Musik tak hanya soal nada, lirik, dan iringan instrumen. Musik juga merupakan alat ketahanan budaya. Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Dwiki Dharmawan membuktikan itu dengan mengolaborasikan jazz dengan karungut, musik asli Kalimantan Tengah.
Sabtu (24) siang, cucu-cucu Tjilik Riwut, pahlawan nasional asal Kalimantan Tengah, menggelar workshop musik dan budaya di Aula Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan itu merupakan rangkaian dari peringatan 100 tahun Tjilik Riwut yang jatuh pada 2 Februari lalu.
Mereka menghadirkan musisi jazz Indonesia Dwiki Dharmawan dan Namue’i Ensamble, grup musik asal Kalimantan Tengah. Dwiki mengenakan baju hitam bergambar orangutan dan topi khas Kalimantan yang terbuat dari kulit kayu. Ada Aat N Andin, pentolan grup musik Namue’i Ensamble, yang menggunakan pakaian adat Kalimantan Tengah dan Ade Rudiana yang berpakaian khas Sunda.
Dwiki memulainya dengan permainan keyboard lalu diikuti Aat N Andin dengan permainan kecapi dua senar khas Kalimantan Tengah. Ade Rudiana juga mengiringi pukulan rampak gendang dengan alunan khas Sunda.
Alunan musik diawali dengan ketukan lambat, lalu cepat. Dari empat perempat menjadi enam perdelapan. Bunyi yang dihasilkan memaksa penonton untuk ikut bergoyang dan bertepuk tangan.
Untuk mewakili musik karungut, Aat N Andin menggunakan kecapai dua senar, gendang, salung, dan sape. Ada lima orang lain yang membantunya dalam memainkan alat-alat musik itu.
Namun, alunan musik jazz dari Dwiki dan dentuman perkusi membuat musik itu menjadi lebih hidup. Musik tradisional menjadi modern dalam dua jam pertunjukan itu.
Aat N Andin yang berasal dari Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, mengatakan, musik karungut didasari oleh nada penta minor. Hal itu tidak bisa hilang karena menjadi dasar, tetapi polanya berubah-ubah.
”Bermain musik karungut zaman sekarang harus tahu dulu situasi dan kondisinya, jadi kalau berkolaborasi dengan jazz harus bisa modern, berbeda kalau karungut dalam ritual adat,” kata Aat.
Karungut merupakan seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai moral, adat, perjuangan, bahkan pesan semangat untuk membangun. Seni ini diiringi ketabung atau kecapi khas Dayak, kakanong, suling, dan gendang.
Adalah almarhum Syaer Sua, seniman karungut Kalimantan Tengah, yang memopulerkan musik itu dan selalu bermain karungut di Radio Republik Indonesia (RRI) Palangkaraya setiap Minggu malam (Kompas, 8/7/2010).
Karena kepiawaiannya, tahun 1970 Syaer Sua dipercaya pemerintah daerah untuk tampil memainkan karungut serta tarian dayak di RRI dan TVRI Jakarta, termasuk saat peresmian Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Bersama grup kesenian asal Kalteng, tahun 1992, Syaer Sua pentas di Spanyol dan 1994 tampil di Kuala Lumpur. Saat itu Aat N Andin merupakan salah satu pemain kecapi dari grup tersebut.
Aat mengatakan, dahulu kala karungut hanya digunakan saat ritual adat Dayak Kalimantan Tengah. Tujuannya adalah untuk menyampaikan doa lewat nyanyian. Biasanya karungut digunakan saat upacara kematian atau Tiwah.
Namun seiring berjalannya waktu, karungut perlahan menjadi lagu pengantar tidur yang dibawakan oleh ibu-ibu Dayak untuk anaknya. Pada 1970, karena Syaer Sua, musik karungut mulai berkembang dan mengikuti perkembangan zaman. Karungut mulai dieksplorasi sehingga bisa menjadi dasar musik-musik khas Dayak modern.
Aat N Andin mengatakan, kolaborasi jazz dengan karungut menghasilkan optimisme untuk menjaga budaya. Ia juga mengajak anak muda di Kalimantan Tengah untuk terus berkarya dalam seni, khususnya musik.
Dwiki Dharmawan menjelaskan, saat Konferensi Musik Indonesia di Ambon, Maluku, terdapat tiga poin penting yang harus diingat. Musik harus dilihat sebagai sarana edukasi, penjaga ketahanan budaya, dan penggerak ekonomi.
”Ini harus menjadi gerakan kalau musik dan budaya tidak bisa dipisahkan. Musik tradisional adalah masa depan bukan masa lalu,” ungkap Dwiki.
Dwiki sampai saat ini kerap mengolaborasikan musik jazz dengan iringan musik tradisional. Baginya, perpaduan itu merupakan salah satu cara untuk menjaga budaya.
”Bangun kreativitas lewat musik, buat karya sebanyak-banyaknya. Tak hanya untuk menunjukkan eksistensi tradisi, tetapi juga bisa jadi duit, bisa jadi penggerak ekonomi dan pemerintah saat ini sangat membantu itu,” ungkapnya.
Diana (20), salah satu penonton, mengatakan, baru kali ini ia mendengar alunan musik karungut yang tidak membosankan. Menurut dia, selama ini karena terlalu sering mendengar musik Barat, musik karungut menjadi lagu pengantar tidur saja.
”Ternyata saat dikolaborasi enak juga. Saya baru tahu musik karungut dan jazz bisa semangat seperti ini musiknya,” ungkap Diana.