Andai Golkar Dorong Airlangga Dampingi Jokowi
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto digadang-gadang oleh para kader untuk mendampingi Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2019. Dukungan kepada Airlangga untuk mendampingi Jokowi memuncak saat Rapat Kerja Nasional Partai Golkar 2018, 22-23 Maret 2018, di Hotel Sultan.
Tersirat, para pengurus penting, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Agung Laksono, dan Aburizal Bakrie, menyatakan, Ketum Golkar itu adalah sosok tepat untuk menjadi cawapres Jokowi.
Meski begitu, kapabilitasnya untuk mendampingi Jokowi dari sisi keterpilihan dan kemampuan masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang.
Saat menghadiri Rakernas Golkar, Kamis (22/3), Kalla yang memegang tongkat estafet kursi Wapres itu mensyaratkan dua hal bagi kader Golkar untuk menggantikannya mendampingi Jokowi.
Pertama, harus mampu meningkatkan jumlah keterpilihan. Kedua, mempunyai kemampuan untuk membantu pekerjaan Presiden.
Di beberapa lembaga survei seperti Populi Center dan Alvara Research Center, nama Menteri Perindustrian itu bahkan tidak masuk dalam bursa cawapres. Tampaknya, syarat pertama yang disebut Kalla berat bagi Airlangga.
Hanya survei Poltracking yang memunculkan nama Airlangga. Itu pun elektabilitasnya hanya 0,1 persen saat disurvei menggunakan pertanyaan terbuka. Airlangga berada di urutan ke-25, di bawah kader Golkar lainnya, seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang mendapatkan 0,2 persen.
Elektabilitas rendah itu, dilihat Manajer Riset Poltracking Faisal Kamil, dapat membahayakan posisi Jokowi. Pertarungan dua nama, Jokowi dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto masih akan sengit. Dalam survei, jarak elektabilitas keduanya hanya berbeda 23 persen saat berhadapan langsung.
”Jokowi masih membutuhkan cawapres untuk meningkatkan elektabilitasnya. Saya kira elektabilitas Jokowi belum aman. Apalagi, ketika berhadapan langsung dengan Prabowo. Ini hal yang perlu dicermati karena Prabowo masih punya peluang, masih begitu kuat,” kata Faisal.
Dalam survei Populi Maret 2018, terjadi anomali saat Jokowi dipasangkan dengan Airlangga. Elektabilitas mantan Wali Kota Solo itu yang sudah tinggi justru turun ketika dipasangkan dengan Airlangga.
Ketika hanya dua tokoh, Jokowi mendapatkan 62,8 persen. Namun, saat berpasangan dengan Airlangga, elektabilitasnya menjadi 54,3 persen. Bukannya meningkat, segelintir pemilih sebelumnya berpindah menjadi tidak tahu atau tidak menjawab.
”Dari hasil survei ketika mereka berdua dipasang, belum tinggi. Secara personal Jokowi tinggi, kalau dipasangkan cawapres itu malah turun. Menandakan belum bisa mendongkrak saat berpasangan,” kata Hartanto Rosojati,peneliti Populi Center.
Mesin politik
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai faktor cawapres tidak memengaruhi kemenangan pada Pilpres 2019. Semua itu bergantung pada elektabilitas dan ketokohan Jokowi yang sudah sangat tinggi dan kuat.
”Kalau kita lihat survei, tidak ada satu nama pun yang bisa mengangkat Jokowi. Dia sangat tinggi karena faktor Jokowi dan kinerjanya sendiri, kok. Rata-rata nama (cawapres) itu hanya nebeng,” kata Yunarto pada Rakernas Golkar, Jumat (23/3).
Sementara itu, dalam survei Alvara Februari 2018, posisi Jokowi cenderung aman untuk memilih cawapres. Jokowi mendapatkan elektabilitas di atas 50 persen saat dipasangkan dengan siapa pun.
Diucapkan Direktur Alvara Hasanudin Ali, Ketum Golkar itu sulit untuk menarik suara dengan perseorangan. Akan tetapi, Airlangga dengan Golkar-nya bisa menjadi mesin politik yang solid di Indonesia timur.
”Kalau kita lihat, Golkar itu kuat di Indonesia timur, seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Itu bisa dimanfaatkan sebagai mesin politik Jokowi untuk menarik suara di bagian timur,” tutur Ali.
