Perusahaan Harus Tanggung Jawab
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan dan pengendalian operasionalisasi taksi dalam jaringan hingga saat ini tidak maksimal karena Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Tidak dalam Trayek belum berlaku.
Padahal, keberadaan peraturan menteri perhubungan (permenhub) itu untuk lebih memberikan jaminan keselamatan dan kenyamanan bagi konsumen pengguna. Keberadaan peraturan itu juga untuk menjamin kesetaraan berusaha bagi taksi konvensional lama ataupun pendatang baru taksi daring.
Untuk itu, perampokan dan pembunuhan terhadap Siska, juga percobaan serupa terhadap ST, dapat menjadi momentum pelaksanaan secara tegas permenhub tersebut. Namun, hingga kini aturan itu belum tegas dilaksanakan karena besarnya penolakan pengemudi taksi daring. Pembuatan SIM A Umum, uji KIR, juga sertifikat kompetensi pengemudi, misalnya, bagi pengemudi taksi daring, menelan biaya terlalu mahal.
Di luar polemik penolakan pengemudi, sejumlah pihak menyatakan, pemerintah harus berani mengambil keputusan menerapkan Permenhub No 108/2017 yang mengatur semua pihak terkait pengoperasian taksi daring.
Ahli transportasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Darmaningtyas, mengatakan, perusahaan operator aplikasi harus dituntut bertanggung jawab secara hukum terhadap kejahatan oleh pengemudi di dalam taksi daring. Sebab, seluruh perekrutan sopir dilakukan perusahaan.
”Pembunuhan itu puncaknya, tetapi ini bukan kejahatan pertama di dalam taksi online karena sebelumnya sudah ada. Jadi bagaimana ini sistem rekrutmen pengemudi yang mereka lakukan? Katanya sudah selektif,” kata Darmaningtyas setelah diskusi yang diselenggarakan MTI soal Permenhub No 108/2017 di Jakarta, Kamis (22/3).
Pembunuhan itu puncaknya, tetapi ini bukan kejahatan pertama di dalam taksi online karena sebelumnya sudah ada.
Hingga kini, data pengemudi dan jumlahnya hanya dimiliki perusahaan operator aplikasi. Pemeriksaan dan pengawasan tak bisa dilakukan pihak lain. Pihak perusahaan pun sulit melacak keberadaan kendaraan atau apakah kendaraan yang digunakan sama dengan yang terdaftar.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, posisi penumpang taksi daring sangat lemah. Dari survei yang pernah dilakukan YLKI, sekitar 41 persen dari lebih kurang 4.500 penumpang taksi daring pernah dikecewakan oleh pelayanan pengemudinya.
Nomor telepon aduan yang bisa dihubungi sewaktu-waktu juga tak tersedia. Hanya ada alamat surel yang tidak efektif saat kondisi darurat terjadi.
Penumpang pun sangat rentan perundungan karena pengemudi mengetahui nama, alamat, dan nomor telepon pribadi pengguna. Hal ini berbeda dengan sistem kerahasiaan identitas penumpang yang sudah diterapkan operator taksi reguler. ”Kalau dikasih rating jelek, bisa digeruduk ke rumah pemesan,” kata Tulus.
Belum siap
Sebelumnya pakar transportasi yang juga bagian dari MTI, Djoko Setijowarno, mengatakan, pemberlakuan permenhub juga terus tertunda karena pemerintah pusat belum siap.
Terkait penyiapan dasbor angkutan daring, misalnya, hingga saat ini pemerintah pusat belum memiliki. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kemarin mengatakan telah ada pembahasan intens antara Dirjen Perhubungan Darat dan dirjen di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sebelumnya, Kementerian Kominfo telah menyerahkan dasbor angkutan sewa khusus, tetapi ada beberapa hal yang masih perlu dioptimalkan.
”Yang kami harapkan dalam dasbor ada nama, identitas kendaraan, juga akunnya, karena ada beberapa akun yang tidak sesuai dengan namanya. Kemudian kami minta real time, jadi satu hari pergerakannya berapa, yang keluar berapa, itu harus ada,” ujar Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi.
Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Kemenhub Hengki Angkasawan menjelaskan, untuk pengawasan dibutuhkan data minimal, seperti nomor kendaraan, merek, nama pengemudi, SIM, ID aplikasi, nama perusahaan, tarif real time, dan info rute perjalanan.
”Pengawasan juga membutuhkan data pengemudi yang disuspend (dibekukan) dan pengemudi yang mendaftar sebelum diterbitkannya Permenhub No 108/2017,” kata Hengki.
Kesiapan perusahaan
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono menambahkan, perusahaan penyedia aplikasi angkutan daring perlu melakukan pertemuan dengan polisi secara periodik untuk merumuskan bagaimana bentuk sistem keamanan, baik bagi pengemudi maupun penumpang. Keduanya sama-sama rentan menjadi obyek kejahatan.
Di Palembang, Sumatera Selatan, umpamanya, pengemudi taksi daring Tri Widyantoro hilang bersama mobilnya dan belum ditemukan hingga 37 hari terakhir. Agustus 2017, Edward Limba dihabisi empat pelaku yang menyamar sebagai penumpang. ”Jangan sampai ini terulang lagi,” ujar Ketua Asosiasi Driver Online Sumsel Yoyon.
Terkait penanganan kasus kriminalitas, PT Go-Jek Indonesia bekerja sama dengan pihak berwajib. Perusahaan menyerahkan penyelesaian kepada penegak hukum. Konsekuensi bagi mitra bermasalah adalah tidak diizinkan bergabung lagi. ”Jadi bukan dilepas tangan, tetapi semua wewenang tentu di pihak berwajib,” ujar Chief Corporate Affairs PT Go-Jek Indonesia Nila Marita.
Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar mengemukakan, Grab memberikan kesempatan kepada pelanggan dan mitra pengemudi menyuarakan pendapatnya melalui fitur Ulasan Perjalanan. Dengan fitur ini, Grab ingin meningkatkan keselamatan dan pengalaman berkendara. ”Jika masyarakat memiliki pengalaman berkendara yang tidak berkenan, kami mohon untuk segera melaporkannya ke pihak berwajib dan layanan konsumen Grab 24 jam di +622180648777 atau support.id@grab.com,” kata Mediko. (IRE/WAD/ARN/MED/RAM/DD09/DD12)