Bermula dari Impian Jadi yang Terbesar
Cita-cita menjadi tempat kremasi jenazah terbesar se-Asia Tenggara mengawali pembangunan Krematorium Cilincing di pinggir Teluk Jakarta, 40 tahun lalu. Impian itu belum kesampaian, tetapi Krematorium Cilincing terus bertahan hingga sekarang, melayani mereka yang menuju keabadian dalam wujud abu.
Seorang pendeta agama Kristen menuntaskan darasan doanya pada suatu Senin (19/3) siang. Di depannya, sebuah peti melindungi jenazah seorang tua yang sudah “berdandan” rapi, siap mencapai tahap final prosesi kematiannya.
Para petugas mendorong troli kendaraan peti, mengantarkan jenazah ke oven pembakaran. Sebelum pintu oven tertutup, keluarga yang berduka berfoto untuk yang terakhir bersama sang terkasih. Pintu lalu tertutup. Api menyala membakar jenazah. Segalanya selesai.
Itulah salah satu layanan rutin yang diberikan Krematorium Cilincing di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Pengelolanya adalah lembaga sosial bernama Yayasan Daya Besar. Cecep Ruhikmat, Kepala Operasi Krematorium Cilincing, menuturkan, oven yang merupakan satu-satunya fasilitas pembakaran jenazah paling modern di krematorium ini sudah ada sejak tahun 1980-an.
Untuk keluarga yang menginginkan kremasi secara tradisional menggunakan kayu bakar, tersedia lebih banyak fasilitas di sana.
“Ada lima ruang kremasi kayu untuk umum, ditambah dua ruang untuk yang beragama Hindu India. Namun, jika keadaan mendesak, yang umum bisa memakai ruang kremasi untuk orang India,” ucap Cecep.
Pembakaran tradisional dengan kayu bakar memakan waktu 3-4 jam, sedangkan dengan oven yang adalah buatan Jerman membutuhkan hanya 1,5-2 jam. Biaya untuk kremasi secara tradisional berkisar Rp 2,7 juta-Rp 2,8 juta, adapun untuk kremasi menggunakan oven sekitar Rp 3 juta.
Direktur Krematorium Cilincing, Kusumo, menambahkan, tradisi mengkremasi jenazah terdapat dalam agama Buddha, Konghucu, Tao, dan Hindu. Namun, ada juga keluarga penganut Kristen yang memilih kremasi dibanding menguburkan jenazah. “Pembakaran di sini bukan bisnis. Yang tidak punya dana, bayar cuma-cuma,” ujar dia.
Kusumo mengatakan, kebanyakan saat ini yang menggunakan layanan Krematorium Cilincing tergolong berpenghasilan menengah ke bawah. Sebab, mereka yang berpenghasilan tinggi sudah jadi incaran rumah duka dan krematorium yang lebih modern serta lebih mahal. Pada sisi lain, Krematorium Cilincing tidak memiliki tim pemasaran yang menjangkau keluarga-keluarga berduka di rumah sakit, sebab mereka berpegang pada prinsip kegiatan sosial.
Namun demikian, makin banyak keluarga etnis Tionghoa yang memilih metode kremasi dibandingkan kubur mengingat harga tanah terus menanjak, sehingga terus ada yang membutuhkan Krematorium Cilincing meski ada tempat-tempat pengabuan lainnya.
Ali Sadikin
Kusumo menceritakan, pembangunan Krematorium Cilincing di era 1970-an adalah atas permintaan Gubernur DKI waktu itu, Ali Sadikin, supaya terdapat suatu krematorium terpusat di pinggir laut.
Saat itu, bukannya tidak ada krematorium di Jakarta. Ada pengabuan di Jelambar, Jakarta Barat; dan di Muara Karang, Jakarta Utara. Masalahnya, krematorium-krematorium tersebut tidak layak dari aspek tata kota dan kesehatan lingkungan. “Abu dan asapnya terbang ke mana-mana, sehingga Pak Ali Sadikin meminta Yayasan Daya Besar untuk membuat satu krematorium di tepi laut,” kata Kusumo.
Harian Kompas pada 20 Juni 1977 memberitakan, krematorium modern direncanakan dibangun di Cilincing dan diharapkan menjadi yang terbesar se-Asia Tenggara. Kepala proyek Krematorium Cilincing, Ahmad Yani, mengatakan, fasilitas tersebut akan terdiri dari tiga bangunan yang masing-masing memiliki sembilan dapur kremasi. Jenazah bisa dikremasikan dengan bahan bakar kayu, gas, atau listrik.
Krematorium di atas lahan empat hektar tersebut juga akan dilengkapi dengan ruang penyimpanan abu jenazah (rumah abu tersebut masih ada hingga sekarang, dengan nama Gedung Penitipan Abu Jenazah Cung Lin Tze). Selain itu, akan ada juga tempat upacara persembahyangan serta penginapan. Krematorium akan dikelola Yayasan Daya Besar.
