JAKARTA, KOMPAS – Pertumbuhan penerimaan pendapatan negara dari sektor pajak yang terus menurun selama tiga tahun terakhir dikhawatirkan tidak mampu memenuhi target penerimaan pajak di tahun 2018. Sektor ekonomi baru yang kini tumbuh tinggi, namun belum dipajaki akan dijadikan pertimbangan dalam perumusan aturan baru perpajakan.
“Ada dua kemungkinan melihat fakta perpajakan di Indonesia, pertama semakin banyak potensi ekonomi baru belum dipajaki, apakah elektronik, e-commerce, dan lain-lain. Kedua, kapasitas institusi pajaknya yang rendah,” tutur Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI-P Andreas Susetyo dalam diskusi “Mencapai Kebijakan Pajak yang Berkeadilan dan Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Vox Point Indonesia di Jakarta, Jumat (23/3).
Susetyo menyoroti, pertumbuhan pajak di Indonesia yang menurun selama tiga tahun terakhir. Pada 2015 pertumbuhan realisasi penerimaan pajak sebesar 7,6 persen dibanding tahun 2014, pada tahun 2016 pertumbuhannya hanya 4,26 persen, dan pada tahun 2017 pertumbuhannya 4,08 persen. Ia juga mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, penerimaan pajak tidak pernah mencapai target.
“Yang menarik pada tahun 2018 realisasi penerimaan pajak ditargetkan Rp 1.424 triliun, atau naik 24 persen dari tahun 2017. Memang, Ditjen (Direktorat Jenderal Pajak) bisa saja mengatakan ada aturan baru terkait Automatic Exchange of Information (AEoI) dan tindak lanjut dari tax amnesty (pengampunan pajak) yang dapat menggenjot penerimaan pajak tahun ini. Akan tetapi, itu perlu dijelaskan lebih lanjut kepada masyarakat luas,” ujar Susetyo.
Susetyo menyampaikan, rata – rata pertumbuhan penerimaan pajak dalam tiga tahun terakhir hanya 5,3 persen. Itu lebih rendah daripada pertumbuhan alami, atau pertumbuhan yang dihitung dari pertumbuhan ekonomi ditambah pertumbuhan inflasi. Rata – rata pertumbuhan alami dalam tiga tahun terakhir, yaitu 8,28 persen.
Menurut Susetyo banyak sektor-sektor ekonomi baru yang tumbuh tinggi, namun belum dikenakan pajak, antara lain sektor e-commerce, hiburan, dan restoran (leisure). Hal itu nantinya akan dirumuskan dalam revisi UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang kini tengah dibahas di DPR.
Meski begitu, Susetyo menilai, revisi UU tersebut dapat dibahas secara efektif pascaperhelatan pemilihan kepala daerah serentak di bulan Juni 2018. “Tentunya banyak perhatian kami (anggota DPR) yang tertuju ke pilkada,” ujar Susetyo.
Selain sektor ekonomi baru yang akan dipajaki, menurut Susetyo, salah satu hal yang dibahas dalam revisi UU KUP ialah pembentukan badan perpajakan yang akan dinaikan setingkat kementerian. Hal itu dinilai, akan meningkatkan kapasitas institusi pajak.
“Pajak itu kan information keep (menjaga informasi). Orang di luar negeri kenapa taat membayar pajak? Mereka tidak bisa bermain – main karena otoritas pajaknya mengetahui semua informasi yang bersangkutan (wajib pajak). Mudah – mudahan dengan AeoI ini, di mana data finansial diberikan ke otoritas pajak bisa membuat institusi pajak semakin memiliki kapasitas untuk meningkatkan ketaatan pajak,” kata Susetyo.
Semakin patuh
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengakui, pertumbuhan penerimaan pajak yang semakin menurun disebabkan oleh masih rendahnya kapasitas institusi pajak. Selain itu, masyarakat sebagai wajib pajak juga masih banyak yang bersikap resisten dan menghindari pajak.
Hestu menyambut baik adanya UU No.9 Tahun 2017 tentang AeoI. Menurut Hestu, kebijakan tersebut dapat meningkatkan jumlah wajib pajak yang selama ini banyak yang menghindar atau bersembunyi untuk tidak membayar pajak.
Selain itu, Hestu menyampaikan, program tax amnesty yang diberlakukan pemerintah membuat para wajib pajak semakin patuh membayarkan pajaknya.
Pemerintah menggelar pengampunan pajak selama sembilan bulan, mulai 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017. Program ini diikuti oleh 965.983 peserta pribadi dan badan. Total deklarasi dana mencapai Rp 4.866 triliun. Adapun uang tebusannya adalah Rp 114 triliun. (Kompas, 14/3)
“Kami punya bukti bahwa peserta tax amnesty secara rata-rata memang membayar pajak dengan lebih baik. Tahun 2017, Pph OP (individu pengusaha) naik 46 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bulan – bulan ini kami juga amati wajib pajak yang ikut tax amnesty khususnya para pengusaha besar, mereka membayar pajak lebih tinggi dari yang sebelumnya,” kata Hestu.
Ihwal target penerimaan pajak tahun ini, Hestu optimis dapat mencapainya. Selain adanya AEOI dan tindak lanjut dari tax amnesty, harga komoditas seperti minyak, batubara, dan komoditas lain yang kini tengah naik dinilai Hestu dapat meningkatkan penerimaan pajak negara.
“Sampai dengan Februari 2018, pertumbuhan penerimaan pajak, 15 persen lebih baik dibandingkan tahun lalu,” tutur Hestu.
Kepastian hukum
Sementara itu, Stevanus Tianadi, anggota Himpunan Industri Mebel Indonesia menyampaikan, turunnya pertumbuhan penerimaan negara dari sektor pajak dalam tiga tahun terakhir disebabkan oleh daya beli masyarakat yang menurun di sektor konsumsi. Banyak sektor baru, seperti wisata yang kini tumbuh sangat pesat.
Selain itu, banyaknya pengusaha yang belum taat pajak disebabkan oleh ketidakpercayaan kepada lembaga pajak. “Kami itu mau bayar pajak, tetapi butuh kepastian hukum. Setelah tax amnesty katanya ada penurunan tax rate, itu kapan? Jangan terlalu lama, kami pebisnis itu membutuhkan kecepatan,” ujar Stevanus.
Stevanus juga menyampaikan, salah satu penyebab pengusaha menaruh uang di luar negeri, karena nilai tukar rupiah yang dinilainya sangat fluktuatif. “Ini sangat menyusahkan kalau kami impor, bisa kehilangan 10-15 persen keuntungan dalam setahun karena fluktuasi rupiah ini. Apalagi saat ini tengah menurun,” ujar Stevanus.
Meski begitu, Stevanus mengapresiasi kebijakan perpajakan Indonesia saat ini yang lebih baik dibanding 5-10 tahun yang lalu. Namun demikian, kepastian hukum dinilai hal utama yang perlu dibenahi agar para pengusaha memiliki kepercayaan terhadap institusi pajak.