Tingkatkan Akses Air Bersih Berkualitas di Ibu Kota Negara
Oleh
INGKI RINALDI
·5 menit baca
Saroni (75) baru saja meninggalkan Mushala Al Hikmah di Gang 20, Kampung Tanah Rendah, Kampung Melayu, Jakarta Timur, seusai menunaikan ibadah shalat Dzuhur tatkala seorang remaja putri membawa ember berwarna putih yang langsung diletakkan di bagian bawah pompa tangan di belakang mushala tersebut. Minggu (11/3) siang itu, di bagian belakang mushala yang berbatasan langsung dengan Sungai Ciliwung, remaja putri tersebut lantas mengengkol ujung tuas pompa untuk mengeluarkan air yang mengalir lewat ”pipa” tambahan dari botol bekas air mineral.
Air mengucur dan perlahan-lahan memenuhi ember bekas wadah cat tembok yang dibawanya. ”Untuk mencuci,” katanya singkat sembari memalingkan muka.
Beberapa waktu sebelum memasuki Dzuhur, sorang remaja laki-laki juga menggunakan aliran air dari pompa tangan tersebut untuk mencuci. Sebelumnya lagi, seorang ibu membawa ember berisikan pakaian lantas menunggu kucuran air dari pompa hingga batas rendaman.
Namun, bagi sejumlah warga lain, air yang bersumber dari pompa tangan bisa dipergunakan pula untuk tujuan memasak, selain juga untuk kegunaan mandi. Semua tergantung dari kemampuan masing-masing warga untuk mengakses sumber-sumber air yang ada guna kebutuhan masing-masing.
Saroni mengatakan, selain pompa tangan, sekurangnya ada dua sumber air lain yang dipergunakan warga sesuai dengan kemampuan akses masing-masing, yaitu pertama, air tanah yang diekstraksi dari mesin pompa dan kedua, sumber air baku PAM Jaya dan atau rekanan swasta yang mengalirkan air dari jaringan pipa distribusi.
Saroni yang sejak usia lima tahun tinggal di kampung tersebut, setelah hijrah dari Pekalongan, Jawa Tengah, bersama orangtuanya mengatakan, kualitas air tanah juga bergantung lokasi. ”Kadang-kadang di sini bagus dan di sana (kualitas air) jelek,” kata Saroni yang mengandalkan pasokan air ledeng untuk kebutuhan sehari-harinya.
Ada sejumlah lokasi di mana kualitas air relatif baik sudah diperoleh di kedalaman sekitar 15 meter. Akan tetapi, di sebagian lokasi lain, kedalaman tanah mesti lebih dari 20 meter sebelum air dengan kualitas baik bisa didapatkan.
Karena itulah, dalam sistem penggalian sumur bor untuk keperluan penyedotan air tanah, kesepakatan warga dengan tukang sumur bor bertumpu pada jaminan keberhasilan medapatkan air bersih. ”Perjanjiannya, air keluar bagus. (Jadi misalnya dengan biaya) Rp 1,5 juta, (tukang gali atau bor sumur) ini masih tanggung jawab. Walaupun (sudah mencapai kedalaman) 20 meter, masih didalemin lagi (jika belum sesuai beroleh air yang bagus). Nggak peduli kedalaman,” kata Saroni.
Adapun Sungai Ciliwung yang mengalir bebas bersisian dengan kampung tersebut, kata Saroni, sudah lama tidak bisa digunakan. Ia mengingat, air sungai yang sebelumnya bening tersebut sudah sejak 1960-an tidak lagi bisa dikonsumsi.
Hingga 2000-an, sejumlah perajin tempe masih melakukan produksi dengan memanfaatkan aliran sungai tersebut. Sebagian di antara mereka, termasuk Saroni, memiliki lokasi kerja di bantaran sungai sebelum banjir 2007 menghanyutkan seluruh fasilitas produksi tersebut.
Berbagai kualitas
Dalam laporan awal riset yang dilakukan sejumlah akademisi dari sejumlah universitas di Kampung Tanah Rendah berdasarkan hibah dari National Geographic, Institut Teknologi Bandung, dan Univesritas Tarumanagara pada 16 Oktober-18 Desember 2017 terungkap sejumlah kualitas air di lokasi tersebut sesuai kedalaman. Masing-masing di kedalaman ”pasir kasar,” ”pasir item,” ”lumpur item,” dan ”tanah merah.”
Air tanah yang diekstraksi dari kedalaman ”pasir kasar” yang kurang dari 20 meter cenderung tidak berwarna, tetapi perlahan-lahan berubah jadi kemerahan. Ini masih ditambah dengan ancaman kering saat memasuki musim kemarau di sumur-sumur pompa yang relatif dangkal tersebut.
Di sisi lain, tidak cukup banyak warga yang memiliki akses terhadap pompa-pompa air yang mengekstraksi air dari sumur-sumur dalam. Keterbatasan penghasilan sebagian besar warga, yang cenderung tidak mampu membiayai pengeboran sumur dalam sehingga berlangganan air ledeng dan atau membeli air dalam kemasan ukuran galon, membuat kelompok masyarakat ini memiliki kerentanan relatif lebih tinggi terkait kesehatan jika ditilik dari indikator konsumsi kualitas air.
Relatif buruknya kualitas air tanah yang jadi andalan warga terjadi di Kampung Tanah Rendah, dengan sebagian di antaranya berasal dari sumur dangkal, terjadi menyusul ketidakmampuan finansial sebagian besar warga untuk memiliki sumur dalam. Selain itu, sumur warga yang tidak seberapa dalam serta dipergunakan untuk mengekstraksi air tanah tersebut juga cenderung mengalami kekeringan di musim kemarau.
Akses sumber
Di sisi lain, pengeboran sumur dalam untuk mengekstraksi air tanah guna kebutuhan komersial justru cenderung masih banyak terjadi di Jakarta. Seperti diwartakan Kompas, Gubernur Anies Baswedan yang melakukan inspeksi mendadak pada Senin (12/3) menemukan penggunaan air tanah dari sumur dalam, lebih dari 40 meter, dilakukan sejumlah pengelola gedung tanpa mengindahkan aturan.
Ini terjadi, misalnya, di Gedung Sari Pan Pacific dengan penyedotan sumur dalam hingga 500 meter kubik per hari tanpa keberadaan sumur resapan. Padahal, berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 68 Tahun 2005 tentang Pembuatan Sumur Resapan terdapat kewajiban menyediakan 1 persen lahan untuk kolam resapan selain sumur resapan bagi pengelola yang membangun dengan lahan di atas 5.000 meter.
Pakar forensik geoteknik, Prof Chaidir Anwar Makarim, menjelaskan tentang keberadaan lapisan tanah penyimpan kandungan air di Jakarta yang terbagi ke dalam empat klasifikasi. Pertama, lapisan dangkal (un-confined aquiver) di kedalaman 0-40 meter.
Kedua, lapisan confined upper aquiver dalam batas 40 meter hingga 140 meter. Ketiga, lapisan confined middle aquiver di kedalaman 140 meter hingga 250 meter, dan terakhir adalah lapisan confined lower aquiver di kedalaman lebih dari 250 meter.
Ekstraksi air atau penyedotan di sumur dalam untuk kebutuhan komersial sejumlah gedung dan industri disebutkan paling memiliki pengaruh terhadap degradasi lingkungan. Salah satunya ialah terjadinya penurunan muka tanah.