Kampung Brintik, Metamorfosis Beranda Semarang
Kampung Brintik di Kelurahan Randusari, Semarang Selatan, hanya berjarak ratusan meter dari kawasan Tugu Muda, ikon Kota Semarang, Jawa Tengah. Namun, puluhan tahun, beranda kota itu dibiarkan kumuh, kusam, dan sangar. Berawal dari pulasan warna-warni cat, tak hanya kampung yang berubah menjadi bersih, warga pun bersemangat menjaga lingkungan.
Setyaningsih (49) duduk sambil memegang hiasan kembang hasil daur ulang limbah kertas, sambil menunggu pembeli minuman yang dijajakannya, Kamis (15/3). Suara aliran air di kali di depan rumahnya yang tenang menjadi latar suara di siang itu. Meski tak seramai akhir pekan, dia beberapa kali melayani pembeli minuman. Dari kejauhan, terdengar deru mesin kendaraan-kendaraan bermotor hilir mudik di seputaran Tugu Muda.
Rumah Setyaningsih berada di jajaran paling bawah permukiman di lereng kawasan yang sering disebut warga setempat dengan Gunung Brintik itu. Di depan rumahnya, membentang kali yang kini ditalud rapi, sebagai bagian dari penataan. Kali tersebut menjadi pemisah antara kampung dan Pasar Kembang Kalisari, yang juga baru ditata, dengan konsep shelter bertingkat.
Medio April 2017 merupakan momentum penataan kampung. Sebanyak 429 rumah dicat warna-warni, yang kemudian booming dan banyak dikunjungi. Berada di wilayah perbukitan di jantung kota, rumah dengan cat warna-warni itu menghadapi jalan raya sehingga tampak jelas apabila dipandang dari Jalan DR Sutomo yang terhubung langsung ke Tugu Muda, ikon Kota Semarang.
Ningsih mengatakan, sebelumnya, wilayah tersebut kumuh, terlebih banyak sampah yang berserak di kali. ”Sejak tahun lalu, banyak perubahan yang dirasakan warga. Selain banyak dikunjungi orang-orang luar Semarang, bahkan luar negeri, masyarakat juga semakin tergugah untuk menjaga kebersihan,” ujarnya.
Warga lainnya, Kasyanti (61), menambahkan, sebelum ditata, kondisi jalan pun mengkhawatirkan. Di beberapa titik jalan masih berupa tanah dan hanya diperkuat dengan papan kayu. Hal tersebut cukup membahayakan, khususnya saat musim hujan tiba. Di beberapa titik juga beberapa kali terjadi longsor tanpa ada korban jiwa.
”Namun, sejak ditata, apalagi rumah dicat warna-warni, kampung terasa lebih hidup. Banyak pengunjung yang datang, khususnya Sabtu, Minggu, dan hari libur. Beberapa warga memanfaatkan banyaknya pengunjung untuk berjualan, terutama makanan dan minuman,” ucap Kasyanti.
Bersejarah
Namun, siapa yang menyangka, hingga tiga tahun lalu, perbukitan di itu masih dikenal angker. Rerimbunan pohon besar dan lokasi yang berimpit dengan tempat permakaman umum (TPU) terbesar di Semarang, Bergota, menambah kesan sangar. Apalagi, kawasan itu juga menjadi salah satu lokasi ziarah spiritual para pengalap berkah.
Dalam buku Semarang, Lintasan Sejarah dan Budaya (2016), budayawan Semarang Djawahir Muhammad menuliskan, kawasan Gunung Brintik yang juga satu kompleks besar dengan bukit Bergota (Pragota) menyimpan jejak sejumlah tokoh. Di sekitar Bergota dan Mugas, Ki Ageng Pandan Arang (Pandanaran I), sekitar abad ke-15 menyebarkan agama Islam dan mengembangkan daerah yang kemudian menjadi Kota Semarang tersebut.
Selain itu, di daerah Bergota juga terdapat makam salah satu ulama penyebar agama Islam, Kiai Sholeh Darat. Tokoh Sholeh Darat atau Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani adalah ulama besar di tanah Jawa yang dikenal sebagai pelopor pendidikan pesantren. Kiai Sholeh merupakan guru dua tokoh besar KH Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Beberapa literatur juga menyebutkan, kawasan Gunung Brintik dulu merupakan pulau yang dekat dengan pelabuhan. Salah satu jejaknya adalah dengan ditemukannya peninggalan tonggak dan tali kapal di perbukitan itu. Pelabuhan Semarang masa lampau diperkirakan di daerah Pasar Bulu yang memanjang ke Simongan.
Pendaratan bersejarah Laksamana Cheng Ho pada 1405 Masehi diperkirakan berada di sekitar Bukit Simongan. Namun, akibat pengendapan lumpur selama ratusan tahun, daerah perairan itu akhirnya menyatu menjadi daratan.
