Dulu Memijat Orang, Kini Memijit Tuts
Teknologi seharusnya memberi kemudahan dan membuka peluang yang sama bagi semua. Nyatanya, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, belum sepenuhnya bisa dirasakan warga tunanetra. Di Indonesia, mereka pun umumnya hanya menjadi pengguna saja, belum terlibat dalam perancangan dan pembuatannya.
Jari-jari Jejen Juanda (26) lincah memijat tuts di komputer jinjingnya, mengerjakan apa yang ditugaskan pelatih. Ia adalah salah satu peserta pelatihan untuk pelatih (training of trainer) pemrograman (coding) bagi penyandang tunanetra di Yayasan Mitra Netra (YMN), Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Minggu (18/3).
Setiap tuts dipencetnya berdasar petunjuk suara robot dari piranti lunak pembaca layar (screen reader) yang dipasang pada sistem operasi di komputernya. Sebagai orang yang tidak bisa melihat, suara dari pembaca layar itu membantu Jejen bisa mengoperasikan komputer sama seperti mereka yang tidak memiliki keterbatasan.
Meski suasana ruang kelas cukup ramai, konsentrasi Jejen tidak terganggu. Namun, beberapa kali ia harus memasang penyuara kuping (earphone) di kedua telinganya agar petunjuk suara pembaca layar lebih jelas didengar. “Walau tidak bisa melihat, pendengaran kami lebih sensitif,” katanya.
Saat itu, materi yang diajarkan Prayudi Utomo sebagai pelatih dari PHP Indonesia, kelompok pemogram menggunakan bahasa pemrograman PHP (hypertext preprocessor) adalah pemakaian Google Trends dan Google Keyword Planner untuk membuat artikel. Sejumlah perempuan pemrogram dari FemaleGeek PHP Indonesia turut membantu peserta.
Mengajar pemrograman bagi penyandang disabilitas butuh keterampilan lunak (soft skill) lebih dibanding melatih mereka yang tak punya keterbatasan. “Butuh kesabaran dan cara berkomunikasi yang berbeda karena saya harus bisa menempatkan diri jika dalam kondisi seperti mereka,” kata Prayudi.
Menguasai komputer
Karena pelatihan itu untuk pelatih yang akan mendidik penyandang tunanetra lain, maka pesertanya adalah mereka yang punya keterampilan komputer memadai. Peserta pelatihan itu umumnya menjadi pengajar atau teknisi komputer di sejumlah lembaga, termasuk YMN.
Namun, latar belakang pekerjaan mereka sebelum menjadi seperti sekarang beragam, termasuk menjadi tukang pijat, profesi yang sering diidentikkan dengan penyandang tunanetra.
Sugiyo (50) yang merupakan peserta pelatihan paling senior, sehari-hari bekerja sebagai pengajar komputer dan bahasa Inggris di YMN untuk penyandang tunanetra lain. Sebelum menjadi pengajar penuh, pria yang akrab dipanggil Mas Giyo itu menekuni profesi tukang pijat sejak 1990. Sebagian pelanggannya adalah pejabat.
“Saya tak malu mengakuinya. Selagi ada kemampuan dan bisa mengatur waktu mengajar, mengapa tidak,” katanya.
Namun kecelakaan lalu lintas pada 2007 membuatnya memutuskan fokus mengajar komputer untuk tunanetra. Materi yang diajarkan pun beragam mulai dari program Microsoft Office, internet hingga pemrograman. Jika dulu jemarinya lincah memijat orang, kini jari-jari itu lentur memijit tuts papan ketik (keyboard).
Meski sudah cukup menguasai komputer, para peserta pelatihan ingin terus maju. Cita-cita mereka sama, ingin membuat aplikasi yang berguna untuk masyarakat umum, namun tetap bisa diakses penuh oleh penyandang tunanetra.
Belum inklusif
Selama ini, banyak aplikasi sulit diakses secara penuh oleh mereka yang punya keterbatasan penglihatan. Meski aplikasi itu diklaim pembuatnya ramah terhadap tunanetra, nyatanya banyak penyandang tunanetra tetap sulit mengaksesnya.
Pembeda utama komputer atau gawai yang digunakan warga tunanetra dibanding komputer biasa adalah adanya piranti lunak pembaca layar yang akan mengeluarkan suara untuk melafalkan setiap teks yang muncul di layar atau tombol di papan ketik yang dipijit. Komputer untuk tunanetra tidak menggunakan tetikus (mouse).
Karena mengandalkan pembaca layar, desain sebuah aplikasi akan sangat menentukan apakah pembaca layar bisa membacanya atau tidak. Sayangnya, hampir semua aplikasi yang ada saat ini tidak bisa dibaca pembaca layar secara utuh hingga tidak bisa diakses warga tunanetra secara penuh.
“Aplikasi harus accesible (bisa diakses) bagi tunanetra hingga mereka tidak makin terpinggirkan,” kata Kepala Bagian Humas YMN Aria Indrawati.
