JAKARTA, KOMPAS Pengelolaan sumber daya air, khususnya air tanah, dari hulu sampai hilir belum berjalan optimal. Hal itu karena sinergi antarsektor terkait belum terjadi.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yuliarto Joko Putranto memaparkan, sebaran neraca air permukaan Indonesia tak merata. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tahun 2015, kuantitas air di Indonesia surplus 449.045 juta meter kubik. Namun, Jawa dan Bali defisit 105.786 juta meter kubik, sedangkan Nusa Tenggara defisit 2.317 juta meter kubik.
”Seiring bertambahnya penduduk, jika tak ada konservasi sumber daya air terukur, defisit kuantitas air kian tinggi,” kata Yuliarto pada lokakarya nasional dalam rangka peringatan Hari Air Sedunia, Kamis (22/3), di Jakarta.
Menurut Kepala Subdirektorat Pengembangan Jasa Lingkungan Kehutanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Nita Kartika, konservasi air tanah harus terpadu antara pemerintah, warga, dan industri. Hal itu meliputi perlindungan dan penentuan zona konservasi air tanah.
Sementara peneliti tata air dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Nana Mulyana Arifjaya, di Sukabumi, mengatakan, banyak cara melestarikan air secara alami. Contohnya, penanaman pohon di hutan gundul akibat alih fungsi lahan. ”Konservasi bisa dengan membangun pemanen air hujan,” ujarnya.
Namun, pemanfaatan air tanah besar-besaran terjadi di sejumlah daerah, termasuk Jakarta. Sementara air sungai, situ, dan danau sebagai sumber air baku tercemar dan tak layak dikonsumsi. Sumber air di Jakarta dari 13 sungai dan 55 situ/waduk, tetapi menurut riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 38 persen tercemar berat.
Adapun tujuh sungai di Jawa Timur tercemar, di antaranya Brantas, Bengawan Solo, dan Bendoyudo. Karena itu, menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jatim Dyah Susilowati, pihaknya membangun sistem pemantauan indeks kualitas air terintegrasi yang bisa diakses lewat internet.
Sungai-sungai di Kalimantan Selatan pun tercemar dan sedimentasi tinggi. Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan II Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Dwi Purwantoro menyatakan, hal itu terjadi karena lingkungan rusak. (NIK/BRO/JUM/DD04/DD18)