”Defisit BPJS Kesehatan harus dilihat secara komprehensif. Namun, intinya adalah kita ingin supaya negara hadir melayani masyarakat,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di Jakarta, Kamis (22/3).
Seperti tahun-tahun sebelumnya, keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit karena pendapatan lebih kecil ketimbang pengeluaran. Tahun ini, defisit keuangan BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 800 miliar sampai dengan Rp 1 triliun per bulan atau Rp 9,6 triliun sampai dengan Rp 12 triliun selama setahun.
Akibatnya, tunggakan klaim dari rumah sakit menumpuk. Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan utama pun akhirnya mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan farmasi sebagai salah satu mitra rumah sakit juga terdampak karena tagihannya tidak kunjung dibayarkan. Semua ini berisiko mengganggu pelayanan kesehatan terhadap masyarakat peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Pemerintah, menurut Mardiasmo, telah menetapkan bauran kebijakan untuk meningkatkan efisiensi BPJS Kesehatan. Selain itu, juga bertujuan mendorong likuiditas keuangan BPJS Kesehatan. Beberapa kebijakan sudah bisa dilakukan sejak awal tahun ini karena aturannya sudah ada. Sementara beberapa kebijakan lainnya baru akan efektif berlaku mulai semester II-2018 karena aturannya paling cepat diterbitkan April.
Bayar tunggakan
Kebijakan yang sudah bisa dilakukan pemerintah antara lain pembayaran tunggakan pemerintah daerah terhadap klaim BPJS Kesehatan. Pembayaran ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan memotong dana bagi hasil dan atau dana alokasi umum daerah. Ini hanya bisa dilakukan setelah BPJS Kesehatan dan pemda menandatangani berita acara pembayaran tagihan.
Bagian bauran kebijakan terbanyak akan dituangkan dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Menurut Mardiasmo, revisi perpres ini sudah berada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Aturan ini diharapkan terbit April mendatang.
Sejumlah ketentuan dalam aturan itu bertujuan untuk meningkatkan likuiditas keuangan BPJS Kesehatan. Salah satunya adalah kewajiban pemerintah daerah untuk mendedikasikan 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima pemda untuk membayar jaminan kesehatan masyarakat di daerahnya masing- masing. Mekanismenya, Kemenkeu langsung memotongnya dari bagian dana transfer.
”Mestinya dengan bauran kebijakan ini semua BPJS Kesehatan bisa jalan,” kata Mardiasmo.
Secara terpisah, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Ahmad Ansyori, menilai bauran kebijakan itu hanya bersifat jangka pendek sehingga tidak akan menahan laju masalah sesungguhnya. Ia berpendapat, kecil peluang untuk mengandalkan pemerintah memenuhi seluruh kekurangan dana BPJS Kesehatan.
Menurut Ansyori, satu opsi yang bisa dilakukan untuk memperkuat likuiditas adalah memberi kesempatan pada BPJS Kesehatan untuk mengeluarkan surat utang. Namun, opsi ini tetap harus dibarengi upaya pengendalian di ranah teknis. Misalnya, melalui evaluasi tingginya kasus operasi sesar di rumah sakit.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, bauran kebijakan untuk memperkuat BPJS Kesehatan sudah baik, terutama yang menyangkut penegakan kepatuhan pemda, kepatuhan mengintegrasikan jaminan kesehatan daerahnya, dan kepatuhan membayar iuran.
”Penegakan kepatuhan pemerintah daerah ini sangat penting untuk dilakukan, terlebih lagi menjelang tahun politik,” kata Timboel. (ADH/LAS)