Jakarta,Kompas-Upaya pelestarian air dengan mengedepankan konservasi lingkungan masih menghadapi tantangan berat. Pelestarian air secara alami belum menjadi kebijakan prioritas pemerintah. Di sisi lain, kesadaran masyarakat masih rendah meski ancaman bencana akibat buruknya pengelolaan sumber daya air sudah di depan mata.
Hal itu mengemuka dalam acara Bincang Air yang diselenggarakan Danone-Aqua di Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (23/3/2018). Acara digelar dalam rangka memperingati hari air sedunia yang tahun ini bertema alam untuk air atau Nature for Water.
Dosen dan peneliti tata air dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Nana Mulyana Arifjaya mengatakan banyak cara melestarikan air secara alami. Contohnya, menanam pohon di kawasan hutan yang gundul akibat alih fungsi lahan, dan pembuatan kolam, sumur serta dam resapan air di area tangkapan.
“Selain itu konservasi air secara alami bisa dilakukan dengan membangun pemanen air hujan untuk menampung air hujan agar tidak mengalir langsung ke laut,” kata Nana.
Dalam kerangka konservasi air untuk menjaga kuantitas dan kualitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB bekerja sama dengan Danone-Aqua, produsen air minum dalam kemasan, membangun beberapa infrastruktur dan mengembangkan permodelan Soil Water Analysis Tools (SWAT) di hulu subdaerah aliran air Citatih, Mekarsari, Sukabumi.
SWAT merupakan piranti analisis air dan tanah yang memiliki sejumlah manfaat, diantaranya menyusun strategi perencanaan konservasi yang efektif. Selain itu piranti analisis air dan tanah tersebut bisa untuk merencanakan konservasi sipil teknis sesuai kondisi lahan dan penanaman pohon.
Dengan adanya analisis ini, IPB maupun perusahaan bisa mengalkulasi dampak pengelolaan lahan, seperti menghitung tingkat resapan air kedalam tanah, pengendapan tanah hingga penggunaan bahan kimia dari praktik pertanian. Lebih jauh lagi, metode analisis yang dikembangkan ini mampu memprediksi risiko timbulnya bencana akibat pengelolaan air.
Nana mengatakan 70 persen bumi adalah air. Namun dari 70 persen air itu, 97 persennya merupakan air laut dan hanya 3 persen air tawar. Sebanyak 79 persen air tawar berada di lapisan es. Artinya, 90 persen sumber air tawar ada di Benua Antartika.
Indonesia memiliki air tawar yang melimpah karena memiliki gunung, laut, dan dua musim yakni kemarau serta hujan yang memudahkan terjadinya siklus air. Air laut menguap menjadi awan dan kemudian menjadi hujan yang tumpah ke bumi. Air ditangkap oleh gunung-gunung meresap ke tanah dan tersimpan di celah bebatuan selama bertahun-tahun.
“Indonesia tidak memerlukan alat untuk mengolah air laut menjadi air tawar sebab sumber-sumber air tawar alami banyak tersedia. Di negara lain, butuh investasi besar untuk menghasilkan air tawar,” kata Nana.
Indonesia tidak memerlukan alat untuk mengolah air laut menjadi air tawar sebab sumber-sumber air tawar alami banyak tersedia. Di negara lain, butuh investasi besar untuk menghasilkan air tawar.
Sumur resapan
Namun upaya mengalakkan konservasi air tidak mudah. Di Jakarta, IPB telah membangun lebih dari 800 sumur resapan tahun 2009 dan masih terpelihara dengan baik hingga sekarang. Namun hingga kini, jumlah sumur resapan itu tidak bertambah sehingga semakin tertinggal jauh dibandingkan volume limpasan air hujan yang makin tinggi seiring bertumbuhnya bangunan di Ibu Kota.
Sustainable Development Director Danone Indonesia Karyanto Wibowo mengatakan untuk menjaga kelestarian air pihaknya telah melakukan konservasi di wilayah Mekarsari dan Babakan Sari, Sukabumi, antara lain menanam 580.000 pohon yang tersebar di delapan desa.
Selain itu, pihaknya membuat 40 sumur resapan dengan kapasitas 2.200 meter kubik di tiga desa yakni Pasawahan, Tenjolaya dan Cisaat, Kecamatan Cicurug. Sumur ini untuk mengimbuh sumur-sumur masyarakat agar tidak kekeringan di musim kemarau, mengurangi genangan banjir dan mencegah erosi lapisan permukaan tanah akibat aliran air hujan.