Meskipun Airlangga lahir di Pulau Jawa, tidak seperti Kalla yang berasal dari Pulau Sulawesi, hal itu tidak berpengaruh banyak. Sebab, pemilih Golkar secara tradisional memang kuat di daerah-daerah tersebut.
Selain itu, modal politik Golkar pun kuat. Partai yang identik dengan warna kuning itu merupakan pemenang kedua Pemilu 2014. Dalam beberapa survei, Golkar diperkirakan masih akan menjadi tiga besar pada Pemilu 2019.
Kehadiran Airlangga akan membuat posisi Jokowi nyaman di parlemen. Dua parpol terbesar, Golkar dan PDI-P yang merupakan partai Jokowi, dapat menyokong penuh jalannya roda pemerintahan.
Hal tersebut sudah terbukti pada Periode 2014-2019. Kehadiran Golkar melalui Kalla membuat keinginan pemerintah nyaris sejalan dengan parlemen.
Faktor itu dimunculkan dengan jumlah kursi gabungan Golkar dan PDI-P di parlemen yang mencapai 200 kursi dari total 560 kursi. Ditambah, Ketua DPR berasal dari partai berlogo pohon beringin itu.
”Ini permasalahan lima tahun ke depan setelah terpilih. Faktor manajemen pemerintahan bisa dibangun melalui kekuatan parlemen yang akan dipengaruhi oleh hasil pemilu. Itu yang menurut saya harus diperhitungkan,” kata Yunarto.
Jual pribadi
Dalam memilih pasangan, kata Yunarto, faktor kecocokan dan loyalitas harus diutamakan Jokowi. Faktor tersebut terlihat pada diri Airlangga, yang merupakan pembagian dari sosok teknokrat dan politisi.
”Dia bukan sosok seperti Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan yang memiliki modal elektoral. Namun, kemampuan teknokrat yang dimiliki Airlangga perlu dipertimbangkan. Pertanyaannya, apakah ketika dibedah, dia bisa memiliki kecocokan dan apakah bisa dianggap memiliki loyalitas dan ikut membantu pemerintah Jokowi,” ucap Yunarto.
Hal tersebut perlu diantisipasi untuk menghidari hadirnya matahari kembar dan pecah kongsi saat pemerintahan berjalan. Keretakan dalam pemerintahan pernah terjadi saat masa jabatan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Kalla pada periode 2004-2009, yang berujung pada terpisahnya pasangan ini pada Pilpres 2009.
Lebih dari itu, Airlangga memiliki kemampuan ekonomi yang bisa mendukung Jokowi. Dia merupakan pengusaha sukses dan lulusan master bisnis dan manajemen di Australia.
Menurut Ali, latar belakang ekonomi itu memiliki nilai tambah untuk pemerintahan mendatang. Apalagi, kondisi ekonomi pada era Jokowi-Kalla kurang baik. Dalam survei Alvara, ekonomi menjadi sektor dengan kepuasaan publik terendah.
”Dalam berbagai survei, titik lemah pemerintah saat ini dari sisi ekonomi, baik itu lapangan pekerjaan maupun tingkat kemiskinan. Karena itu, butuh sosok panglima untuk memperbaiki kinerja ekonomi,” kata Ali.
Ali menilai, kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki Airlangga sudah lebih cukup untuk mengatasi persoalan ekonomi. Seorang pengusaha pasti memahami seluk-beluk mikroekonomi, yang mana dapat membantu menyelesaikan masalah kemiskinan.
Kinerja Airlangga pun cukup baik sejak diangkat menjadi Menteri Perindustrian pada pertengahan 2016. Tingkat kepuasan publik Menteri Perindustrian itu mencapai 79,5 persen.
Kepuasan itu berada di atas beberapa menteri lain yang diangkat bersamaan saat kocok ulang jilid 2, seperti Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo.
Juga, di atas Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono yang sudah menjabat sejak awal masa Kabinet Kerja.
Keberanian diuji
Syarat untuk mendampingi Jokowi sudah cukup kuat. Persoalan selanjutnya adalah Golkar dan Airlangga. Keberanian itu diuji untuk masuk ke wilayah pertarungan cawapres yang sedang direbutkan parpol pengusung Jokowi dan yang belum menentukan arah.
Parpol pengusung yang memulai menawarkan calonnya, seperti PPP mengajukan Ketumnya Romahurmuziy atau Rommy.
