PBNU dan Muhammadiyah Perkokoh Komitmen Kebangsaan
Oleh
DD16
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Pusat Muhammadiyah bertemu untuk memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberagaman yang hidup di dalam masyarakat harus disikapi sebagai sebuah keniscayaan.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj mengatakan, pertemuan itu adalah komitmen yang dibuat untuk menjaga keutuhan bangsa di tengah terpaan isu tentang perpecahan. Ia menegaskan, kedua organisasi keagamaan itu menganut pandangan yang sama tentang Indonesia sebagai sebuah negara yang menghargai keberagaman.
”Kita tidak mungkin bisa mencapai cita-cita jika tidak menyamakan orientasi dan cara berpikir kita. Sejak dulu, Muhammadiyah dan NU sepakat bahwa Indonesia ini adalah nation-state. Ini negara yang damai. Bukan negara agama, bukan negara suku,” kata Aqil, seusai pertemuan dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Jakarta, Jumat.
Hal itu pun disepakati Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. ”Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnis, golongan, dan agama yang harus dijaga dalam bingkai persatuan dan kesatuan,” kata Haedar. ”Semangat ini bukan temporer. Kami ingin merajut kebersamaan sehingga bisa menjadi rahmat.”
Dalam menyambut Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, perbedaan pandangan politik di masyarakat dikhawatirkan memecah belah masyarakat. Aqil mengimbau masyarakat agar menyikapi tahun politik itu secara dingin dan menjaga kebersamaan.
”Pada tahun politik ini, sudah seharusnya kita bergandengan tangan,” kata Aqil. ”Pilkada berjalan, pilgub berjalan, NU dan Muhamadiyah ingin membangun ketenangan dan kenyamanan. Tunjukkan Indonesia bangsa yang beradab, bukan bangsa yang main hakim sendiri.”
Menanggapi hal itu, Haedar mengatakan, kebersamaan merupakan karakter masyarakat Indonesia. Sedari awal terbentuknya negara ini didasari oleh adanya perbedaan. Ia menganalogikan dengan serumpun sapu lidi. Meski diikat menjadi satu, gesekan akan tetap ada antarlidi itu jika ditiup angin.
”Tahun politik itu jadi dinamika kita. Mestinya, setelah hampir dua dasawarsa reformasi, kita semakin dewasa dalam bernegara dan jangan kekanak-kanakan,” kata Haedar. ”Tugas Muhammadiyah dan NU adalah membingkai agar tetap ada moralitas, akhlak, dan ada kepentingan bersama di atas kepentingan golongan.”
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan, pertemuan antara kedua organisasi keagamaan ini adalah mimpi panjang dari seluruh elemen agar NU dan Muhammadiyah memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Dialog ini untuk mengokohkan komitmen bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera,” kata Helmy.
Terdapat tiga hal yang mendasari pertemuan antara PBNU dan PP Muhammadiyah. Mereka ingin menyerukan saling tolong-menolong melalui sedekah dan derma, menegakkan kebaikan, dan mengusahakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan.
Pertemuan kedua organisasi itu menghasilkan beberapa pernyataan bersama untuk menjaga kehidupan berbangsa di Indonesia. Pernyataan-pernyataan itu antara lain mengokohkan konsensus tentang Pancasila sebagai dasar negara, berkomitmen dalam meningkatkan taraf kehidupan bangsa, mendorong pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, membangun suasana kondusif dalam masyarakat di tengah era media sosial yang mengancam keberagaman, menyikapi perbedaan dalam tahun politik secara dewasa dan tidak menjadikannya sumber perpecahan.
Aqil mengharapkan agar kerja sama kedua organisasi keagamaan ini tidak sekadar dalam tataran penyemaian perdamaian. ”Semoga kita bisa bekerja sama dalam berbagai bidang, termasuk pada bidang ekonomi,” ujar Aqil.
Menanggapi hal itu, Haedar mengatakan, kesenjangan ekonomi menjadi dasar dari permasalahan dari segala hal, termasuk ekstremisme dan radikalisme. ”Itu jantung konflik. Pemerintah harus memecahkan masalah kesenjangan sosial itu. Harus ada itikad bersama dari semua pihak, termasuk pihak yang perekonomiannya berlebih untuk saling berbagi,” kata Haedar.
Haedar juga mengharapkan agar agenda politik tidak sekadar dijadikan oleh para elite politik untuk melulu meraup kekuasaan. ”Pilpres jangan hanya berebut kursi, tetapi juga bagaimana mewujudkan keadilan sosial,” kata Haedar.