Hoaks Jadi Salah Satu Tantangan Utama
JAKARTA, KOMPAS — Hoaks atau berita bohong menjadi salah satu tantangan utama yang harus dihadapi Komisi Pemilihan Umum selama tahun politik periode 2018-2019. Sektor industri diminta ikut terlibat aktif dalam mengawasi dan mengontrol penyebaran hoaks melalui media sosial.
Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Juni 2018 di 171 daerah serta pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada April 2019.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) periode 2017-2022 dan Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Pengembangan SDM KPU Wahyu Setiawan menyatakan, media sosial kini telah menjadi alat politik karena hoaks sering disebar melalui platform tersebut.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 mencapai 143,26 juta orang, meningkat dari 2016 yang sebanyak 132,7 juta orang.
”Adapun data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyebutkan, pengguna media sosial di daerah perdesaan mencapai 90,18 persen dan perkotaan 94,12 persen,” kata Valentina.
”Fenomena menggunakan media sosial sebagai alat politik itu belum lama, media sosial masih aman pada tahun 2015,” ujar Wahyu, dalam Fighting Fake News in Campaigns and Elections yang diadakan atamerica di Jakarta, Kamis (22/3).
Namun, hal tersebut berubah belakangan ini. Media sosial kini berpotensi bersifat destruktif, apalagi ketika tingkat literasi digital masyarakat masih rendah di tengah banjirnya informasi yang belum disaring.
Ia mencontohkan, seorang temannya menjadi tersangka karena membagikan sebuah unggahan dari teman lainnya melalui media sosial. Unggahan tersebut berisi berita bahwa sebuah partai politik mengincar tokoh agama tertentu.
Media sosial kini berpotensi bersifat destruktif, apalagi ketika tingkat literasi digital masyarakat masih rendah di tengah banjirnya informasi yang belum disaring.
Partai tersebut, ujarnya, tidak terima sehingga melaporkannya kepada polisi. Temannya tersebut tidak mengetahui dan mengecek apakah unggahan tersebut hoaks atau tidak.
”Olah karena itu, program KPU untuk memberikan pendidikan kepada pemilih menggunakan basis keluarga,” katanya. Pendekatan tersebut menyasar kalangan akar rumput, misalnya ibu-ibu pengajian.
Mereka disasar karena dinilai yang paling belum siap menyaring data dari internet. Program itu memberikan pendampingan kepada mereka dalam menggunakan teknologi dan internet dengan sehat.
Ketidaksiapan tersebut, ujarnya, tidak hanya dapat ditangani KPU, pemerintah, ataupun masyarakat. Sektor industri, yaitu pemilik perusahaan media sosial, juga harus terlibat dalam pengendalian hoaks.
Masyarakat Indonesia masih mendewakan media sosial sehingga tidak berpikir kritis.
”Masyarakat Indonesia masih mendewakan media sosial sehingga tidak berpikir kritis,” kata Wahyu. Menurut dia, perusahaan industri masih merespons dengan lamban aduan pemerintah menutup akun yang menyebarkan hoaks. Perusahaan tidak bisa membiarkan hoaks merajalela dengan alasan merupakan kebebasan berekspresi.
KPU dan pemerintah tahun ini telah memanggil beberapa perusahan media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Whatsapp, terkait pengendalian hoaks selama tahun politik. Program ke depan masih dalam tahap diskusi.
Ketua Masyarakat Anti-hoaks Septiaji Eko Nugroho menyatakan, hoaks mengandung tiga unsur, yaitu informasi yang menyesatkan (misleading information), tindakan yang disengaja (deliberate or purposefully act), dan ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah sebagai kebenaran (presented untruth as the ultimate truth).
Septiaji menyatakan, hal penting yang perlu dibedakan dalam hoaks adalah misinformasi, yaitu informasi yang salah, tetapi orang yang membagikannya percaya hal tersebut benar dan disinformasi, yakni informasi yang salah dan orang yang membagikannya tahu, tetapi sengaja menyebarkan.
Kepala Biro Anadolu Indonesia Dandy Koswaraputra menambahkan, hoaks muncul karena penyebar hoaks dan berita palsu mendapat pemasukan dari iklan. Menurut dia, pendapatan iklan digital mencapai Rp 6 triliun. Sekitar Rp 5 triliun masuk ke Google dan Facebook, Rp 250 miliar-Rp 300 miliar ke perusahaan media, dan sisanya ke berbagai situs, termasuk penyebar hoaks dan berita palsu.
Pendapatan iklan lewat media sosial secara global naik dari tahun ke tahun. Pendapatan tahun 2016 adalah 36,57 miliar dollar AS dan naik 43,77 miliar dollar AS tahun 2017
Dikutip dari Statista.com, pendapatan iklan lewat media sosial secara global naik dari tahun ke tahun. Pendapatan tahun 2016 adalah 36,57 miliar dollar AS dan naik 43,77 miliar dollar AS tahun 2017.
”Sebuah situs mendapatkan Rp 1,5 miliar per bulan. Uang dari ekonomi digital menjadi alasan penipuan,” kata Dandy.
Selalu kritis
Dandy menyatakan, masyarakat jangan langsung percaya ketika membaca suatu informasi dari media sosial ataupun situs. Terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengecek suatu kebenaran informasi, seperti memeriksa alamat situs, memperhatikan apakah isi berita sensasional dan banyak iklan, serta melihat situs media berita arus utama.
”Media arus utama dapat menjadi rujukan,” ujarnya. Hal itu karena media arus telah memiliki kredibilitas, rekam jejak, dan ahli di bidang masing-masing.
Kendati demikian, ia tidak menampik media berita arus utama juga dapat melakukan kesalahan dalam memberitakan sesuatu. Faktor terpenting yang perlu dimiliki perusahaan media saat ini adalah jurnalisme berbasis data.
Septiaji menambahkan, ada beberapa cara untuk mengecek hoaks, seperti melalui situs turnbackhoax.id dan aplikasi Hoax Buster Tool. Hoaks terkait isu politik dinilai perlu untuk segera ditangani karena merusak kualitas demokrasi suatu bangsa. (DD13)