Sopir Berbuat Curang demi Dapat Tambahan Uang
Usia yang sudah mencapai kepala enam tidak menghalangi UR untuk terus mencari uang. Tangannya yang sudah mulai keriput masih kuat menggenggam setir mobil dan mengarahkannya berkeliling Jakarta, Bogor, bahkan Karawang setiap hari. Meski kepalanya sudah dipenuhi uban, kemampuan konsentrasinya dalam mengemudi pun tak luntur.
”Saya sudah berkomitmen untuk mempertahankan sekolah yang sudah saya bangun,” ujar UR sambil terus memandang ke jalan dari kursi pengemudi saat mobilnya melaju dari Masjid Istiqlal menuju mal Gandaria City, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Karyawan perusahaan minyak itu sudah pensiun sejak lima tahun lalu lalu. Berbekal pengetahuan agama ihwal ibadah yang tak pernah putus, ia pun mendirikan sebuah taman kanak-kanak di rumahnya di Jakarta Selatan, tiga tahun setelahnya. Pada masa awal, operasional sekolah berjalan lancar. Namun, memasuki tahun 2017, membiayai sekolah yang memiliki 30 murid dengan 11 karyawan terasa amat berat.
”Apa pun saya lakukan agar sekolah itu tidak berhenti. Tidak masalah saya harus menjadi sopir taksi daring meskipun di pekerjaan saya yang lama, saya justru disopiri orang,” kata UR. Beriringan dengan kalimat tegasnya, ia pun tersenyum.
Tidak masalah saya harus menjadi sopir taksi daring meskipun di pekerjaan saya yang lama, saya justru disopiri orang.
Ayah lima anak dan kakek 10 cucu itu menuturkan, dirinya mulai bekerja sebagai sopir taksi daring tujuh bulan lalu. Ia mendaftar pada perusahaan taksi daring Go-Jek pada layanan Go-Car secara daring pula.
Menurut UR, pendaftarannya mudah. Cukup mengisi data pada aplikasi yang disediakan serta mengunggah foto surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), surat tanda nomor kendaraan (STNK), surat izin mengemudi (SIM) A Umum, dan kartu tanda penduduk (KTP).
Setelah itu, ia membawa mobil Toyota Agya tersebut untuk mengikuti ujian kelaikan kendaraan atau uji kir. ”Mobil saya sudah diberi tanda khusus oleh petugas uji kir, yaitu diketok di bagian roda,” ujarnya.
Belum lama menjadi sopir Go-Car, UR merasa kurang cocok. Jenis layanan dan mekanisme pemberian bonus yang diterapkan perusahaan itu tak mampu ia raih. Ia pun mendaftar ke perusahaan taksi daring lainnya, yaitu Grab dan Uber.
Serupa dengan Go-Car, perekrutan pada kedua perusahaan itu pun mudah dan cepat. ”Setelah mengunggah dokumen-dokumen, saya sudah boleh narik,” lanjut UR.
Kepemilikan akun pada tiga perusahaan itu membuat UR lebih fleksibel dalam mencari uang. Ia bisa memantau pesanan penumpang dari tiga aplikasi daring secara bersamaan. Pesanan penumpang dengan lokasi terdekat dan jarak tujuan terjauh, itulah yang UR pilih.
Jarak yang lebih jauh tetapi berada dalam jalur lancar lebih menyenangkan baginya ketimbang jarak dekat pada jalur macet. Selain itu, jarak jauh tentunya mematok ongkos yang lebih tinggi ketimbang jarak dekat.
”Saya paling sering mengantar penumpang ke Bandara Soekarno-Hatta,” katanya sambil terkekeh. Ia menertawai dirinya sendiri yang melanggar peraturan taksi daring tidak boleh mengantar atau menjemput penumpang di bandara. Kucing-kucingan dengan petugas pemeriksa lalu lintas bandara pun sudah jadi kegiatannya sehari-hari.
Beberapa peraturan lain juga ditabrak oleh UR. Di mobilnya tidak ada penanda apa pun yang bisa mencirikan identitas taksi daring. Kaca depan dan belakang mobilnya mulus, tidak tertempel stiker informasi. Di dasbor tidak ada identitas dirinya sebagai pengemudi.
Dalam Pasal 27 Ayat (1) d Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, disebutkan bahwa taksi daring wajib menunjukkan beberapa informasi terkait identitas. Pada kaca depan kanan atas dan belakang semestinya ditempel stiker yang memuat informasi wilayah operasi, tahun penerbitan kartu pengawasan, nama dan badan hukum, serta latar belakang logo Perhubungan.
Selain itu, pada Pasal 27 Ayat (1) e, identitas pengemudi wajib ditempatkan di dasbor. Pasal 27 Ayat (1) g pun menyebutkan bahwa nomor telepon pengaduan harus ditempelkan di dalam kendaraan, di bagian yang mudah terbaca oleh pengguna jasa.
