Seni merupakan aktivitas berekspresi tanpa batas. Melalui seni, seseorang bisa melepaskan dan mengurangi beban jiwa tanpa tuntutan apa pun. Berangkat dari konsep itulah, 28 perupa perempuan berkolaborasi bersama dalam pameran seni rupa bertajuk ”Touch of Love” di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, 23 Maret-7 April 2018.
Dari seluruh perupa tersebut, terdapat perupa asal Vietnam, Nguyen Thi Kim Phuong, perupa berusia 8 tahun Carolina Bhanurasmi Virginia Taylor bersama dengan ibunya, Niluh Sudarti, dan sejumlah perupa lain, antara lain Mona Palma, Iin Kersen, Joyce Jozefa Widjaja, Padma Danti Umayi, Mulyani, dan Linda Yap.
Pameran ini menampilkan karya seni lukis atas pengalaman batin para perempuan ini. Perupa yang tergabung dalam pameran ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mengungkapkan ekspresi pribadi yang menjadi pupuk jiwa masing-masing dari mereka.
Seni yang dihasilkan lebih berarti ketika melalui proses, karya, dan wujud pameran dapat memuaskan diri manusia. Kepuasan ini menjadi bagian dari humanisasi diri, baik sebagai terapi, ekspresi, rekreasi, maupun edukasi. Sementara fungsi ekonomis lebih menjadi bonus yang menyertai.
”Sebagian dari mereka mengekspresikan pengalaman batinnya sebagai ungkapan yang ikhlas tanpa beban. Hasil karya dengan perhitungan teknik dan skill tidak menjadi tujuan utama dalam pameran ini, tetapi lebih pada ekspresi atas makna kebebasan, kegembiraan, kesedihan, keprihatinan, atau apa pun yang berkecamuk dalam jiwa dan pikiran,” tutur Timbul Raharjo, perupa patung dan kriya yang juga menjadi kurator dalam pameran ini.
Seperti dalam karya Mona Palma, karya lukisannya ingin menggambarkan perjalanan cinta manusia yang berproses. Melalui gambar bunga dan rerumputan berwarna cerah di bagian bawah dan warna lebih tua di bagian atas, ia membatasi dengan warna hitam di bagian tengahnya. Mona ingin mengungkapkan hidup dimulai dari keriaan dan ego. Kemudian hidup berjalan melewati ketidaknyamanan dan penuh ketempaan yang ia gambarkan dalam padang semak belukar.
Proses itu akan menuju titik nadir di ruang gelap dan bergeming hingga akhirnya hidup kembali dan berjalan dengan cara berbeda. ”Lepas, ikhlas, serta mengambil jarak terhadap emosi, ego, dan kemelekatan. Jiwa akan tumbuh menuju cinta yang tanpa syarat,” ungkap Mona.
Ekspresi berbeda digambarkan dalam karya Carolina. Ibunya, Niluh, mengatakan, Carolina sering menemani ketika dirinya bermeditasi. Saat itulah, Carolina menggambar sosok ibunya. Dalam lukisan karya Carolina, terlihat seorang wanita dengan mata terpejam duduk bersila. Terdapat banyak bunga di sekeliling tubuh wanita itu.
”Carolina bertanya seusai saya bermeditasi, ’Apa perasaanmu, Mom?’ Saya jawab, ’Saya merasa senang.’ Dari situ itu menggambar banyak bunga di sekeliling tubuh saya dalam lukisannya,” kata Niluh.
Kebersamaan
Menurut Timbul, bingkai kuratorial pameran ini bukan menjadi otorita kurator semata. Pameran bersama seperti ini memiliki resistensi dalam memilih karya yang disajikan, sedangkan kurator lebih banyak membungkus pameran atas materi yang sudah ada.
”Saya sebut ini sebagai kuratorial dengan autokurasi dengan arti arah dan tujuan dirumuskan dalam kebersamaan dalam kelompok,” ucapnya.
Ariana Restu Handari, pelukis yang juga menjadi penyelenggara pameran ini, berharap, melalui hasil karyanya, para perupa dapat menyajikan keberagaman yang mewakili nuansa daerah dan budaya Indonesia. Secara lebih jauh, para perupa bisa menghadirkan bukti kasih sayang terhadap alam serta makhluk hidup yang bertujuan agar semakin guyub menuju satu kesatuan dan kebersamaan.