JAKARTA, KOMPAS -- Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan berkah dan kekayaan. Masyarakat Indonesia dinilai rukun dan saling menghargai. Meski begitu, hal ini tidak bisa diterima begitu saja. Hendaknya kerukunan antar-umat beragama selalu dijaga.
Hal itu terungkap dalam Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama yang diadakan Pusat Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Hasilnya dipaparkan di Jakarta, Kamis (22/3). Survei dilakukan pada November-Desember 2017 di 34 provinsi. Jumlah responden 7.140 orang berusia 17 tahun ke atas. ”Secara umum, semua provinsi di Indonesia masih berada di zona hijau. Artinya, masyarakat Indonesia relatif rukun walaupun berbeda agama,” kata peneliti Puslitbang dan Diklat Kemenag, Raudatul Ulum.
Nilai rata-rata nasional ialah 72,27. Dua provinsi yang memperoleh nilai terendah adalah Aceh (60) dan Banten (60,7), yang masih masuk ke dalam zona hijau.
Ulum menjabarkan, apabila nilai yang diperoleh adalah 40 ke bawah, wilayah tersebut masuk ke dalam zona merah yang rawan konflik. Perolehan nilai sama sekali tidak serta-merta berarti masyarakat di suatu provinsi tidak toleran terhadap perbedaan.
”Provinsi dengan perolehan nilai di bawah rata-rata umumnya memiliki masyarakat yang homogen,” kata Ulum. Contohnya, provinsi-provinsi di Pulau Sumatera yang relatif jarang dihuni pendatang. Bisa juga secara sejarah kebudayaan tidak ada banyak perbedaan agama dan kepercayaan.
Para responden umumnya tidak keberatan bertetangga ataupun berteman dengan orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Akan tetapi, ada 29,5 persen responden yang menyatakan keberatan apabila di lingkungan tempat tinggalnya dibangun rumah ibadah agama lain.
Dinamis
Ulum menambahkan, perlu diperhatikan bahwa responden yang mengungkapkan keberatan mayoritas tinggal di lingkungan homogen dan belum pernah bertemu dengan orang lain yang berbeda agama dan suku bangsa. Sifat masyarakat yang dinamis memungkinkan pendapat dan prasangka tersebut bisa berubah.
Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang jadi penanggap hasil survei menekankan, masyarakat jangan terlena dengan suasana yang relatif rukun. Dialog antar-umat beragama dan antar-aliran dalam satu agama harus intensif dilakukan tiap hari.
”Selama ini, Forum Kerukunan Umat Beragama bersikap seperti pemadam kebakaran. Baru tampak kiprahnya jika ada permasalahan,” ujarnya. Ia mengambil contoh peristiwa sengketa antara jemaah masjid dan gereja di Sentani, Papua. Majelis Ulama Indonesia dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia segera turun tangan dan menjernihkan suasana sehingga permasalahan berakhir.
Menurut Azyumardi, hal ini menunjukkan kurangnya komunikasi harian di wilayah tempat sengketa terjadi. Karena itu, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, dan para pendidik hendaknya aktif bersilaturahim secara rutin.
”Masyarakat tak bisa sekadar disuruh rukun. Tokoh-tokoh publik harus menjadi teladan sekaligus mendidik agar masyarakat tidak terpengaruh oleh gejolak politik dan berita-berita bohong,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya memenuhi keadilan sosial karena faktor ketidakadilan merupakan bibit konflik. Apabila masyarakat sejahtera dan terpenuhi layanan dasarnya, mereka tidak akan mudah digiring oleh isu-isu yang memecah-belah persatuan.
Budaya Nusantara
Menurut Azyumardi, budaya masyarakat Nusantara sangat bertenggang rasa dan tidak bersifat etnosentris. Budaya maritim selama berabad-abad membuat masyarakat Nusantara mengenal satu sama lain meskipun berbeda letak tempat tinggal dan suku bangsa. Fakta sejarah ini harus senantiasa diajarkan kepada masyarakat sekarang, terutama generasi muda.
Di samping itu, sejarah membuktikan agama sebagai pemersatu bangsa. “Masyarakat Aceh merasa bersaudara dengan masyarakat Bugis karena sama-sama muslim. Masyarakat Sumatera Utara merasa dekat dengan Sulawesi Utara karena sama-sama Protestan, di samping di dalam wilayah masing-masing juga saling menghargai,” papar Azyumardi.
Ia juga mengemukakan, sebelum Indonesia merdeka, masyarakat barat pesimistis Indonesia dapat bertahan menjadi negara yang utuh karena terlalu majemuk. Mereka beranggapan bahwa kolonialisme yang menyatukan Indonesia.
“Ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka dan kini hampir 73 tahun Indonesia merdeka membuktikan bahwa budaya Nusantara dan Pancasila yang mempersatukan kita,” kata Azyumardi. (DNE)