Pemandangan serupa tampak pada Toyota Avanza milik Zo (33), sopir taksi daring Go-Car. Alih-alih memperlihatkan identitas taksi daring, kaca belakang mobilnya justru penuh ditempeli stiker iklan laman belanja daring.
Di samping tak memiliki identitas, Zo yang sudah menjadi sopir taksi daring sejak 2015 tidak pernah melakukan uji kir. Syarat melakukan uji kir tertera dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Di Go-Car tidak ada kewajiban untuk uji kir, hanya imbauan. Oleh karena itu, saya pun merasa masih aman tidak melakukan uji kir,” ucap Zo.
Meski melanggar undang-undang, Zo berupaya melayani penumpang dengan baik. Selama perjalanan, ia mengemudi dengan tenang. Kecepatannya tidak lebih dari 60 kilometer per jam di jalan yang lengang. Ia pun tidak melanggar peraturan lalu lintas.
”Saya mendapatkan uang dari taksi daring, jadi harus berbuat sebaik-baiknya,” lanjutnya.
Zo berkisah, dirinya memiliki seorang anak berusia 3 tahun dan anak sambung dari istrinya yang saat ini sudah berumur 13 tahun. Penghasilannya selama bekerja sebagai editor video di sebuah perusahaan tidak cukup untuk membiayai keluarga. Apalagi, kebutuhan sekolah anaknya kian hari kian tinggi.
Oleh karena itu, sejak muncul aplikasi taksi daring Uber, ia pun mendaftarkan diri dan menyambi pekerjaan resminya. Setiap hari, ia mengemudikan taksi daring dari pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Setelah itu, ia akan kembali ke kantor untuk bekerja.
”Penghasilan yang saya dapat dari taksi daring jauh lebih tinggi ketimbang gaji bulanan di perusahaan,” kata Zo.
Saat masih bergabung dengan Uber, penghasilannya selalu lebih dari Rp 300.000 per hari. Bahkan, dari penghasilan kerja sambilan itu, Zo mampu membeli mobil baru dengan cara mencicil.
Penghasilan yang saya dapat dari taksi daring jauh lebih tinggi ketimbang gaji bulanan di perusahaan.
Toyota Avanza yang saat ini digunakan Zo memang khusus untuk dijadikan taksi daring. Cicilan sebesar Rp 6,5 juta per bulan tak sulit ia penuhi. Hingga saat ini, penghasilannya selalu menembus Rp 300.000 per hari. ”Paling tinggi saya pernah mendapat Rp 1,3 juta dalam sehari,” katanya.
Selain ongkos yang dibayarkan penumpang, ujar Zo, Go-Car memberikan bonus bagi pengemudi yang mampu melakukan 14 perjalanan dengan penumpang yang berbeda setiap hari. Bonusnya pun cukup besar, Rp 400.000, yang langsung dikirimkan ke nomor rekening bank pengemudi.
Bonus tersebut membuat Zo semangat bekerja. Bahkan, ia rela berbuat curang.
Beberapa waktu lalu, ia pernah melakukan perjalanan tanpa penumpang. Penumpang yang sudah memesan layanan tidak bisa ia temui di titik penjemputan. Ketika dihubungi, penumpang itu pun tidak menjawab. Dalam kondisi tersebut, semestinya Zo membatalkan pesanan. Namun, ia justru melakukan perjalanan sesuai dengan pesanan penumpang itu.
”Akun saya lalu dibekukan oleh perusahaan karena penumpang melaporkan saya yang tidak kunjung datang ke tempat penjemputan,” ujar Zo.
Keesokan harinya, ia pun menghadap ke kantor Go-Car dan menjelaskan duduk perkara yang ia alami. Beruntung, perusahaan mengaktifkan kembali akunnya.
Akun saya lalu dibekukan oleh perusahaan karena penumpang melaporkan saya yang tidak kunjung datang ke tempat penjemputan.
”Setelah itu saya kapok, tidak mau berbuat curang lagi, karena nanti saya sendiri yang rugi,” ujar Zo.
Terlepas dari kecurangan sopir, pengawasan perusahaan pun lemah. Menurut Zo, setelah pendaftaran, tidak ada komunikasi apa pun dengan pihak perusahaan. Mereka tidak pernah memeriksa kondisi fisik mobil yang mereka gunakan. Kesesuaian identitas mobil yang digunakan sopir dengan yang terdaftar pun tidak terjamin.
Sopir taksi daring masih bisa beroperasi dengan mobil yang identitasnya berbeda dengan data yang didaftarkan. Sopir Grab, ABT, menerima pesanan dari Masjid Istiqlal menuju mal Gandaria City. Beberapa menit setelahnya, ABT menanyakan, apakah pesanan masih ingin dilanjutkan karena mobil yang ia gunakan tidak sesuai dengan data di aplikasi.
Kehadiran taksi daring memang membawa berkah. Masyarakat memiliki alternatif tambahan untuk menambah penghasilan. Akses transportasi bagi masyarakat pun menjadi lebih terbuka. Namun, sistem pengawasan lemah membuka potensi kecurangan yang merugikan banyak orang.
(DD01)