Air Internasional. Momentum ini tentu akan diperingati warga Cape Town dengan tetap menunggu air mengucur deras dari langit. Bagi warga di belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia, mungkin akan menganggapnya angin lalu saja.
Kekeringan, krisis air, dan bencana perubahan iklim lainnya akan berdampak sangat besar pada kehidupan. Dan, yang paling pertama terkena dampaknya adalah masyarakat miskin, seperti Samantha Tibisono di Cape Town. Di Jakarta, di wilayah Kamal Muara, Marunda, Ancol, dan sejumlah wilayah lainnya, warga bertahan dengan air kemasan untuk minum. Tidak hanya di Jakarta, tetapi berbagai daerah di wilayah lain juga mengalaminya dengan beragam sebab.
Barsinih (53), warga Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, menggunakan beragam sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Dia tetap menggunakan air sumur di rumahnya meski telah menggunakan air perpipaan. ”Air (sumur) dipakai untuk membilas dan mencuci, terutama kalau air PAM tidak mengalir. Tetapi, air sumur itu tidak dipakai untuk mandi karena bikin gatal-gatal,” ujar ibu lima anak ini di Jakarta, beberapa waktu lalu. Sementara air untuk minum pedagang kelontong ini memakai air kemasan yang dibeli Rp 5.000 per galon.
Vandhana Shiva, dalam bukunya Water Wars, telah memperingatkan, para petani, peternak, atau masyarakat pantai akan menjadi pengungsi lingkungan ketika tidak ada lagi hujan, panen yang gagal, dan sungai yang mengering. Mereka, orang-orang kecil ini, tidak akan mampu membeli air dengan tarif tinggi, atau air kemasan berliter-liter. Sementara para orang superkaya memakai air kemasan untuk mandi.
Selain menciptakan lebih banyak banjir dan badai tsunami, tulis Vandhana Shiva, perubahan iklim juga memperparah kekeringan dan gelombang panas. Apakah air menjadi ancaman atau penopang kehidupan akan sangat bergantung pada kemampuan gerakan keadilan iklim untuk mengakhiri polusi udara, dan untuk memaksa negara-negara dan korporasi agar bertindak dalam batas-batas tanggung jawab ekologis.
Terlalu banyak atau terlampau sedikit, air akan merusak dunia, begitu kata pepatah Oriya. (AFP/NPR/THEBULLETIN)