Merelakan Alam Menjawab
Sekitar 40 persen warga dunia tak mendapat akses terhadap air yang aman dikonsumsi. Sesuai tema Hari Air Sedunia 2018, Alam untuk Air, jawaban atas permasalahan air ada di alam, yaitu dengan memperbaiki keseimbangan alam yang terganggu akibat ulah manusia.
Kali ini PBB menetapkan “Alam untuk Air” sebagai tema Hari Air Sedunia 2018. Tujuannya adalah mengingatkan bahwa jawaban akan permasalahan air sudah ada di alam.
Menyusul pernyataan tersebut muncul pertanyaan: apakah tema “Alam untuk Air”, yang berinduk pada pemikiran dasar: solusi berbasis alam, yang dicanangkan PBB akan tinggal sebagai sekadar slogan pengisi perayaan?
Awal Februari, the Guardian menuliskan, Cape Town, kota terbesar di Afrika Selatan akan mengalami “Day Zero” atau Hari tanpa Air, diperkirakan 16 April 2018, karena pemerintah akan menutup saluran air umum. Warga hanya bisa mengambil air di tempat yang ditetapkan. Prakiraan terus mundur karena warga berhemat. Estimasi terakhir, menurut National Geographic, Day Zero akan terjadi pada 15 Juli mendatang. Warga harus mengantre air di bawah pengawasan ketat.
Dalam laporan PBB, World Water Development Report 2018, yang dirilis 19 Maret lalu, sekitar 40 persen warga dunia (dari sekitar 7,7 miliar warga bumi) tidak mendapat akses terhadap air yang aman dikonsumsi. Sementara setengah juta bayi baru lahir meninggal karena ketiadaan air bersih.
Sementara hutan sebagai tempat produksi air dan penjaga siklus air dalam ekosistem, terus terancam. Sekitar 30 persen luas permukaan bumi berupa hutan. Persoalannya, sekitar 65 persen dari hutan tersebut dalam kondisi buruk. Lapisan antara vegetasi-tanah tak lagi dalam kondisi bagus.
Entah ke mana perginya kesadaran akan pentingnya lapisan itu. Padahal, lapisan tersebut, seperti diuraikan dalam laporan tersebut, merupakan lapisan yang amat krusial sebagai lapisan antarmuka dari air, ekosistem, dan kebutuhan manusia. Kondisi permukaan bumi semakin kering akibat rusaknya hutan.
Sementara pembakaran hutan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan air untuk pertumbuhan vegetasi. Tutupan hutan banyak digantikan tutupan rumput seiring perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi area peternakan seperti terjadi di Brasil.
Tutupan rumput yang digunakan untuk peternakan mengakibatkan lapisan tanah semakin kompak (baca: padat). Hal ini berpengaruh pada kapasitas penyerapan air oleh tanah. Sekitar 7,5 persen padang rumput telah mengalami overgrazing – menjadi area merumput secara berlebihan.
Persoalan air saat ini tak lepas dari perubahan iklim yang dampaknya semakin nyata. Masalah global terkait air akibat perubahan iklim yaitu: di beberapa wilayah kondisi semakin kering, sementara di wilayah-wilayah lainnya kondisinya semakin banyak air. Maka yang muncul adalah bencana terkait iklim: kekeringan, longsor, banjir, badai, dan sebagainya.
Tema Alam untuk Air menjadi pernyataan bahwa solusi masalah air sudah ada di alam. Penyelesaian persoalan yang tak langsung berkaitan dengan air sebenarnya merupakan salah satu cara mengatasi persoalan air. Misal: peningkatan kualitas air dapat dilakukan dengan cara mengurangi polusi, mengolah limbah secara optimal, dan menghindari pembuangan sampah terbuka. Sementara upaya meningkatkan kuantitas air dapat dilakukan dengan panen air hujan dan melakukan praktik pertanian hemat air.
Namun, cara-cara mengatasi masalah air secara global dalam laporan itu tak menunjuk pada pendekatan baru. Tema pembangunan infrastruktur sebagai grey infrastructure tetap dikedepankan. Misal: pembangunan dam dengan membangun koneksi dengan sistem alam seperti tanah rawa, gambut, dan aliran sungai.
Hilang konektivitas
Dalam konteks Indonesia, persoalan air tak sekadar persoalan hilangnya konektivitas antara unsur-unsur dalam ekosistem: tanah-vegetasi dan air, namun telah melangkah ke ranah hak asasi. Komersialisasi air dan perampasan hak publik atas air bersih dan air minum menjadi salah satu penyebab signifikan atas keterbatasan suplai air bersih dan sehat.
Persoalan tersebut menjadi berat ketika regulasi tentang air sebagai hulu persoalan tentang air, dinilai prosesnya tidak transparan. Tanpa transparansi, relasi manusia-alam pun terputus karena air sebagai salah satu unsur alam dipandang sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi.
“Kami minta soal transparansi dari mulai pembahasan sampai seluruh proses yang terjadi di DPR tetap melibatkan publik. Sudah digariskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), air itu harus berada pada domain publik bukan hanya barangnya saja, namun seluruh proses mulai dari perencanaan hingga pengawasannya harus dalam domain publik,” ujar Muhamad Reza dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air.
Masalah air di Indonesia pun tak sejalan dengan prinsip “solusi ada di alam” yang dekat dengan kita, ketika persoalan air dikotak-kotakkan antara air permukaan dan air dalam tanah.
“Selama ini persoalan air terpotong-potong cara mengurusnya. Kita harus melihat bagaimana pemerintah menyelesaikan koordinasinya,” ujar Diana Gultom dari Debtwatch Indonesia. Persoalan air dalam tanah pengurusannya di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sementara air permukaan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Maka seperti semua peringatan hari-hari lainnya, Hari Air Sedunia tak mengubah wajah dunia yang rakus akan sumber daya dan terus secara sistemik menciptakan ketidakadilan. Sementara PBB terus asyik dengan beragam penelitian normatifnya tanpa menyentuh fakta: intervensi manusia terhadap alam telah mengganggu kerja alam. Dalam konteks masalah air, bisa jadi alam tak lagi memiliki jawab atas persoalan air yang kita hadapi saat ini.