Lima belas tahun yang lalu, Emsyafi (41) mendapat karunia kelahiran putra keduanya, Adit. Awalnya, ia tidak menemukan keanehan dari tumbuh kembang Adit. Emsyafi membesarkan putra keduanya sama seperti anak sebelumnya.
Namun, setelah Adit berusia 9 bulan, Emsyafi baru sadar bahwa anak keduanya ini tidak sama dengan anak pada umumnya. Di usia tersebut, Adit tidak menunjukkan perkembangan yang seharusnya dialami anak di usia yang sama. Adit belum bisa duduk dan belum bisa merespons dengan baik rangsangan dari lingkungannya. Bentuk wajah anaknya juga berbeda.
Hidup jauh dari pusat kota, yaitu di Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, yang terletak sekitar 44 kilometer dari Bukittinggi, tidak mudah bagi Emsyafi menemukan layanan untuk terapi anaknya. Toh, untuk membayar terapi saja, ia merasa tidak punya biaya lebih.
Akhirnya, ia membawa anaknya ke dukun pijat di dekat tempat tinggalnya. Pada usia 19 bulan, setelah rutin seminggu sekali dibawa ke dukun pijat, Adit bisa berjalan, tersenyum, dan sedikit berbicara.
Sejak itulah, Emsyafi tahu anaknya mengalami sindroma down. Ia ketahui setelah membaca sejumlah referensi dari buku dan internet. ”Tentu saya shock pertama kali mengetahuinya. Saya sempat menangisi keadaan itu. Tetapi, bukan berarti saya tidak menerima kenyataan. Saya berkomitmen membangun tim bersama suami saya. Saya ajak suami, ’Kita punya masalah serius. Kita harus punya cara untuk menghadapinya bersama’, begitu,” kata Emsyafi saat menemani Adit di peringatan Hari Down Syndrome 2018 yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (24/3).
Ia sadar, memiliki anak dengan sindroma down butuh tenaga, pengorbanan, biaya, kasih, dan tentunya hati yang lebih besar. Tidak jarang ia mendapatkan sindiran, baik secara langsung maupun tidak langsung dari lingkungannya. Bahkan, ada yang mengira Adit gila dan tidak normal. Hal itu sempat membuat Emsyafi sangat menutup diri dari sekitarnya. Ia memilih tidak datang ke tempat yang tidak bisa menerima keadaan putranya.
”Saya tutup telinga dan tebal muka. Saat saya sedih, saya menangis, saya bisa sakit. Itu tidak baik karena saya tidak boleh sakit untuk bisa selalu menemani Adit,” katanya.
Sejak itu, berbagai cara dilakukan Emsyafi untuk putra keduanya. Berbagai alat peraga ia siapkan untuk Adit, seperti drum, gitar, dan alat lukis. Kebutuhan pribadi ia kesampingkan.
Ia sadar, Adit kelak tidak bisa menjadi seorang dokter ataupun guru. Namun, Adit bisa berkembang dengan berbagai keterampilan. Ia hanya berharap, kelak di masa depan, Adit bisa mandiri tanpa kehadiran dirinya.
Harapan itu pula yang ditanamkan Joni Nelwan (56) dari Depok, Jawa Barat, dan Ponco Sulistyowati (53) dari DKI Jakarta. Joni merupakan ayah dari Raffa (10), sementara Ponco adalah ibu dari Monica (21). Keduanya tidak pernah lelah untuk terus-menerus memberikan dukungan melalui kasih untuk anaknya yang mengalami sindroma down. Berbagai usaha harus mereka berikan saat ini agar anaknya kelak bisa hidup mandiri. Mereka sadar pada saatnya akan ada keterbatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menemani anaknya lagi.
Sejak Monica berusia balita, Ponco dengan tekun mengajak putrinya untuk mengikuti berbagai kegiatan keterampilan di lembaga-lembaga kursus. Ia mengenalkan berbagai kegiatan, seperti berenang, menari, bermain musik, dan mewarnai. Ponco mengaku dengan kondisi ekonomi yang berkecukupan, tidak ada lagi alasan untuk tidak mengembangkan kemampuan putrinya ini.
”Mendidik anak dengan sindroma down yang terpenting adalah memiliki rasa ikhlas. Saat rasa itu sudah dilakukan benar, segala yang dilakukan pasti akan terasa lebih mudah. Yang jelas, kasih saya tidak pernah berhenti untuk Monica,” kata Ponco.
Gangguan kromoson
Penyebab seseorang mengalami sindroma down adalah karena terdapat gangguan pada kromosom ke-21. Umumnya, manusia memiliki 23 pasang kromosom. Namun, pada orang dengan sindroma down, kromosom ke-21 tidak hanya sepasang, tetapi tiga kromoson atau yang disebut trisomi. Untuk itu, sindroma down juga biasa disebut sebagai trisomi 21.
Konsultan psikolog Rumah Sakit Syarif Hidayatullah, Annie Lutfia, mengatakan, setiap orangtua harus terlebih dahulu meyakinkan diri bahwa memiliki anak dengan sindroma down adalah sebuah anugerah. Pasti orangtua yang spesial yang berkesempatan memiliki anak spesial seperti ini.
”Ketika bisa menerima kehadiran anak dengan sindroma down, orangtua tahu bagaimana membuat orang lain bisa menerima kehadiran anaknya di tengah lingkungan yang lebih luas,” ucapnya.
Setiap orangtua harus terlebih dahulu meyakinkan diri bahwa memiliki anak dengan sindroma down adalalah sebuah anugerah.
Hal sama juga disampaikan Mustara Musa, pelatih olahraga anak dengan sindroma down yang juga tergabung dalam Special Olympics Indonesia (Soina). Hal utama yang diperlukan dalam mendidik anak dengan sindroma down atau tunagrahita adalah kesabaran dan jiwa yang besar.
”Anak sindroma down justru memiliki kepekaan dan ketekunan yang lebih besar dari anak pada umumnya. Peran orangtua sangat menentukan bagaimana anaknya kelak. Anak sindroma down butuh bimbingan terus-menerus karena dalam jangka lama tidak dilatih akan kembali dari nol lagi. Latih terus-menerus dengan tekun di mana pun anak berada,” ujar Mustara.