Cita-cita untuk menjadi krematorium terbesar dengan fasilitas-fasilitas selengkap itu belum terwujud. Saat ini, fasilitas yang ada di Krematorium Cilincing hanya ruang pembakaran jenazah dan rumah abu. Kusumo menuturkan, Yayasan Daya Besar sekarang sedang merancang pembangunan sarana persembahyangan dalam tradisi Tionghoa.
Selama ini, banyak orang Tionghoa dari berbagai marga yang membuat tempat ibadah sendiri, misalnya dengan menggunakan ruko. Dalam menjalankan ibadah, terdapat tradisi membakar kertas sembahyang. Dengan adanya tempat sembahyang yang terpusat di Cilincing, potensi tumbukan sosial karena tradisi membakar kertas bisa ditekan. “Asap dan abunya bisa saja mengganggu warga dari agama lain,” ucap Kusumo.
Meski demikian, Kusumo belum bisa memastikan kapan tempat sembahyang bersama itu bisa terbangun. Ketersediaan dana tentu saja jadi tantangan. Yayasan akan menggalang donasi.
Kusumo mengatakan, dengan adanya Krematorium Cilincing pada akhir 1970-an, Krematorium di Muara Karang dan Jelambar waktu itu ditutup. Yang pertama ditutup yaitu Krematorium Muara Karang, pada tanggal 8 September 1975 berdasarkan Keputusan Gubernur tanggal 8 Agustus di tahun tersebut. Kegiatan kremasi dialihkan ke krematorium di Jelambar (saat itu Krematorium Cilincing belum terbangun).
Keputusan itu diterbitkan karena lokasi Krematorium Muara Karang berdasarkan rencana kota akan jadi permukiman (Kompas, 20/8/1975). Saat diberitakan, rumah-rumah mulai dibangun di sana. Tempat pengabuan dinilai menimbulkan pengotoran udara.
Kebijakan tersebut mendapat protes, seperti disampaikan seorang warga, S Hendrawan Kumala, dalam surat pembaca di Kompas tanggal 6 September 1975. Menurut dia, Krematorium Jelambar kelebihan beban kerja karena penutupan Krematorium Muara Karang, mengingat hanya ada satu tempat pengabuan di Jelambar. “… mengapa Bang Ali (Gubernur Ali Sadikin) telah begitu tergesa-gesa dan mendadak mengeluarkan keputusan tersebut sebelum mendirikan/membangun krematorium baru di sesuatu tempat yang ditunjuk baik oleh Bang Ali atau stafnya?” tulisnya.
Setelah Krematorium Cilincing terbangun dan beroperasi, giliran Krematorium Jelambar ditutup. Harian ini pada 3 September 1981 mewartakan, krematorium yang terletak di Tempat Pemakaman Umum Jelambar atas nama Yayasan Crematorium Djakarta ditutup mulai 15 Agustus. Krematorium di sana berdiri pada tahun 1957.
Menurut Pemerintah Provinsi DKI, pengabuan jenazah di TPU Jelambar kala itu tidak sesuai dengan tata kota dan mengganggu kesehatan warga sekitarnya. Untuk selanjutnya, Pemprov meminta pengabuan dilakukan di Krematorium Cilincing.
Melarung ke laut
Keluarga dari almarhum atau almarhumah yang jasadnya dikremasi memiliki dua opsi lanjutan pasca pembakaran, yaitu menitipkan abu jenazah pada ruang penitipan abu atau langsung melarung abu ke laut. Itulah keuntungan krematorium berlokasi di pinggir laut.
Cecep mengatakan, Krematorium Cilincing memiliki satu unit perahu dengan motor tempel, mampu mengangkut 12 anggota keluarga. Namun, jika cuaca buruk, hanya tiga-lima orang yang diizinkan melarung abu jenazah. “Proses ke laut hingga kembali lagi hanya sekitar 30 menit,” ucap dia.
Jika ingin abu jenazah tetap tersimpan tetapi tidak dibawa pulang bisa dititipkan di Gedung Penitipan Abu Jenazah Cung Lin Tze di dalam kompleks krematorium. Fasilitas tersebut terdiri dari tempat penitipan abu lama dan baru.
Kepala Bagian Rumah Abu Krematorium Cilincing, Durachim, menyebutkan, di tempat penitipan abu yang lama saat ini terdapat 2.124 kotak yang terisi guci abu. Satu kotak penyimpanan belum tentu hanya berisi satu guci abu jenazah. Ada yang lebih dari satu, misalnya abu jenazah pasangan suami-istri. Untuk penitipan abu di sana, ahli waris hanya ditarik iuran perawatan sebesar Rp 8.400-Rp 33.600 setahun.
Sementara itu, pembuatan tempat penitipan abu yang baru karena tempat lama sudah penuh. Kapasitas tempat baru sekitar 2.000 kotak juga, tetapi saat ini baru terisi 20-an persen.
Oh iya, sejumlah nama besar dari era lawas tercatat pernah dikremasi di Krematorium Cilincing. Mereka di antaranya sutradara film Teguh Karya, artis peran dan tarik suara Richie Ricardo, serta Menteri Negara diperbantukan Presidium Kabinet Kerja pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Oei Tjoe Tat.