Tantangan Optimalisasi Pengelolaan Sampah
BEKASI, KOMPAS — Sejak dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Juli 2016, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, masih terbelit masalah inventarisasi aset. Penerapan teknologi pengelolaan sampah pun belum berjalan optimal.
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Ali Maulana Hakim di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (21/3), mengatakan, penyerahan aset dari pengelola sebelumnya, yaitu PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), belum tuntas.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta masih menunggu kelengkapan dokumen dan data dari kedua perusahaan atas klaim kepemilikan 10,5 hektar lahan di TPST Bantargebang untuk diaudit. Di lahan tersebut, berdiri beberapa tempat pengelolaan sampah, di antaranya pembangkit listrik tenaga metana (power house) dan lokasi pembuatan kompos.
Kondisi ini belum beranjak dari satu tahun lalu. Kepala DLH Isnawa Adji, Maret 2017, mengatakan, PT GTJ dan PT NOEI harus bisa memberikan bukti kepemilikan tanah dan aset yang mereka klaim kepada auditor, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Auditor akan memastikan lagi status aset TPST Bantargebang agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari (Kompas, 16/3/2017).
”Persoalan penyerahan aset ini tidak bisa disamakan dengan pembangunan fisik yang bisa ditargetkan waktu penyelesaiannya. Semoga tahun ini sudah selesai semua,” kata Ali.
Meski masih terbelit urusan penyerahan aset, Ali memastikan pengelolaan sampah yang ada di lahan tersebut tetap berjalan. Salah satunya power house. ”Jika gas metana dari tumpukan sampah tidak diambil, akan menyebabkan kebakaran pada musim kemarau,” ujar Ali.
Harta Darmanto, teknisi mesin di power house, mengatakan, sejak pertengahan 2016 pembangkit listrik tenaga metana itu memproduksi 300-500 kilowatt per jam listrik. Sebelumnya, produksi bisa mencapai 5 megawatt per jam listrik. ”DLH tidak pernah menargetkan capaian produksi kepada kami. Prinsipnya, mesin-mesin itu harus tetap berjalan meski produksinya kecil,” ujarnya.
Minimnya produksi listrik dari gas metana juga terjadi karena mesin power house tidak berfungsi optimal. Di ruang mesin, 12 mesin power house masih lengkap, tetapi hanya 7 mesin yang beroperasi. Sebanyak 4 mesin dibiarkan dalam keadaan mati. Bahkan, satu mesin lainnya berada dalam kondisi terbuka, tampak beberapa onderdil tidak terdapat di dalamnya.
Menurut Harta, mesin-mesin yang mati itu membutuhkan perbaikan. Sudah sejak awal 2016, tidak ada kegiatan overhaul. ”Setiap mesin semestinya di-overhaul setelah bekerja selama 20.000 jam,” kata Harta.
Berkurangnya jumlah mesin power house yang digunakan juga mengurangi jumlah gas metana yang dapat diambil dari tumpukan sampah. Dalam kondisi sempurna, setiap mesin dapat menyedot 650 meter kubik gas metana per jam. Akan tetapi, saat ini, pipa penyedot gas metana hanya berada di tiga titik, yaitu zona 1, zona 1.2, dan zona 1.4. Sebelumnya, pipa-pipa tersebut mengambil gas dari lima zona yang tersebar di seluruh kompleks TPST Bantargebang seluas 110 hektar.
Harta mengatakan, kebakaran di zona-zona yang tidak mendapatkan penyedotan gas metana tinggal menunggu waktu. Kebakaran akibat panas berlebih contohnya terjadi di zona tiga pada Agustus 2017.
Tidak optimalnya pengelolaan sampah juga terjadi di tempat pembuatan kompos. Di lokasi seluas 10 hektar itu terdapat 9 mesin pemilah kompos dan sampah. Akan tetapi, yang beroperasi hanya 3 unit. Di setiap mesin, terdapat empat pekerja yang memasukkan sampah, lalu mengambil hasil pilahan mesin tersebut menggunakan lori.
Unih (35), warga Ciketing Udik, Bantargebang, telah bekerja sebagai pembuat kompos di TPST Bantargebang sejak 2010. Menurut dia, sejak 2016 hanya tiga mesin yang digunakan sehari-hari, yaitu mesin bernomor empat, lima, dan enam. Mesin bernomor tujuh, delapan, dan sembilan hanya sesekali digunakan. Sementara itu, mesin bernomor satu, dua, dan tiga sudah benar-benar tidak pernah digunakan.
