ST kini tidak bisa tenang, apalagi setelah menerima informasi soal perampokan dan pembunuhan Yun Siska Rohani (29) oleh sopir taksi daring. Ia selalu merasa ada seseorang di belakangnya, terutama saat di mobil. Jumat (16/3) pekan lalu, ia nyaris bernasib sama seperti Siska akibat perbuatan sopir taksi daring yang diduga sama.
ST dan teman-temannya mengobrol seru soal pembunuhan Siska di grup percakapan mereka. Ia merasa kejadian tersebut sangat berhubungan dengan peristiwa traumatisnya Jumat lalu mengingat ia menumpang mobil taksi daring Ertiga putih, serupa dengan yang ditumpangi Siska. ”Terus, temen gue ngirim foto pelaku. Sama persis. Gila, syok abis…,” kata perempuan berusia 26 tahun dari Bontang, Kalimantan Timur, ini saat dihubungi pada Rabu (21/3).
Kepolisian Resor Bogor memastikan Yun Siska Rohani (29) dibunuh dua laki-laki yang merampoknya, FIH dan FHN. FIH (32) adalah pengemudi taksi dalam jaringan atau daring. Korban dibunuh di dalam mobil pelaku. Siska sebelumnya memesan taksi untuk pergi ke Hotel H di Jakarta Selatan, berangkat dari Hotel C di Jakarta Pusat (Kompas, 21/3).
Cerita ST bermula dari pemesanan taksi daring beraplikasi Uber pada Jumat dini hari. Sebagai akuntan di sebuah kantor akuntan publik di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, ST memang kerap pulang malam atau bahkan menjelang matahari terbit selama Januari-April ketika pekerjaan audit mencapai musim puncaknya.
Ia mendapatkan taksi yang dikemudikan FIH dengan mobil Suzuki Ertiga dan nomor pelat B 2205 BFU. Ia langsung merasakan kejanggalan ketika sopir menanyakan apakah ia sendiri atau tidak. ”Terus dia chat-nya itu udah ngaco. Dia bilang, Mbak kesepian, ya? Sayangnya, gue ga capture sih,” ujar ST.
Sopir kemudian meralat dengan menanyakan, apakah ST sendirian atau tidak. Dengan segala kejanggalan itu, ST memutuskan tetap menumpang Ertiga karena sudah terlalu lelah jika harus membatalkan dan menunggu mobil taksi daring lain. Di sisi lain, jenis mobil, nomor pelat, dan pengemudi sama dengan yang muncul di aplikasi. ST duduk di baris tengah.
Kejanggalan berlanjut di tengah perjalanan. Sopir menanyakan apakah ST benar-benar tahu jalan pulang. Ia menawarkan untuk mengikuti arah di GPS ponsel pintarnya, yaitu harus melalui Jalan Gatot Soebroto terlebih dulu. Padahal, rumah ST di Jakarta Timur hanya berjarak 6 kilometer dari kantornya dan bakal terlalu jauh jika melalui Jalan Gatot Soebroto. Ia menolak dan meminta sopir mengikuti petunjuknya.
Sesampainya di gang menuju rumahnya, ST meminta sopir berhenti. Ia langsung bersiap-siap turun sehingga sopir kaget. ”Dia bilang, Mbak emang bayarnya pake apa. Gue jawab, pake kartu kredit,” katanya.
Keanehan lainnya, sopir tidak segera membukakan kunci pintu mobil untuk ST. Ia sudah menyampaikan kepada sopir, tetapi tetap tidak dibukakan dan sopir hanya berkata pintu bisa dibuka. Seketika, ia mendengar suara seperti orang baru saja bangun di bagian kursi belakang, baris ketiga. Lengan seseorang tiba-tiba sudah melingkar di depan leher ST dan berusaha menahan dia.
Tangan kanan ST mencegah lengan orang itu melingkar lebih jauh, sedangkan tangan kirinya menggapai kunci untuk membuka secara manual. Saat pintu terbuka, ia langsung lari menuju rumah sambil berteriak minta tolong. Sayangnya, karena masih pagi buta, tidak ada orang sekitar yang datang. Ia beruntung bisa sampai di rumah dengan selamat. Ia baru kemudian menyadari, kaki kiri yang melangkah turun dari mobil terlebih dulu sudah luka, sedangkan lengan kanan yang berduel dengan lengan pelaku kejahatan tadi memar.
Sejak saat itu, ST tidak mau lagi memesan taksi daring saat pulang dari kantornya. Ia memilih taksi konvensional atau ojek sepeda motor.
Ia juga terus trauma hingga sekarang. Setiap kali berada di mobil, ia menengok ke belakang memastikan tidak ada orang jahat seperti yang terjadi pada Jumat itu. Ia juga semakin takut jika sedang sendiri, entah di mana pun.
Dari berita yang didapatkannya soal pembunuhan Siska, ST kaget karena nomor pelat kendaraan pelaku sama persis dengan yang ditumpanginya Jumat lalu. Inisial pelaku pun cocok dengan nama sopir yang terpampang di aplikasi, yang sudah difoto ST sebagai bukti. Terkait itu, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Bogor Ajun Komisaris Bimantoro Kurniawan tidak secara langsung mengonfirmasi pelaku merupakan orang yang sama atau bukan. ”Silakan disimpulkan sendiri,” ucapnya.
Meski demikian, Bimantoro mengakui, modus pelaku kejahatan terhadap ST sama dengan yang dilakukan FHN—yang masih berkerabat dengan FIH—terhadap Siska. FHN bersembunyi dulu di kursi baris belakang kemudian melingkarkan lengannya pada Siska yang duduk di baris tengah. Bedanya, Siska sudah tidak mampu berkutik dan berujung pada ajal.
Sementara itu, Dian Safitri, dari bagian Humas Uber Indonesia, menyampaikan bahwa pihaknya akan menelusuri dulu informasi dan perjalanan serta keluhan ST untuk mengetahui hal tersebut. ”Kami akan informasikan kemudian,” katanya.
Terkait kabar bahwa FIH menggunakan akun aplikasi Grab saat menjemput Siska, Dewi Nuraini dari bagian Humas Grab Indonesia belum merespons pertanyaan Kompas. Namun, Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar mengatakan, Grab senantiasa menyeleksi ketat mitra pengemudi saat proses rekrutmen, termasuk melihat latar belakang dan catatan kriminal mereka.
Pakar transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, sudah sejak awal memprediksi taksi daring rentan kriminalitas. Itu lantaran tidak ada aturan pemerintah soal rekrutmen dan pola pembinaan sopir taksi daring. Bahkan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek terus diprotes para pengemudi. Padahal, regulasi itu merupakan jalan masuk untuk pembuatan standar minimum pelayanan taksi daring yang juga bakal mengatur standar keamanannya.