Adapun nama Brintik, dari penuturan sejumlah warga lokal, konon diambil dari legenda seorang wanita berambut berintik atau keriting yang sakti mandraguna. Dia adalah penghuni pertama kali bukit rimbun tersebut. Makam tokoh Nyai Brintik ini diyakini berada di perbukitan tersebut.
”Setiap hari-hari tertentu, kawasan yang diyakini jadi makam Nyai Brintik ramai didatangi orang. Kebanyakan meminta sesuatu, ngalap berkah kalau orang Jawa bilang,” ujar Sudarto (67), warga Kampung Wonosari.
Sejak 1980-an, kawasan Kampung Wonosari tumbuh menjadi permukiman padat. Saking berjejalnya penduduk, kampung ini dikenal menjadi kampung kumuh basis anak jalanan, pengemis, gelandangan, hingga pengepul sampah. Kumpulan anak jalanan ini pernah mendapat pendampingan Yayasan Sosial Soegijapranata.
Meski dekat dengan Tugu Muda, kawasan ini, hingga sekitar awal 2000 termasuk daerah rawan. Banyak warga merasa tidak aman jika melintasi daerah ini, terutama saat malam hari. Terutama karena keberadaan anak-anak jalanan di sekitar daerah yang juga dekat dengan kompleks Gereja Katedral Semarang tersebut.
Pariwisata
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengenang, awalnya, Pemkot Semarang hanya akan merenovasi semua pasar bunga di depan Kampung Wonosari. Setelah rampung, Hendrar yang akrab disapa Hendi melihat latar belakang pasar bunga berupa ratusan rumah di perbukitan itu terlalu kumuh, perlu dipercantik.
”Saya terinspirasi kota-kota di luar negeri. Misalnya Guanajuato City di Meksiko, ada juga Kota Lima di Peru, atau Kota Cinque Terre di Italia. Permukiman di sana semua dicat warna-warni,” kata Hendi.
Dia lalu mengumpulkan berbagai pihak, termasuk pengusaha cat, perbankan, asosiasi pengusaha untuk membantu mewujudkan Kampung Pelangi. Warga pun bersedia gotong royong mempercantik kampung yang sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan itu.
Untuk pengecatan dan penataan, kata Hendi, awalnya habis Rp 3 miliar. Anggaran sebesar itu digalang dari pengusaha yang punya kepedulian. ”Ada yang bantu cat, uang, dan tenaga. Pemerintah tidak pakai APBD. Kami menginisiasi dan memediasi masyarakat,” katanya.
Saat pewarnaan kampung pada 15 April 2017 pun, Hendi juga ikut mengecat. Awalnya, ada ketentuan, satu rumah maksimal tiga warna. ”Namun banyak yang lebih karena semuanya antusias. Bahkan akhirnya dilukis. Akhirnya benar-benar seperti pelangi,” ujarnya.
Pada penataan tahap kedua, Pemkot Semarang juga mengucurkan anggaran sebesar Rp 16 miliar. Penataan lanjutan mencakup pembangunan kawasan parkir, normalisasi drainase, pembangunan pedestrian di sepanjang saluran, dan pusat gerai jajan.
Lurah Randusari, Edwin Noya, mengatakan, penataan yang dilakukan Pemkot Semarang telah mengubah wajah kampung, juga memberi dampak ekonomi. Dengan banyaknya turis, warga pun berjualan makanan, minuman, kaus, dan cendera mata. Pelatihan-pelatihan keterampilan yang diberikan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) pun terus dilakukan guna memberdayakan warga setempat.
Selain dapat menyusuri kampung hingga naik ke puncak bukit, kini warga pun bisa ber-swafoto dengan latar Kampung Pelangi dari Taman Kasmaran, yang berada di ujung selatan Pasar Kembang Kalisari.
”Nantinya, juga akan dibangun gardu pandang sehingga Kampung Pelangi semakin menarik sebagai tempat wisata,” ujarnya.
Kepala Dinas Penataan Ruang Kota Semarang Agus Riyanto menambahkan, akan ada penambahan fasilitas berupa gardu pandang. Selain itu, pihaknya berharap ada pengecatan ulang pada rumah-rumah warga di Kampung Pelangi. Sebab, bagaimanapun dalam 1-2 tahun, warna cat akan memudar.
Lebih lanjut, Agus mengatakan, salah satu tujuan penataan Kampung Pelangi adalah agar bisa menjadi destinasi wisata di pusat Kota Semarang. ”Jadi, kami harapkan ada konektivitas dengan Lawang Sewu dan sentra oleh-oleh di Jalan Pandanaran lantaran jaraknya berdekatan,” katanya.