Marten Irfandi dari Administrasi Divisi Kompos TPST Bantargebang mengatakan, penggunaan mesin dilakukan secara bergiliran agar seluruhnya tetap dalam kondisi baik. Setiap mesin dapat menghasilkan 3 ton kompos dalam sehari. Namun, kemampuan produksi setiap hari memang tidak dioptimalkan.
”Optimalisasi produksi kami bergantung pada permintaan. Jika ada permintaan, berapa pun banyaknya, kami siap memproduksi,” kata Marten. Ia menambahkan, produksi kompos di TPST Bantargebang tidak berorientasi komersial, tetapi didistribusikan kepada masyarakat sehingga tidak ada target jumlah produksi per hari. Saat ini, di gudang mereka masih tersimpan lebih dari 1.000 ton kompos.
Teknologi baru
Untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan sampah, DLH bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk membangun Pengelolaan Sampah Proses Termal atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengatakan, teknologi baru tersebut dibutuhkan untuk mengurangi beban sampah yang ada di TPST Bantargebang. Setiap hari, terdapat 7.000 ton sampah yang dikirim dari Jakarta.
Ali menambahkan, TPST Bantargebang membutuhkan teknologi baru yang dapat memusnahkan sampah dalam waktu cepat dan tidak membutuhkan lahan yang relatif luas. Saat ini, 80 persen lahan sudah terpakai.
Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan, PLTSa memenuhi kedua kriteria tersebut. Proyek percontohan pengelolaan sampah dengan teknologi termal yang mengubah sampah menjadi listrik ini akan dibangun di lahan seluas 7.000 meter persegi. Dalam sehari, PLTSa mampu memproses 50 ton sampah dan menghasilkan 40 kilowatt per jam listrik.
”Targetnya, pembangunan pilot project PLTSa ini akan selesai akhir 2018,” kata Unggul.
Tertata
Meski pengelolaan sampah belum optimal, pengelolaan TPST Bantargebang dari segi fisik diapresiasi. Nomih (48), warga Sumur Batu, Bantargebang, mengatakan, ketidaknyamanan hidup di sekitar TPST Bantargebang telah berkurang.
Ia yang sudah tinggal di wilayah itu sejak kanak-kanak mengakui, sebelumnya, sampah dari truk yang dibawa dari Jakarta selalu berceceran di sepanjang jalan. Kini, tidak ada sampah berceceran dari TPST Bantargebang hingga Jalan Narogong, yang berjarak sekitar 2 kilometer.
Jalan di seluruh bagian kompleks TPST Bantargebang pun bersih. Pohon-pohon tertata rapi. Udara yang berembus terasa sejuk. Sesekali udara berbau sampah berembus, tetapi tidak mengganggu.
Di sekitar lokasi pembuat kompos, terdapat beberapa taman dengan tumbuhan yang berbeda. Ada taman khusus sayuran, umbi-umbian, dan tanaman hias. Selain itu, ada pula danau kecil yang dilengkapi dermaga.
”Sekarang TPST Bantargebang udah kayak tempat wisata,” kata Nomih.
Untuk meningkatkan kebersihan dan kenyamanan warga Bekasi, kata Ali, DLH mewajibkan seluruh truk dicuci sebelum meninggalkan TPST Bantargebang. Namun, pencucian truk masih berlangsung secara sporadis, baik di dalam maupun di luar kompleks. Fasilitas pencucian truk masih dalam proses pembangunan.
”Kami targetkan pembangunan tempat pencucian truk akan selesai pada Juni,” kata Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) DLH Asep Kuswanto.
Ali menambahkan, total truk yang setiap hari beroperasi lebih dari 1.200 unit. Setiap truk sudah lulus uji emisi yang dilakukan selama 6 bulan.
Untuk mempercepat penurunan sampah dari truk ke gunung sampah setinggi 40 meter, masih dibutuhkan tambahan alat berat. Di TPST Bantargebang terdapat 65 alat berat, 60 milik TPST, sedangkan lima lainnya milik UPK Badan Air dan beberapa suku dinas. ”Tahun ini kami akan mendapatkan tambahan 10 ekskavator dan 5 buldoser,” ujar Ali.
Menurut Unih, para pegawai juga kian bersemangat karena berstatus sebagai penyedia jasa lainnya orang perorangan (PJLP). Dengan begitu, mereka mendapatkan honor dengan standar upah minimum Provinsi DKI dikalikan koefisien angka sesuai tugas setiap orang. Jumlah total PJLP di TPST Bantargebang adalah 740 orang. ”Saya mendapatkan gaji Rp 4,6 juta per bulan,” kata pembuat kompos itu. (DD01)