Salah satu aplikasi yang sering digunakan warga tunanetra adalah ojek daring. Suryo Pramono (36) pengajar komputer bicara di YMN yang juga peserta pelatihan mengatakan desain aplikasi yang tak ramah membuat penyandang tunanetra seringkali sulit mengetahui besaran ongkos, nama dan nomor kendaraan pengemudi, atau memberi nilai bagi pengemudi.
Situs berita pun banyak yang tidak ramah. Pembaca layar sulit berfungsi saat muncul teks berjalan, iklan yang ada di antara paragraf, atau iklan sembulan (pop up advertisement).
Demikian pula saat menggunakan perbankan internet (internet banking) atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Belum semua fitur dalam aplikasi itu bisa diakses penyandang tunanetra hingga mereka harus meminta tolong orang lain yang bisa memunculkan persoalan baru terkait keamanan dan keselamatan pengguna.
“Pembuat software (piranti lunak) belum menyadari sepenuhnya bahwa produknya akan diakses semua kalangan,” kata Aris Yohannes Elean (33), peserta pelatihan lain yang juga teknisi teknologi informasi honorer di Sekolah Luar Biasa A Pembina Jakarta.
Meski banyak keterbatasan, hadirnya berbagai aplikasi sebenarnya sangat memudahkan warga tunanetra. Hadirnya buku elektronik, belanja daring hingga pengecek jadwal bus Transjakarta benar-benar memudahkan aktivitas mereka.
Di luar persoalan teknis, pandangan sebelah mata terhadap warga tunanetra sering membuat mereka harus ekstra sabar saat memakai aplikasi. Saat memesan ojek daring, seringkali pengemudi membatalkan pesanan dengan berbagai alasan saat tahu kondisi penumpangnya.
Terkadang, ada pula pengemudi yang membawa penumpang menempuh rute berputar-putar hingga ongkosnya berlipat ganda. Padahal, meski tak bisa melihat, mereka sangat peka dengan kondisi jalan. “Ada pula pengemudi yang bertanya, siapa yang bayar? Padahal jelas saya yang memesan,” kata Jejen.
Persoalan lain, uang kertas Negara Kesatuan Republik Indonesia edisi terbaru juga belum sepenuhnya ramah bagi tunanetra. “Uang tersebut memang ada tanda khususnya. Namun saat uang lecek, tanda itu tak bisa diraba,” tambah Suryo.
Warga tunanetra menilai uang rupiah di masa Orde Baru lebih ramah. Saat itu, setiap besaran nominal uang punya ukuran kertas berbeda hingga mudah diidentifikasi orang dengan keterbatasan penglihatan. Saat ini, sebenarnya ada aplikasi yang bisa mengidentifikasi besaran nominal uang.
“Uang NKRI juga tak bisa dibaca oleh beberapa aplikasi pembaca uang,” tambah Jejen.
Kesempatan
Berbagai persoalan itu tak membuat penyandang tunanetra mundur. Kondisi yang tak mendukung dan mendiskriminasi itu justru memancing mereka untuk terus berusaha, termasuk membuat aplikasi yang ramah sepenuhnya bagi mereka yang memiliki penglihatan terbatas.
Untuk mewujudkan itu, para peserta tak mau tanggung-tanggung. Selain mengikuti pelatihan pemrograman di YMN yang sudah berjalan lebih dari setahun, Jejen, Sugiyo dan Aris sudah setahun ini kuliah di Jurusan Teknik Informatika Universitas Pamulang, Tangerang Selatan.
Bagi warga tunanetra Indonesia, kuliah di jurusan teknik adalah kesempatan langka. Selama ini, jurusan teknik menyaratkan calon mahasiswanya bisa melihat, tak buta warna dan berasal dari jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) saat SMA.
Atas usaha sejumlah relawan, kendala itu bisa diatasi hingga warga tunanetra bisa kuliah bersama orang yang tak punya keterbasan penglihatan di jurusan teknik. “Kalau di luar negeri, sudah banyak tunanetra yang bekerja sebagai programmer (pemogram komputer),” kata Aris.
Keterbatasan penyandang tunanetra seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menghambat mereka berkembang. Ketua YMN Bambang Basuki menilai dengan keterampilan yang dimiliki, "Penyandang tunanetra yang selama ini dianggap beban bisa dimanfaatkan sebagai aset bangsa, " katanya.
Namun usaha mewujudkan tunanetra berkualitas yang bisa jadi aset bangsa itu tidak mudah karena kesempatan dan kebijakan untuk mengakomodasi mereka belum berjalan penuh. Padahal, pemberian kesempatan yang sama bagi warga tunanetra akan berdampak ganda, meningkatkan kualitas penyandang tunanetra dan memperbaiki pandangan masyarakat.
“Orang makin respek terhadap diri saya yang sekarang (menguasai komputer)," kata Giyo.