Sementara itu, parpol yang belum menentukan arah juga menawarkan cawapres, seperti PKB mengajukan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Partai Demokrat mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono, dan PAN mengajukan Zulkifli Hasan.
”Apakah Golkar dengan Airlangga berani masuk wilayah itu, atau hanya menjadi pengekor? Karena Golkar ini lebih alon-alon asal kelakon, tidak segesit parpol lain. Padahal partai ini adalah kedua terbesar dan pendukung koalisi yang logikanya berhak untuk bertarung memperebutkan cawapres,” kata Yunarto.
Faisal mengatakan, Golkar tidak perlu takut mengenai elektabilitas Airlangga. Elektabilitas itu bisa dikerek dengan berbagai strategi. Salah satunya cara darat dengan pemasangan alat peraga untuk mempromosikan calon, seperti yang sudah dilakukan Rommy dan Cak Imin.
Pemasangan alat peraga itu terbukti efektif mengerek elektabilitas Cak Imin. Survei Poltracking memperlihatakan, Cak Imin berada dalam enam besar cawapres dengan elektabilitas tertinggi. Padahal, sebelumnya dia belum masuk ke dalam bursa.
Masalah internal
Masalah lainnya, pengurus Golkar belum satu suara saat rakernas digelar. Mereka belum menentukan, mengusung cawapres atau tidak, menjadikan Airlangga wakil dari Golkar atau tidak.
Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono menyatakan, cawapres adalah harga mati untuk Golkar.
”Yah, paling tidak seperti itu (harus mengusung cawapres). Tentu diharapkan sekali dukungan dari Golkar itu dipertimbangkan agar cawapresnya berasal dari kader Golkar,” katanya, saat Rakernas, Jumat (23/3).
Lain yang diucapkan, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung. Dia menyerahkan kepada Jokowi terkait pendamping yang akan dipilih untuk Pemilu 2019.
”Itu, kan, semua (keputusan) pada akhirnya ada pada beliau (Jokowi),” ucapnya.
Airlangga sendiri tidak mau berkomentar mengenai peluang Golkar mengusung cawapres. Dia mengatakan, Rakernas ini diadakan untuk membangun soliditas kader dalam memenangi Pileg 2019.
Sementara itu, dukungan Aburizal dan Akbar merujuk pada satu nama, Airlangga. Di lain sisi, meskipun menyatakan Airlangga sosok yang tepat, Agung dan Kalla belum merujuk pada Airlangga. Agung dan Kalla masih membuka peluang bagi kader lain untuk bisa maju.
Perbedaan pendapat ini dapat menjadi simbol bahaya bagi Golkar. Ada peluang terjadinya kembali perpecahan suara di pengurus Golkar jelang pemilu, seperti pada 2009 dan 2014.
Pada 2014, Golkar terbelah menjadi dua. Parpol mereka mendukung Prabowo sebagai presiden. Namun, dari dalam partai, banyak yang berpindah dan menyatakan dukungan kepada Kalla yang saat itu menjadi cawapres Jokowi.
”Saya melihat betul, partai ini paling mungkin bergerak ke mana pun, paling jago berselancar dan sering kali mengambil keputusan di akhir,” ucap Yunarto.
Meski demikian, pada Pemilu 2019 ini, Yunarto meyakini Golkar tidak akan berpaling dari Jokowi. Apalagi, Jokowi saat ini masih memiliki survei tertinggi dan berpeluang besar memenangi pilpres.
”Golkar itu lebih menikmati ikut dengan kekuasaan. Mereka akan berpikir 100 kali untuk pindah dari Jokowi. Golkar cenderung ikut pada siapa yang menang karena mereka tidak terbiasa hidup di luar kekuasaan,” kata Yunarto.
Sejarah pun berkata demikian, Golkar sejatinya selalu berada dalam lingkar kekuasaan. Hal itu terlihat pula dari tren wapres, yang sejak berdirinya Indonesia, 6 dari 11 wapres berasal dari Golongan Karya. Bahkan tongkat estafet terakhir masih dipegang kadernya, Kalla.
Tentunya, pencalonan cawapres dari Partai ”Pohon Beringin” itu masih menjadi teka-teki. Meskipun pertanyaan pada kapabilitas Airlangga sudah terjawab, masih tersisa tanda tanya besar pada keberanian sang pengurus.